5 Bagian 5. Gembira dan sedih

Tulisan tercetak di white board. Tertera nama Rad Ramos Aldebaria dan kelas XII-1 di sudut atas kiri. Tangan putih yang bergerak sesuai dengan tarian pena berbulu, membentuk huruf demi huruf hingga tercipta kalimat yang sempurna. Pemiliknya sedang kasmaran, tidak melek dengan pelajaran hari ini.

Rad sudah menginjak remaja, berusia delapan belas tahun. Begitu juga dengan Axel dan Joyce yang sama-sama berubah, baik fisik ataupun penampilan.

Rad berperawakan tinggi, hampir menyamai tinggi Ogan -- sekitar 172 cm. Dia selalu berpakaian serba krem, putih, dan cokelat, berupa atasan kemeja, rompi, dan celana panjang saat pergi ke sekolah. Merupakan bintang kelas yang menjadi idola di kalangan gadis-gadis.

Rad memendam perasaan cinta pada Joyce. Sejak jam pertama, dia selalu mencuri pandang ke arah Joyce, berpikir ingin menyatakan cinta pada Joyce sekali lagi. Karena momen saat menembak Joyce, selalu diganggu oleh Axel.

Aku harus berhasil, batin Rad.

Gerakan pena milik Rad berhenti di white board. Joyce yang duduk bersebelahan dengannya, dibatasi gang lebar, terperanjat saat melihat tulisan yang terpampang di white board milik Rad. Rad menunjukkan kalimat itu dengan semburat merah di dua pipinya.

"Aku mencintaimu, Joyce," gumam Joyce. Dia menjadi gadis yang semakin manis dan menjadi primadona bagi laki-laki di sekolah itu. Sudah banyak yang menyatakan cinta padanya, tetapi ditolaknya.

Rad mengangguk dan menurunkan white board-nya. Dia memandang ke depan, guru sedang asyik menulis di papan tulis. Kemudian melihat Joyce lagi. Berharap Joyce menjawab cintanya itu.

Wajah Joyce memerah, senyuman menghiasi mukanya. Dia langsung menulis sesuatu di white board-nya, dan menunjukkan kalimat yang membuat hati Rad melambung tinggi.

"Iya, sama. Aku juga mencintaimu," kata Rad. Dia berdiri, dan meninju udara dengan teriakan. "Aku berhasil!"

Spontan, semua mata tertuju pada Rad. Rad menyadari itu, merasa malu sendiri. Mukanya memerah padam dengan ekspresi tidak nyaman.

"Rad, apanya yang berhasil?" tanya Bu Guru yang memandang Rad dengan tajam.

"Ah, bu ... bukan apa-apa, Bu," jawab Rad gugup. Tersenyum kikuk.

"Kau aneh sekali. Berarti kau tidak memerhatikan pelajaran. Kalau begitu, kau maju dan jawab soal ini!"

"Ba ... baiklah!"

Semua orang menertawai Rad kecuali guru. Rad berjalan melewati Joyce. Joyce tersenyum lembut, membuat jantung Rad terasa ingin meledak. Rad berjalan dengan berkeringat dingin karena terlalu berdebar-debar. Perasaan cintanya sudah terbalaskan, membuatnya bersemangat untuk unjuk gigi di depan kelas.

Sepuluh soal matematika yang rumit dikerjakan Rad di papan tulis. Ada yang tidak dimengertinya, terpaksa dibiarkan kosong sampai menyelesaikan semua soal itu. Rad berhenti menggores kapur, menoleh ke arah guru yang berdiri di dekatnya.

"Sudah, Bu," kata Rad.

"Oh, sudah selesai, tetapi saya periksa dulu," sahut Bu Guru. Dia memerhatikan jawaban dari nomor satu sampai sepuluh, sesekali menatap white board yang dipegangnya. "Ini, benar. Tapi, ada yang salah di bagian nomor tiga dan lima."

Bu Guru menghapus tulisan Rad dengan penghapus. Dia menulis jawaban yang benar dengan cepat. Rad memerhatikan jawaban itu.

Usai menulis, Bu Guru menilik Rad. "Begini jalan yang benarnya, Rad."

Rad mengangguk. "Saya mengerti."

