6 #6

Matahari mulai tenggelam di ufuk Barat. Udara dingin mulai menusuk ke tulang - tulang. Beberapa orang mulai menarik jaketnya untuk menghangatkan diri. Namun rasa takutku telah membutakanku dari keadaanku sekarang.

Aku terus berlari dengan kecepatan tinggi dan tidak peduli dengan tatapan semua orang di sekitarku. Mereka mengerutkan kening melihat bagian pipi dan mulutku. Namun tatapan mereka tidak berhasil membuatku berkutik dan berusaha mengerti tatapan mereka.

"Nak! Gunakan masker!" sahut seorang nenek sambil menggenggam tanganku dengan erat dan berhasil membuatku berhenti berlari. Tangan kurus nenek itu menyodorkanku sebuah kotak dengan tulisan sumbangan masker. Aku menghela napas dan segera mengambil masker.

Aku melihat nenek itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Baju yang nenek itu gunakan berwarna oranye dan bertuliskan "Gerakan Masker". Sepertinya nenek ini merupakan bagian dari sebuah organisasi penyumbang masker. Aku jadi terenyuh dengan tindakannya. Apalagi beliau melakukannya di tengah pandemi mengerikan seperti ini tanpa peduli resiko besar yang beliau hadapi. Namun di saat bersamaan, aku cukup kaget nenek itu dapat menahan tanganku dengan erat.

"Terima kasih nek. Sampai jumpa lagi," ucapku sebelum mengenakan masker dan berlari dengan kecepatan petir menyusuri pinggir jalan raya dan melewati beberapa orang yang berlalu lalang.

Sesudah berlari dengan kecepatan maksimum, aku berhenti sejenak dan mengecek ponselku. Sambil menetralkan napas, aku pun mengecek peta yang Ashley kirimkan. Aku beruntung karena lokasinya tidak jauh dari tempat aku berdiri. Sehingga aku yakin aku bisa mencapai tempat itu dengan cepat.

Namun dugaanku salah. Aku mengikuti arah tanda panah yang ada di peta itu. Aku terus berjalan melewati banyak jalan sempit dan juga kumuh. Tempat antah berantah pun telah kulewati. Aku mengerutkan kening beberapa kali saking tidak mengerti sama sekali kemana peta itu membawaku.

Akhirnya setelah sekian menit aku berjalan cepat, tanda panah itu akhirnya berhenti di depan sebuah gedung besar yang sepertinya adalah bekas pabrik. Pagar dari gedung menyeramkan itu memiliki tinggi yang tidak rasional dengan kawat - kawat tajam di atasnya. Aku menelan ludah berusaha berjalan mendekat ke arah gedung tua menyeramkan itu.

Tiba - tiba, ada dua siluet orang yang berjalan keluar gedung besar itu. Aku mendadak bersedekap dan segera bersembunyi di balik tong sampah besar. Aku menyipitkan mataku dan berusaha mempertajam penglihatanku agar mengenali dua orang pria yang berjalan mendekati tempatku bersembunyi. Dua orang itu berjalan semakin dekat dan dekat hingga akhirnya aku mengenali dua orang berpakaian nyentrik itu.

Ada satu pria pendek yang memiliki rambut pink spike dan bertubuh gemuk. Di tangannya dia memegang keripik kentang dan mulutnya sibuk mengunyah. Pria gemuk itu adalah pria tergemuk yang pernah kulihat setelah Garry, temanku yang paling rakus di seluruh sekolah.

Lalu di samping pria itu, seorang pria jangkung yang hanya berpakaian setengah badan. Karena hal itu, tubuh bagian dada pria itu terlihat. Jujur saja, pria itu memiliki badan yang bagus dan dadanya berbidang. Pasti di mata semua perempuan normal, itu pasti hal yang menjadi penyegar mata.

"Gilak! Tadi adik manis yang dibawa bos cakep banget sumpah! Pahanya lembut, bibirnya unyu, apalagi depannya itu lho. Argh! Gue pengen!" ucap si pria gemuk itu. Aku mengerutkan kening mendengar perkataan vulgar pria gemuk itu. Sepertinya akan terjadi pelecehan seksual.

"Iya woi... Eh, tapi tadi siapa namanya? Ash... Ash... alah siapa sih?!" ucap si pria jangkung itu. Keningku semakin berkerut mendengar nama yang sepertinya hanya setengah bagian itu. Aku memutuskan untuk mendengar lagi untuk. mendapatkan kejelasan.

