1 Bagian 1. Mendapatkan orang tua baru

Derap langkah kecil terayun di jalanan. Seorang anak laki-laki berpakaian lusuh dan kotor, menghentikan langkahnya di keramaian.

"Aku lapar," bisiknya seraya memegang perutnya yang menyiksa sejak tiga hari yang lalu. Wajahnya pucat dan mata birunya sayu, seakan menyedot siapapun untuk memandangnya. Tapi, tidak ada seorangpun mau mendekati atau menolongnya.

Anak laki-laki itu memandang setiap wajah yang melihatnya. Orang-orang tidak berbelas kasihan, langsung pergi tanpa memberikan seperser uang padanya, padahal tangannya sudah menadah ke atas. Raut wajah menyedihkan anak laki-laki itu, seolah dianggap sebagai topeng untuk menarik simpati karena gelandangan dianggap sebagai penipu ulung. Kejadian seperti itu sudah terjadi beberapa kali sehingga orang-orang tidak memiliki hati iba lagi untuk menolong para pengemis.

Anak laki-laki itu tetap menunggu malaikat baik yang memberinya uang atau sesuatu yang bisa dimakan. Dia berdiri sembari bersandar pada dinding sebuah toko makanan. Orang-orang yang lalu-lalang diamatinya untuk mengusir kebosanan.

"Sayang, sudah selesai?" Tiba-tiba, muncul seorang pria berambut pirang yang disisir rapi dan berpakaian kantoran, keluar dari mobil produksi abad 19 yang terparkir di tepi jalan. Dia berjalan menghampiri istrinya yang baru saja keluar dari toko makanan itu.

"Iya, sudah, Ogan." Wanita berambut hitam pendek, tersenyum. Menenteng banyak barang belanjaan.

"Biar aku yang bawa. Sini!"

"Iya. Tapi, tunggu!"

"Ada apa?"

"Lihat anak itu!"

Wanita berambut hitam itu menunjuk anak laki-laki yang tetap menadahkan tangan. Pria berambut pirang melihat anak laki-laki itu, lalu mengerutkan keningnya.

"Ada apa dengan anak laki-laki itu?" tanya pria berambut pirang.

"Saat aku masuk ke toko ini, dia tetap seperti itu," jawab wanita berambut hitam meredupkan matanya, "dia menunggu seseorang untuk meletakkan uang ke telapak tangannya, tetapi tidak ada seorangpun mau menolongnya. Apa lagi umurnya masih sekecil itu, aku jadi kasihan padanya."

"Oh. Lalu apa yang ingin kau lakukan?"

"Aku merasa ingin membawanya pulang."

"Hah? Apa?"

Pria berambut pirang tercengang ketika mendengarkan ucapan istrinya barusan. Wanita berambut hitam itu segera berjalan menghindari orang-orang yang lewat. Langkahnya terhenti di depan anak laki-laki berambut pirang itu. Mengambil lembaran uang dari dompet yang dipegangnya dan meletakkan uang itu ke telapak tangan anak laki-laki itu.

Mata biru anak laki-laki itu bersinar terang seperti kemilau bintang. "Terima kasih, Tante."

Wanita berambut hitam tersenyum ramah. "Iya, sama-sama. Kalau boleh tahu, siapa namamu, nak?"

"Rad."

"Itu saja?"

"Iya. Aku tidak memiliki nama lengkap."

"Oh. Lalu orang tuamu di mana?"

"Aku tidak punya orang tua. Sejak kecil, aku dibesarkan di panti asuhan. Karena panti asuhan terbakar, makanya aku dan teman-temanku tidak memiliki tempat tinggal lagi. Kami hidup terpisah sekarang."

Rad bercerita dengan muka yang muram. Hati wanita berambut hitam itu, terketuk dan berlutut untuk menyamakan tingginya dengan tinggi badan Rad.

"Rad, apa kau mau ikut dengan Tante?" tanya wanita itu dengan senyuman lagi.

"Apa maksud Tante?" Rad balik bertanya. Keningnya mengerut.

"Kami mengadopsimu menjadi anak, Rad. Bukankah begitu, Margarita?" Pria berambut pirang tadi mendadak berlutut di samping istrinya.

Margarita Ramos Aldebaria, nama wanita berambut hitam itu mengangguk. "Ya, kami mengadopsimu sebagai anak, Rad. Kau mau, 'kan?"

Mata Margarita melembut. Breogan Ramos Aldebaria, suaminya, tersenyum. Rad terpana, memandangi dua wajah yang ada di hadapannya. Lantas jiwanya melompat bahagia.

"Aku mau!" teriak Rad dengan nada yang ceria.

Margarita tersenyum lebar. "Syukurlah."

Ogan, panggilan akrab Breogan, lantas menepuk pucuk rambut Rad. "Kau menjadi putra satu-satunya keluarga kami karena kami tidak memiliki anak selama sepuluh tahun ini."

