2 Bagian 2. Pertemuan di sekolah

Perkenalan yang berlangsung di ruang tamu itu, menjadi momen pertama bagi Rad. Anak yatim piatu itu telah menjadi putra pertama keluarga Aldebaria yang dikenal sebagai kepercayaan sang Raja. Seulas senyum menyerupai lengkungan tercetak di wajah rupawan Rad.

"Kalau begitu, perkenalan sampai di sini saja. Ayo, Rad! Kami tunjukkan kamarmu," ajak Ogan tersenyum.

Margarita membimbing Rad berjalan. Tangan mereka selalu terkait saat menaiki lantai dua, bersama Ogan. Rad tidak berhenti kagum dengan keindahan interior mansion yang berbeda dengan interior tempat tinggalnya dulu. Hingga langkahnya terhenti di sebuah kamar yang sangat luas dan dipenuhi perabotan mewah yang lengkap.

"Inilah kamarmu, nak. Bagus, bukan?" Ogan merentangkan kedua tangannya. Menunjukkan muka yang berseri-seri.

"Wah!" Rad ternganga lebar seraya mengedarkan pandangan ke segala arah. "Ini sangat bagus, Papa!"

"Mama sudah menduga, kau akan menyukai kamar ini, Rad." Margarita tersenyum dan berlutut untuk menyamakan tingginya dengan tinggi Rad. Memegang kedua bahu Rad dengan erat. "Sekarang kau mandi sampai bersih. Mama akan persiapkan pakaian baru yang bagus untukmu."

"Baiklah, Ma."

"Kamar mandinya ada di dalam sini, Rad!" seru Ogan membuka pintu lain di pojok kanan ruangan.

"Ya, Papa."

Rad mengangguk. Dia berlari kecil menghampiri Ogan. Ogan membimbingnya masuk ke kamar mandi dan menjelaskan berbagai fungsi barang-barang yang ada di dalam kamar mandi. Sementara Margarita keluar sebentar untuk memanggil pelayan.

Saat Ogan keluar dari kamar mandi, Margarita masuk lagi ke kamar dan buru-buru mengetuk pintu kamar mandi. Rad yang hendak membuka pakaian, melongokkan kepalanya dari balik pintu kamar mandi yang sedikit terbuka.

"Ini handuknya, Rad," ucap Margarita mengulurkan handuk yang terlipat.

"Terima kasih, Mama," sahut Rad mengangguk, dan menerima handuk itu.

"Iya. Kalau kau perlu sesuatu, kau bisa panggil Mama atau Papa, ya. Jangan sungkan-sungkan, karena rumah ini adalah rumahmu sendiri."

Margarita mengelus pucuk rambut Rad yang terasa lepek dan kasar. Rad mengangguk lagi, menitipkan senyuman yang melapangkan jiwa. Dia menutup pintu. Melanjutkan aktivitas mandi yang tertunda.

Dada Margarita turun-naik karena menghelakan napas. Ogan memeluknya dari belakang, tersenyum lembut.

"Bagaimana rasanya menjadi ibu, sayang?" tanya Ogan dengan nada yang lembut.

"Sangat menyenangkan. Kau yang telah menjadi ayah, apakah kau juga merasakan hal yang sama denganku?" jawab Margarita tersenyum dengan semburat merah yang samar-samar hinggap di dua pipinya.

"Tentu, aku juga bahagia."

"Apa perlu kita kenalkan Rad pada semua orang? Misalnya mengadakan pesta supaya Rad bisa mendapatkan teman-teman sebaya dengannya."

"Aku rasa itu tidak perlu."

"Jadi?"

"Biarkan saja Rad berkembang secara alami. Lambat laun, dia akan mendapatkan teman-teman baik jika bersekolah nantinya. Kita tidak perlu mengaturnya supaya begini dan begitu. Kita sebagai orang tua barunya, harus memberinya kasih sayang dan kenyamanan selama dia tinggal di sini."

Ogan menasehati istrinya yang terlalu gila pesta. Margarita mengangguk, menuruti apa yang diperintahkan suaminya. Mereka berbincang mesra sampai Rad keluar dari kamar mandi.

Rad melilitkan handuk sebatas dari atas dadanya hingga melewati kaki seperti perempuan. Tampangnya imut dan lucu, memancing Ogan dan Margarita tertawa.

"Ya ampun, Rad! Kau memakai handuk seperti perempuan saja!" seru Margarita berjalan mendekati Rad.

"Maaf," tukas Rad menunduk, "habisnya handuknya kebesaran begini, Mama."

"Oh, maaf juga. Ini kesalahan dari pelayan yang mengambil handuk itu dari kamar kami."

"Tidak apa-apa."

"Ya, sudah. Sini, Mama bantu mengeringkan badanmu."

Margarita mengurus Rad dengan penuh kelembutan. Ogan memerhatikan mereka, tersenyum. Butuh beberapa menit, Rad tampil seperti anak bangsawan.

"Sentuhan terakhir. Selesai." Margarita mundur usai menyisir rambut Rad sampai rapi dan mengamati Rad dengan saksama. "Wah, anak Mama tampan sekali!"

"Benar. Kau mirip sekali dengan Papa yang tampan ini, Rad," timpal Ogan sedikit bersikap keren dan mendapatkan tawa dari Margarita.

"Benarkah itu? Aku terlihat tampan seperti Papa?" Rad membulatkan matanya dengan wajah yang bersinar terang.

"Iya. Kau itu keren sekali. Pasti suatu saat nanti, akan ada seorang gadis yang tertarik padamu dan menjadi istrimu."

"Ogan, apa yang kau katakan? Jangan bicara soal itu pada Rad sekarang."