"Kalau begitu, silakan duduk kembali ke tempatmu!"

"Baiklah, terima kasih, Bu."

Rad mengangguk lagi. Semua orang tampak menahan tawa. Rad mengabaikan mereka, perhatiannya tertuju pada Joyce. Joyce tersenyum lagi padanya.

"Baru kali ini, kau mendapatkan masalah seperti ini, Rad," ucap Joyce ketika Rad duduk di bangku, "apa karena kau memikirkan aku?"

"Bagaimana, ya? Itu benar," sahut Rad mengangguk, lalu tersenyum.

"Berarti kita sekarang berpacaran?"

"Iya."

"Aaah, akhirnya aku terbebas dari kejaran semua laki-laki di sekolah itu. Menjadi populer itu tidak menyenangkan."

Joyce mendesah panjang. Dia memainkan penanya dengan perasaan lega. Rad memandangnya lama sekali.

Aku tidak tahu penyebab bagaimana aku bisa mencintai Joyce. Mungkin aku selalu bersamanya selama bersekolah hingga sekarang. Tapi, aku tidak tahu bagaimana reaksi Papa dan Mama jika mengetahui hubunganku dengan Joyce.

Rad membatin seraya mengingat perkataan Ogan sewaktu di hari pertamanya di SD.

"Ayah Joyce, Tuan Caprio, tidak menyukai anak-anak yang asal usulnya tidak jelas sepertimu. Dia bisa saja menghinamu jika mengetahui kau bukanlah anak kandung Papa. Maaf, karena Papa mengatakan ini, bukan bermaksud menyakitimu. Tapi, ini demi kebaikanmu, Rad. Papa tidak mau kau bergaul lagi dengan Joyce."

Rad merasa bersalah karena melanggar perintah ayahnya, tetapi hanya Joyce yang sangat dekat dengannya daripada Axel. Baginya, Joyce adalah cinta pertamanya yang harus dipertahankan walaupun apa yang terjadi.

Rad kembali memfokuskan konsentrasinya pada pelajaran. Menjeling Joyce lagi. Joyce menulis lagi. Senyuman terpatri di wajah Rad yang semakin tampan.

Aku harus belajar lagi. Beberapa bulan lagi, ujian kelulusan itu akan tiba.

Suara hati Rad terdengar oleh Tuhan. Rad mengambil pena yang berdiri di dalam gelas tinta. Jiwanya yang bergoyang ria, ingin melampiaskan perasaan cinta itu dalam bentuk tulisan puitis di white board miliknya.

Jam istirahat yang ditunggu-tunggu datang juga. Murid-murid berpakaian bebas keluar dari kelas masing-masing. Tampak laki-laki remaja berambut hitam berpakaian serba hitam, putih, dan perak -- baju kemeja, rompi, celana panjang, dan mantel -- berdiri di dekat pintu kelas XII-1. Punggungnya bersandar pada tembok batu bata yang berlapis cat putih. Mata cokelat setajam elangnya, mencari sosok wajah-wajah yang ditunggunya di antara keramaian di lorong itu.

Rad dan Joyce keluar dari kelas. Mereka menyadari laki-laki berambut hitam yang berdiri di dekat pintu kelas. Joyce menyapa laki-laki berambut hitam itu.

"Axel!" panggil Joyce, menyentakkan Axel dalam lamunan.

Axel menoleh ke arah Rad dan Joyce. "Hei, kalian berdua. Aku sudah lama menun...."

Perkataan Axel terputus saat melihat tangan Rad yang menggenggam tangan Joyce. Ekspresi cerahnya yang bersinar, berubah menjadi mengeras. Kedua netranya menyipit tajam.

"Kenapa kalian berdua bergandengan tangan begitu?" tanya Axel kemudian. Emosinya ditahannya agar tidak menimbulkan keributan. Bersikap wibawa.

"Eh? Ini?" jawab Joyce menunjuk ke tangannya yang berpegangan dengan tangan Rad, "kami sudah berpacaran sekarang."

"Apa?"

"Itu benar, Pangeran," tukas Rad mengangguk.

"Ini ... tidak boleh terjadi."

"Apa maksudmu, Axel?"