"Ayo, Rad!"

Margarita menarik tangan Rad. Rad mengangguk dan mengikuti langkah orang tua barunya. Senyuman terukir kembali di parasnya yang berseri-seri.

Rad dan Margarita masuk ke mobil, sementara Ogan memasukkan semua barang belanjaan ke bagasi. Usai itu, Ogan masuk mobil, bertindak sebagai supir untuk menjalankan mobil menuju jalan pulang.

Di sepanjang perjalanan, Rad berbicara mengenai dirinya. Ogan dan Margarita mendengarkan dari kabin depan, menunjukkan muka sedih.

"Aku dibuang oleh kedua orang kandungku. Itu yang aku tahu dari ibu Yuka. Lalu ibu Yuka juga, yang memberikan aku nama Rad," tutur Rad yang duduk di kabin belakang, "tapi, ibu Yuka telah meninggal sekarang karena terjebak di panti asuhan yang terbakar saat berusaha menyelamatkan kami."

"Kami turut berdukacita atas kematian ibu Yuka," tukas Margarita dengan intonasi lembut.

"Ya. Apa kau masih bersedih karena kehilangan dirinya?" tanya Ogan tanpa melihat Rad, tetap fokus menyetir.

"Masih. Tapi, aku tidak boleh bersedih terus, itu akan membuat jiwa ibu Yuka tersiksa. Aku harus tetap bersemangat menjalani hidup ini."

"Itu benar. Kau harus bersemangat, sayang!" Ogan tersenyum.

"Mulai sekarang, kau harus memanggil kami, Papa dan Mama, ya?" pinta Margarita dari balik bangku yang didudukinya.

"Baiklah, Papa, Mama!"

"Bagus, itu baru anak Papa."

"Anak Mama juga, Pa."

"Ya, anak kita berdua."

Ogan dan Margarita mengekspresikan kegembiraan itu dengan senyuman sekali lagi. Rad tersenyum. Matanya semakin bercahaya terang, memancarkan kegirangan sejati. Bersyukur telah memiliki tempat berlindung dari segala cuaca yang menghadang.

Terima kasih, Tuhan. Kau telah memberikan keluarga baru untukku.

Rad membatin. Melihat ke jendela terbuka lebar, semua pohon yang berbaris-baris di sisi jalanan raya, tumbuh lebat. Musim semi telah datang untuk menyemarakkan suasana tahun ajaran baru ini.

Tak lama kemudian, Rad dan orang tuanya tiba di mansion seperti istana. Mansion serba putih, kuning, dan hijau itu, dikelilingi pagar besi setinggi lima meter. Beberapa penjaga berpakaian khusus, berdiri di dekat pintu gerbang. Mereka mempersilakan mobil milik Ogan masuk ke pekarangan depan.

Halaman depan yang sangat luas, dipenuhi tanaman-tanaman hias dan beraneka bunga, menyambut kedatangan Rad. Rad ternganga dan takjub dengan keelokan taman itu. Dia berdiri bersama orang tuanya di dekat mobil.

"Inilah rumah kami. Indah, bukan?" Margarita memegang bahu Rad.

"Bukan indah lagi, Mama. Tapi, ini sangat indah!" Rad tersenyum lebar dengan paras imut yang semringah.

"Itu benar."

"Ayo, kita perkenalkan Rad pada semua orang di rumah!" ajak Ogan membawa semua barang belanjaan di kedua tangannya.

"Baiklah, suamiku."

Margarita menarik tangan Rad lagi. Mereka berjalan mengikuti Ogan dari belakang dan masuk ke pintu berdaun dua. Bunyi deritan pintu cukup nyaring, menggema. Bahkan suara orang-orang juga terdengar saat Rad dan orang tuanya berjalan mendekati mereka.

"Selamat datang kembali, Tuan dan Nyonya!" seru beberapa pelayan yang berbaris rapi di hadapan Rad, Ogan, dan Margarita.

"Ya, terima kasih, semuanya," balas Ogan tersenyum, melirik Rad yang berdiri di sampingnya, "perkenalkan, anak ini bernama Rad. Dia adalah anak angkat kami dan telah menjadi tuan muda di rumah ini. Mulai hari ini, aku memberinya nama lengkap, Rad Ramos Aldebaria."

Semua pelayan tersenyum, dan menunduk. "Selamat datang, Tuan Muda, Rad Ramos Aldebaria."

Semua orang menyambut kedatangan Rad dengan penuh antusias. Rad tersanjung, merasa girang. Kedua matanya berkaca-kaca. Nyaris menangis.

"Terima kasih, semuanya. Aku senang bisa bertemu dengan kalian semua," ucap Rad tersenyum lebar.

***

avataravatar
Next chapter