"Ashley! Nama cantik kayak gitu lo lupa! Dasar bego!" ucap si pria gemuk sambil memukul - mukul punggung dan kepala si pria jangkung. Sementara pria jangkung itu hanya tertawa renyah tanpa rasa bersalah di wajahnya.

Wajahku berubah menjadi merah padam. Kedua tanganku terkepal siap mengahajar mereka berdua. Sudah jelas yang mereka bicarakan adalah Ashley.

Aku melihat tongkat baseball terselip di tutup tempat sampah yang hanya terbuka sedikit. Sebuah senjata keberuntungan yang muncul di saat aku susah. Aku segera mengambil tongkat baseball itu dan menggenggamnya dengan erat. Lalu aku pun keluar dari tempat persembunyian.

Aku tepat berdiri di hadapan mereka. Menatap mereka berdua dengan tatapan tajam sambil memainkan tongkat baseball di tanganku. Hal itu membuat kedua orang itu melihat dengan tatapan menyelidik dan di saat bersamaan mereka menatapku dengan wajah ambigu.

"Eh ada cewek nih," ucap si pria gemuk dengan tatapan menyelidik. Namun arah mata pria gemuk itu meresahkan perasaanku.

"Mau ngapain ke sini? Jadi korban?" tanya si pria jangkung dan membuatku membelalakkan mata. Melihat reaksiku, si pria jangkung tertawa renyah. Lalu aku menetralkan wajahku dan segera menyunggingkan senyum kecil mendengar tawa pria jangkung itu yang terdengar meremehkan.

"Eh malah senyum - senyum. Bener nih, kayaknya asyik diajak main," ucap si pria gemuk masih dengan arah matanya yang masih meresahkan. Sementara aku hanya mengendikkan bahu memancing dua orang di depanku ini.

"Gue bakal hajar lo pada. Setelah itu, baru gue lapor lo pada ke polisi atas pelecehan seksual," ucapku sebelum terkekeh pelan. Namun, tawa kedua pria itu lebih kencang daripada kekehanku.

"Meremehkan ternyata," ucapku masih dengan senyum kecilku yang tidak luntur dari wajahku. Membuat pria gemuk itu menaikkan salah satu alisnya masih terlihat meremehkan. Lalu tertawa lagi namun lebih kecil dari sebelumnya.

"Dasar cewek belagu. Emang lo bisa apa sama tongkat baseball itu. Lu juga cupu pake masker kek gitu," ucap si pria gemuk sambil mendorong - dorong punggung si pria jangkung. Aku bisa menebak kalau si pria gemuk ingin agar pria jangkung melawanku.

"Oh ya? Ayo sini lawan gue. Ngapain malah ngedorong temen lo?! Cupu lo!" ucapku dengan suara tegas. Membuat si pria gemuk itu menelan ludah dan ekspresinya berubah pucat. Namun setelah beberapa saat, pria gemuk itu menggeleng dan wajahnya berwarna merah padam. Aku bisa menebak dari kedua matanya bahwa ia merasa tertantang.

"Ya udah! Sini lo!" ucap si pria gemuk sambil maju dengan langkah gemetar dan ragu. Dia memasang kuda - kuda dengan menunjukkan dua kepalan tangannya.

"Kuda - kudanya klasik banget," ucapku sambil menahan tawa. Namun pria gemuk itu tetap menatapku dengan nyalang dan tidak memedulikan ucapan provokatif milikku. Tindakan pria itu cukup membuatku terhibur.

Aku membuang ludah ke jalan lalu segera berjalan pelan mendekati pria gemuk itu dengan langkah mantap. Hatiku berdebar saking inginnya aku memukul wajah belagu dan ambigu pria itu.

Pria gemuk itu yang memiliki ukuran tubuh sama tinggi denganku mulai menonjok ke arah wajahku. Namun aku menghindari tonjokkan itu lalu memukul telak wajah si pria gemuk itu dengan tongkat baseball milikku. Pria itu terjatuh dengan beberapa giginya yang telah tanggal dan hidungnya yang berdarah - darah.

Aku memperbaiki kuda - kuda milikku dan menatap nyalang pria jangkung di hadapanku. Pria itu nampak jauh lebih tenang daripada si pria gemuk. Dia melebarkan kakinya dan menyiapkan kuda - kuda. Aku mengambil napas dan membuangnya perlahan. Aku menggenggam erat tongkatku dan siap memukul wajah pria itu.