Joyce mengerutkan keningnya. Axel menatap dirinya dengan tajam, dan lalu meraih tangannya yang satu lagi. Axel berbisik ke telinga Joyce.

"Joy, bagaimana reaksi keluargamu jika mengetahui kau berpacaran dengan Rad? Sementara keluargamu sendiri sudah tahu bahwa Rad adalah anaknya Tuan Breogan. Keluarga kalian saling bermusuhan, bukan?"

Netra Joyce sedikit melebar. Axel menjauh darinya. Rad langsung berdiri di depan Joyce. Ekspresinya serius.

"Apa yang kau bicarakan pada Joy?" tanya Rad yang lebih tinggi dari Axel.

"Rad, kita berdua harus berbicara sekarang juga. Joy, aku bawa Rad sebentar," jawab Axel segera menyeret Rad.

Joyce melepaskan tangan Rad. Rad sempat melihatnya sekilas, terpaksa mengikuti Axel. Semua orang yang menonton mereka sejak tadi, langsung bubar dan pergi ke tempat yang dituju.

Axel membawa Rad ke taman sekolah yang diisi beberapa orang. Sekolah yang sama saat SD dulu karena satu atap dengan SMP dan SMA.

Rad dan Axel duduk berjauhan di bangku. Pohon rindang menjadi peneduh mereka sehingga terhindar dari sengatan panas sinar mentari. Kesenyapan menemani di antara Rad dan Axel.

"Apa yang ingin kau bicarakan padaku?" tanya Rad yang membuka percakapan. Keheningan terkejut karena suaranya, spontan kabur pontang-panting entah kemana.

"Ayahku sedang sakit sekarang," jawab Axel duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan. Kepalanya tertunduk. Kakinya melebar. Kedua tangannya bertumpu di atas pahanya.

"Lalu?"

"Sesuai tradisi keluarga Summer, Raja akan mewariskan tahtanya pada anak laki-lakinya ketika anak laki-lakinya berumur delapan belas tahun. Sekarang umurku sudah mencapai delapan belas tahun, itu berarti aku akan menjadi Raja untuk menggantikan ayahku."

Rad terdiam, memilih mendengarkan Axel berbicara. Axel mengangkat kepalanya, menilik Rad. Ekspresi sendunya sungguh menimbulkan empati di hati Rad.

"Syarat untuk menjadi Raja, aku harus menikah. Karena itu, aku memberitahukan hal ini padamu," lanjut Axel dengan netra meredup.

"Kenapa harus ada syarat seperti itu? Bukankah ayahmu yang sedang sakit, bisa diobati, 'kan?" tanya Rad bertubi-tubi.

"Bisa diobati. Tapi, ayah menginginkan aku untuk segera menggantikan posisinya sebagai Raja. Aku harus mewujudkan impiannya itu yaitu menikah dengan gadis pilihannya, tetapi gadis itu sudah menjadi milik orang lain."

"Aku mengerti. Sebagai anak, kau harus membuat orang tuamu senang. Lalu, maksudmu, siapa gadis yang dijodohkan denganmu itu?"

Rad berusaha menyelami mata Axel untuk mencari jawaban itu. Tapi, mulut Axel malah terkatup. Hati pangeran itu tidak tega memberitahukan kebenaran itu pada Rad. Dengan napas yang keluar terasa berat, Axel berusaha tersenyum untuk meredakan rasa penasaran Rad.

"Kau akan tahu sendiri nanti," ucap Axel memegang bahu Rad saat berdiri, "sudah, ya. Aku harus pergi. Sampai nanti, Rad."

Axel berjalan meninggalkan Rad. Kedua tangannya masuk ke kantung mantel miliknya. Rad memandang kepergiannya dengan kerutan banyak. Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikirannya.

"Axel menyukai gadis pilihan ayahnya itu. Dia tampak sedih." Rad memegang dagunya dengan tangannya. "Kira-kira ... siapa gadis yang disukainya itu?"

Rad bungkam, tetap duduk di sana. Kesunyian menjadi temannya sekarang.

***

Eirlys menjadi gadis remaja yang sangat cantik, bertubuh langsing, dan berkepribadian baik. Kecantikannya tersohor di seluruh kerajaan Winter. Banyak pemuda yang melamarnya ketika Raja mengumumkan sayembara untuk mencari calon suami, tetapi ditolaknya karena tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkannya.