"Apa salahnya, sayang? Rad akan tumbuh dewasa juga nanti, 'kan?"

"Iya, aku tahu. Tapi, jangan bahas soal gadis atau cinta pada Rad yang masih kecil begini!"

"Tapi...."

Suami-istri itu berdebat. Mereka bertingkah lucu sehingga membuat Rad terkekeh geli. Usai itu, mereka tertawa bersama dalam pelukan yang hangat.

***

"Rad, ini tasmu, jangan lupa!" seru Margarita yang berlari keluar dari mansion. Menghampiri Rad yang hendak masuk ke mobil. Mobil itu terparkir di halaman depan mansion.

"Terima kasih, Mama. Maaf, karena aku lupa membawanya," sahut Rad menerima tas itu dari tangan Margarita.

"Ya, tidak apa-apa. Lalu, ini hari pertamamu bersekolah. Jadi, baik-baiklah belajar!"

"Siap, Mama!"

Rad mengangguk penuh semangat. Margarita mengelus pucuk rambutnya dan mencium keningnya. Rad terpana karena merasakan kasih sayang seorang ibu yang pernah dirindukannya sejak tinggal di panti asuhan. Margarita telah mencurahkan cintanya yang besar sebagai ibu untuk Rad.

Seulas senyum merekah di paras Rad. Dia masuk ke mobil, dan duduk bersisian dengan Ogan. Melambaikan tangan pada Margarita saat mobil dijalankan Ogan.

"Sampai nanti, Mama!" teriak Rad dengan suara yang keras.

"Ya, sampai nanti. Hati-hati!" balas Margarita dengan suara yang tidak kalah keras dari Rad. Dia juga melambaikan tangan.

Ogan yang sibuk menyetir, tidak berhenti tersenyum. Dia melirik putra angkatnya yang sibuk melihat ke jendela. Rad sangat bahagia karena bersekolah. Hal ini menggebu-gebu otaknya yang siap menerima pelajaran apapun nanti.

Musim semi adalah awal untuk memulai sesuatu yang baru. Musim yang tepat juga untuk bersekolah di lingkungan baru. Bunga-bunga bermekaran di setiap tempat yang dilewati kendaraan-kendaraan. Mendamaikan hati setiap orang yang memandang mereka.

Debaran jantung yang memuncak dirasakan setiap anak baru seperti Rad, membuat mereka sangat takut untuk beradaptasi. Rad memegang tangan Ogan dengan erat tatkala melewati koridor sekolah yang dipenuhi anak-anak dan orang tua.

"Rad, kelasmu berada di sana." Ogan menunjuk ke arah yang dimaksud.

"Iya, Pa." Rad mengangguk. "Apa setelah ini, Papa akan pergi?"

"Ya. Papa harus pergi bekerja. Tapi, nanti Papa juga yang menjemputmu."

"Oh, begitu."

"Kau itu pemberani, 'kan?"

"Iya."

"Carilah teman baru di kelas itu dan berkenalan dengannya. Ajak dia makan bersama saat istirahat tiba. Lalu Mama membuatkan bekal untukmu, 'kan?"

"Iya. Bekalnya ada di dalam tas."

"Nanti sebelum makan, jangan lupa cuci tangan dan berdoa."

"Baiklah."

"Anak pintar, Papa bersyukur mendapatkanmu."

Ogan memberikan ciuman di kening Rad. Rad terpaku, dan melihat Ogan tersenyum padanya, lalu membelai rambutnya dengan lembut. Sikap Ogan sama seperti Margarita.

"Kalau begitu, Papa pergi dulu. Belajar yang rajin dan jangan kecewakan Papa. Oke?" Ogan mengedipkan sebelah matanya seraya mengacungkan jempol.

"Oke." Rad juga mengacungkan jempol.

"Bagus."

Ogan tersenyum lagi. Dia berjalan meninggalkan Rad. Rad bergeming, menyaksikan kepergian Ogan.

"Hei, tunggu! Kembalikan tasku!"

Tiba-tiba, muncul suara teriakan yang mengagetkan Rad. Rad membelalakkan matanya, menoleh ke asal suara jeritan tadi. Seorang anak perempuan berambut sebahu cokelat terang, sedang mengejar seorang anak laki-laki. Mereka menjadi pusat perhatian di lorong itu.

"Tunggu! Axel!" Anak perempuan tetap berteriak memanggil pelaku yang membawa kabur tas miliknya.

"Coba tangkap aku kalau kau bisa, Joy!" Anak laki-laki berambut hitam itu melambai-lambaikan tas sandang satu milik anak perempuan yang berteriak tadi.

"Axel! Kuperingatkan kau!"

Semua orang terdiam dengan ekspresi berbeda-beda saat menonton aksi kejar-kejaran seru itu. Saat anak laki-laki berambut hitam yang membawa tas itu, melewati Rad, tiba-tiba Rad spontan memajukan kakinya. Sehingga anak laki-laki berambut hitam tersandung kaki Rad, menyebabkannya jatuh.

Hening. Semua mata tertuju pada Rad. Rad menyadari tatapan aneh mereka, tetap bersikap biasa saja. Lantas berjalan menghampiri anak laki-laki yang tersungkur barusan itu.

"Maaf. Karena aku terpaksa menghentikanmu. Jadi, serahkan tas itu padaku," pinta Rad dengan suara yang datar.

"Tidak!" sembur anak laki-laki itu melotot seraya bangkit berdiri, "memangnya kau siapa sampai beraninya menjegal pangeran sepertiku?"

"Ah, kau pangeran?"

"Ya. Namaku Axel Aal Summer."

***

avataravatar
Next chapter