Aku berlari dengan kecepatan tinggi menuju ke arah pria jangkung itu. Pria itu pun jugaberlari maju dengan kecepatan tinggi dan melepaskan pukulannya sebanyak empat kali tepat di wajahku. Namun aku berhasil menghindari pukulan pria itu dan membalas pukulannya hingga dia terpental jauh ke belakang.

Aku kembali berlari dengan kecepatan tinggi menuju ke tempat pria itu jatuh. Lalu sebelum sempat pria jangkung itu berdiri dan memukulku, aku telah memukul wajahnya hingga tongkat baseball milikku patah. Darah pun mengucur dari pelipis serta beberapa bagian kepala pria itu dan membuat genangan kecil berwarna merah di jalanan.

Aku mengambil napas dan segera membuangnya perlahan. Aku menjilat bekas darah di ujung serpihan tongkat baseball milikku sebagai tanda kemenangan. Lalu dengan tongkat baseball yang hanya tinggal setengah bagian, aku dengan langkah mantap segera masuk ke dalam gedung besar itu.

Aku melihat ke sekeliling gedung itu dan berusaha mencari satu saja tubuh manusia. Karena itu bisa menjadi petunjuk untuk. menemukan Ashley. Namun tanpa kusadari, apa yang kucari sudah ada di depan mataku persis.

Di depanku, Ashley terikat erat dengan tiang di belakangnya. Tangannya menggantung di atas kepala dan matanya terpejam. Bengkak di matanya terlihat bahwa Ashley banyak menangis.

Di depan Ashley, terdapat Tirano yang nampak sedang mengelus paha Ashley lalu menjilat leher Ashley. Beberapa kali, tangannya nampak kebablasan dan wajahnya menggambarkan dia sedang menikmati sesuatu. Jantungku berdetak kencang melihat kelakuan Tirano yang memang adalah pelecehan seksual.

"Woy! Bangsat lu emang! Megang - megang sana - sini!" ucapku dengan nada tinggi. Hal itu membuat Tirano sadar. Reaksinya pun tidak sesuai dengan apa yang kubayangkan.

Tirano berbalik badan sambil mengangkat kedua tangannya. Seakan dia kalah telak akan sesuatu. Padahal pertempuran sama sekali belum dimulai.

"Kau menemukan tempat ini ternyata," ucap Tirano sebelum terkekeh dan menatapku meremehkan. Aku menghela napas berusaha tenang dengan segala emosiku yang menggebu - gebu ini.

"Ternyata aku salah mengerti soalmu. Kau melewati anak buahku ternyata. Hebat!" ucap Tirano sebelum membuat gaya seakan menyembah diriku. Aku masih menatap tajam Tirano tanpa peduli apa pun soal tindakannya.

"Cukup intermezzo milik lu. Kita adu otot sekarang!" ucapku sambil merenggangkan leherku. Tirano membalasku dengan tawa renyah miliknya sambil merenggangkan jemari miliknya.

Tanpa banyak bicara, Tirano dengan gerakan cepat memukul telak di wajahku. Aku yang tidak memprediksi gerakannya, terpental sangat jauh dan membentur keras dinding gedung.

"Lihat! Cupu!" ucap Tirano dengan nada mengejek. Membuat dadaku menggebu - gebu ingin sekali membalas tonjokkan Tirano.

Aku kembali berdiri dan menatap Tirano dengan mata nyalang. Tatapanku dibalas Tirano dengan tatapan meremehkan. Membuatku mengepalkan kedua tanganku saking kesalnya.

Tanpa aku sadari, Tirano kembali melepaskan pukulan. Namun sekarang dengan reflekku yang baik, aku berhasil menangkis pukulan Tirano dan menonjok wajah Tirano. Hal itu menyebabkan Tirano mundur selama beberapa langkah.

Sebelum Tirano sempat memukul diriku, aku memukul lagi wajah Tirano. Lalu lagi, lagi, dan lagi hingga diakhir oleh tendanganku yang mengenai dengan telak wajah Tirano.

Tirano berakhir jatuh tersungkur dengan banyak luka di wajahnya. Matanya tidak terpejam sempurna akibat bengkak dan dia tampaknya tidak bisa berdiri lagi.