"Aku datang untuk melamar putri anda, Yang Mulia," kata seorang laki-laki berumur dua puluhan yang berpakaian serba tebal seperti orang eskimo, "apakah aku memenuhi kriteria yang diinginkan putri anda?"

Ayah Eirlys mengangguk, dan menoleh ke arah Eirlys yang duduk di sisi kanannya. "Keputusan ada di tangan anakku. Eirlys, bagaimana perasaanmu terhadap pemuda ini?"

Eirlys memerhatikan laki-laki berambut merah-kehitaman itu. "Jantungku berdetak normal. Berarti dia bukan orang yang kuinginkan."

Laki-laki itu merasa kecewa. Ekspresinya muram, tetapi bibirnya melengkungkan senyum. Hatinya menerima keputusan Eirlys dengan lapang dada.

"Baiklah. Aku mengundurkan diri dari sayembara ini, tetapi jika kita ditakdirkan untuk bersama, tentu kita akan bertemu lagi. Terima kasih, putri Eirlys, aku menghargai keputusanmu." Laki-laki itu membungkuk seraya menyilangkan tangan kanan di dadanya. Memberi hormat pada Raja, Ratu, dan Eirlys. Kemudian melangkah keluar bersama dua prajurit yang mengawalinya dari ruang singgasana yang terbuat dari es itu.

Banyak prajurit yang berbaris di setiap sisi ruang singgasana. Mereka menjadi penjaga yang siap melindungi keluarga Raja setiap saat.

Raja menghembuskan napas panjang karena bingung memikirkan sang putri. Istrinya yang duduk di sisi kirinya, mengelus bahunya.

"Eir, apa yang kau pikirkan? Kau selalu menolak semua lamaran yang datang padamu!" sanggah Raja dengan muka yang mengeras.

"Sabar, suamiku. Anak kita pasti punya alasan tertentu sendiri," tukas Ratu dengan alis yang melengkung ke atas.

"Maaf, Yah, Bu. Aku membuat kalian kecewa lagi," tutur Eirlys sambil menunduk takut, "sebenarnya ... aku ingin mencari laki-laki yang mampu membuat jantungku berdebar-debar kencang. Tapi, dari sekian laki-laki yang datang, tidak ada yang bisa membuat jantungku berdetak keras. Semuanya terasa biasa bagiku, tidak ada istimewa."

"Hanya alasan itu, putriku?"

"Iya, Ayah."

"Aaah, kau itu ada-ada saja."

"Maaf, Ayah. Aku tidak ingin sembarangan orang memimpin kerajaan ini. Karena nantinya suamiku yang memimpin kerajaan ini, bukan? Karena itu, hargailah keputusanku ini."

"Ayah mengerti. Tapi, sampai kapan kau harus berprinsip seperti itu? Umurmu sudah delapan belas tahun, sudah sepantasnya kau menikah."

"Aku tahu itu. Tapi, aku akan tetap memegang teguh keputusanku ini sampai menemukan laki-laki yang kumaksud. Maaf, Ayah, Ibu."

Eirlys bangkit dan mengangkat sebagian rok gaun hingga sebatas betisnya. Dia berlari meninggalkan kedua orang tuanya. Sudah cukup kekangan yang diberikan orang tuanya sampai sekarang. Pemberontakan sudah dimulai, dia tidak tahan lagi.

"Eirlys! Tunggu! Ayah belum selesai berbicara!" Terdengar suara Raja yang hinggap di gendang telinga Eirlys saat berlari sendirian di koridor.

Eirlys pergi ke kamarnya yang ada di lantai dua. Dia mengunci pintu, dan duduk di lantai. Punggungnya menempel di sisi tempat tidurnya. Memeluk lutut seraya menunduk.

"Aku tidak ingin menikah cepat. Hal itu membuat aku tidak akan bebas dan akan selalu diam saja di istana. Aku ingin pergi keluar sana dan melihat dunia indah yang dikatakan Paman Alexandria," gumam Eirlys dengan jiwa yang meringkih, "Tuhan, tolong kabulkan permintaanku. Aku ingin pergi ke dunia luar itu, walaupun sekali saja seumur hidupku."

Eirlys mengatupkan jari-jarinya tangannya untuk berdoa. Dia merasa ada sesuatu yang memanggilnya di kejauhan sana. Sesuatu yang bernyanyi merdu seperti lagu yang pernah dinyanyikan ibunya saat dia kecil.

Di kerajaan Summer, Rad bersenandung lagu yang sama -- lagu yang didengar Eirlys. Rad menunggu kedatangan Ogan yang menjemputnya. Dia tidak sendirian, melainkan bersama Axel dan Joyce.

"Kau tampak senang sekali," ujar Joyce yang berdiri di samping Rad.

"Ya. Karena hari ini adalah hari istimewa untukku," balas Rad tersenyum lebar.

"Oh, karena kalian berpacaran, ya?" celetuk Axel yang juga tersenyum.

"Benar."

"Tapi, bagaimana reaksi orang tua kita kalau mengetahui hubungan kita ini?"

Muka Joyce kusut. Rad memahami perasaannya itu, menggenggam tangan Joyce. Hal itu membuat ekspresi Axel berubah lagi. Kedua netra Axel meredup.

"Kita harus berpacaran sembunyi-sembunyi saja. Bagaimana?" usul Rad seraya tersenyum.

"Bisa saja, tetapi lama-kelamaan hubungan ini akan terbongkar juga. Apalagi di sekolah ini, banyak kenalan ayahku dan kenalan Raja," sahut Joyce mengangguk, dan kemudian menggeleng.

"Itu benar. Orang-orang akan curiga jika kalian bergandengan tangan seperti itu. Kalian mau hubungan kalian ini dirahasiakan, bukan?" Axel bersedekap dada, berusaha menahan gejolak badai di hatinya.

"Benar juga."

Refleks, Rad menjauhkan tangannya dari tangan Joyce. Situasi seperti ini sungguh menyulitkannya untuk menjalin cinta dengan Joyce. Laki-laki berambut pirang itu memerhatikan keadaan sekelilingnya yang masih dipenuhi orang-orang. Bisa saja ada mata-mata yang melihat dirinya berpegangan tangan dengan Joyce barusan itu.

Rad menghelakan napas, bersamaan mobil hitam datang dan berhenti di dekatnya. Kaca jendela kabin depan menurun, menampakkan sosok pria berambut pirang yang berpakaian rapi seperti orang kantoran.

"Rad, ayo, masuk!" pinta Ogan yang menunjuk ke bangku sebelahnya.

"Iya, Papa!" seru Rad yang menoleh ke arah Axel dan Joyce sekilas. Dia hanya tersenyum pada mereka.

Ogan mengamati Axel dan Joyce dengan saksama. Merasa curiga jika Rad berteman dengan mereka. Ogan memang melarang Rad berdekatan dengan Joyce, tetapi tidak melarang Rad untuk berteman dengan Axel.

Rad masuk ke mobil dan duduk bersisian dengan Ogan. Sebelum berangkat, Ogan menyelidiki Rad dengan teliti.

"Kau menunggu bersama Joyce lagi?" tanya Ogan dengan sikap yang tegas.

"Ah, kebetulan saja dia menunggu jemputannya di sana, Papa," jawab Rad tersenyum, berusaha mengalihkan fakta yang sebenarnya.

"Kau juga selalu mengatakan hal yang sama seperti itu."

"Papa tidak perlu curiga. Aku tidak pernah berteman dengan Joyce, tetapi hanya berteman dengan Pangeran Axel."

"Baiklah. Papa pegang perkataanmu itu!"

Ogan menunjuk ke dahi Rad sebagai tanda peringatan. Rad mengangguk, mengukir senyum di muka Ogan yang menua. Ogan menyalakan mesin mobil dan menjalankannya dengan laju sedang.

Mobil hitam itu berjalan menyusuri jalan raya, bersama hati Rad yang berbunga-bunga karena telah memiliki Joyce. Tapi, di sisi hatinya sedang dilanda kebimbangan karena telah berbohong pada Ogan selama dua belas tahun.

***

avataravatar
Next chapter