"Itu baru cupu, omdo!" ucapku sebelum meludah tepat ke arah wajah Tirano.

Aku segera berlari ke arah Ashley yang nampaknya pingsan. Aku segera melepas ikatan di tangan dan badannya lalu melihat ke arah matanya langsung. Matanya tidak sepenuhnya terpejam sehingga aku yakin Ashley masih sadar.

"Ash... Kumohon bangun," ucapku sambil memegang pipinya yang terasa dingin. Ashley menatapku lemah namun aku melihat ada senyum di wajahnya.

"Aku tahu kamu datang. Aku sayang kamu," ucap Ashley dengan suara parau dan lemah. Aku menitikkan air mata mendengar suara lembutnya.

Tanpa sadar, aku membuka masker dan langsung mencium bibir Ashley. Entah kenapa, semua stres yang menumpuk pada diriku segera hilang. Bibir Ashley yang lembut berhasil menghangatkan hatiku.

Aku bisa merasakan bibir Ashley yang sepertinya menerima ciuman dariku. Dia menjilati seluruh bibirku dan dengan tenang merasakan sensasi yang kuberikan kepadanya. Kehangatan badan kami berdua semakin kami rasakan di saat kami semakin merapat.

Aku melepas ciuman itu dan akhirnya sama - sama menatap satu sama lain. Saling mengatur napas dan dengan tatapan kami saling menenangkan satu sama lain.

"Kamu juga?" tanyaku setelah berhasil menormalkan napasku dan dengan wajah bingung. Aku tidak menyangka akan reaksi Ashley akan seperti itu.

"Aku akan cerita nanti. Tapi sekarang, apakah kita pacaran?" tanya Ashley dengan senyum manisnya. Aku menyunggingkan senyum dan segera mengangguk atas pernyataan Ashley.

Polisi datang ke TKP segera setelah kami meneleponnya. Tirano dan dua orang anak buahnya ditangkap atas tindakan mereka yang akan melecehkan Ashley. Sementara aku dan Ashley segera ke kantor polisi untuk ditanya - tanya.

Setelah diinterogasi, aku dan Ashley menunggu penjemput kami masing - masing. Kami beruntung diberikan masker baru dan dipinjami sweater. Jadi kami bisa merasa hangat di tengah malam menegangkan ini. Namun, hening yang panjang di antara kami berlangsung sangat lama.

"Tadi, aku ketemu nenek - nenek. Dia itu dari komunitas pemberi masker. Kamu mau ikut nggak? Bareng aku," ucapku supaya keheningan yang canggung di antara kami segera berakhir.

Ashley melihatku dengan senyuman manisnya dan tatapan hangatnya. Dia memelukku dan aku bisa merasakan kepalanya mengangguk. Hatiku jadi berdebar - debar dibuatnya.

"Iya...Boleh kok," ucap Ashley sambil mempererat pelukannya. Membuat jantungku semakin berdetak cepat dan dinginnya malam dikalahkan oleh panas badanku. Hal itu membuatku hanya bisa mengelus tangan Ashley yang melingkar di pundakku.

Tiba - tiba, aku melihat sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan kantor polisi. Lalu, seorang pria paruh baya datang dengan mengentak - entakkan kakinya menuju ke arah kami berdua. Ekspresi wajahnya sangat pucat.

"Ashley!" ucap pria itu begitu sampai ke depan kita. Ashley langsung melepas pelukannya dan tersenyum ke arah pria paruh baya itu.

"Hai ayah! Terima kasih sudah datang. Aku mau pulang," ucap Ashley dan suaranya terdengar bergetar. Aku tahu, dia masih memiliki ketakutan atas segala kejadian yang menimpa dia. Itu pasti adalah alasan di memelukku dengan sangat erat.

Ayah Ashley memeluk putrinya dan juga dengan bertubi - tubi mencium puncak kepala Ashley. Sementara Ashley membalas pelukan ayahnya dengan pelukan yang sangat erat. Aku jadi tersenyum melihat kedekatan mereka berdua.

"Ayo pulang nak. Kita lupakan semua ini. Terima kasih, Hailey," ucap ayah Ashley sebelum berbalik dan mengangguk kepadaku. Aku juga membalas ayah Ashley dengan anggukan sebelum akhirnya mereka pergi untuk pulang.

avataravatar
Next chapter