4 #4

Aku memaksa mataku untuk terbuka lebar di pagi paling menyebalkan di awal pekan. Matahari bahkan bersinar redup dan bersembunyi di dalam pekatnya awan. Terlihat sedih dan bahkan hampir meneteskan air matanya ke Bumi yang hampir hancur ini. Sebuah awalan yang menyebalkan untuk awal pekan.

Hari Senin telah tiba dan bahkan sebelum dimulai, aku sudah lelah dengan sekolah. Jika aku bersekolah tanpa uang hasil kerja keras seseorang, sesekali rasanya ingin membolos agar aku tidak perlu menghadapi pelajaran menyebalkan setiap harinya. Namun hutang budiku lebih daripada kemalasanku.

Aku membuka selimut dan segera bersiap ke sekolah. Aku memutuskan untuk tidak merias diri dan hanya menyisir rambut. Awal pekan memang membuatku malas melakukan hal - hal yang terasa tidak perlu. Untunglah sekolah dari rumah mengizinkanku memakai celana pendek saja walau masih panas dengan kemeja sekolahku yang menyebalkan.

Setelah selesai bersiap, aku pun membuka laptop dan setelah itu segera menuju aplikasi yang menjadi platform belajar daring sekolahku selama pandemi. Sambil menunggu laptop yang sedang menjalankan aplikasi belajar daring sekolahku, aku memutuskan untuk melihat - lihat grup kelas yang ada di aplikasi kirim. pesan bernama line.

Seperti biasa, kami membaca briefing yang wali kelas kami sampaikan di grup itu lalu menunggu sesi pertama pelajaran tiba. Sementara menunggu, aku mengirim pesan kepada Ashley sebagai sapaan di pagi hari. Hal itu sudah biasa kami lakukan agar saling menyemangati di setiap harinya. Ini juga kegiatan favorit yang kulakukan karena berkontak dengan Ashley di pagi hari adalah sesuatu yang spesial.

"Pagi Ratu Ashley," ketikku dengan diakhiri dengan emoji tersenyum. Lalu aku menunggu Ashley selama beberapa saat baru dia membalas.

"Hai!! Pagi juga Ratu Hailey," ketik Ashley dengan diakhiri emoji tersenyum pula. Aku tersenyum sendiri karena aku tahu Ashley jarang menggunakan emoji tersenyum.

Lalu, aku kepikiran soal Tirano dan bagaimana hubungan mereka. Ditambah karena Ashley tidak mengirimku pesan pada hari kemarin. Aku pun segera mengetik pertanyaanku.

"Apa kabar hubungan kamu sama Tirano?" ketikku. Dengan cepat Ashley menjawab pesanku.

"Dia sweet banget astaga. Aku nggak tahan saking uwu - nya," ketik Ashley diakhiri dengan emoji mata berhati. Membuat hatiku menjadi tidak enak kembali.

Tiba - tiba, satu pesan masuk berasal dari Whatsapp dari nomor yang tidak diketahui. Aku pun memencet nomor itu.

"Hai. Ini Tirano," ketik si pemilik nomor itu yang ternyata adalah Tirano. Aku memutar bola mataku dan langsung membalas pesan Tirano.

"Darimana dapat nomor aku? Dari Ashley?" ketikku dan langsung dibalas oleh Tirano.

"Tentu saja Ashley. Kau kira siapa lagi? Nona manis. Aku hanya mengenalmu sebagai sainganku dan Ashley targetku," ketik Tirano dan aku yakin dia sekarang sedang tertawa sendiri. Aku pun membalas pesan itu dengan sinis.

"Ada urusan apa sampai kamu minta nomorku ke Ashley?" ketikku. Lalu kembali dibalas dengan cepat oleh Tirano. Kecepatan tangan Tirano dalam mengetik ternyata seperti The Flash.

"Aku cuman mau bilang, gue udah selangkah lebih depan," ketik Tirano. Aku cukup kaget dengan pergantian bahasa yang diketik Tirano. Aku membalasnya tidak kalah sinis dari yang pertama.

"Oh... Jadi 'gue lo' sekarang? Denger ya, bambang sumur. Eh bukan denger, baca! GUE UDAH NYERAH. ASHLEY PUNYA LO. PUAS?" ketikku dengan rasa kesal di hatiku semenjak tadi. Meski ditambah dengan rasa sesak karena harus menyerah dengan tantangan Tirano.

Tirano pun cukup lama membalas pesanku. Sepertinya dia syok dengan ketikanku yang kebanyakan menggunakan capslock.

"Lo nyerah? Semudah itu? Yang bener aja dong, ayang. Nggak seru ih. Gue nggak suka," ketik Tirano dan kata - katanya cukup membuatku bergidik ngeri. Dengan cepat kecepatan tinggi.

"Stop dengan kata - kata itu oke? Gue jijik tahu nggak. Lagipula, Ashley yang seharusnya lu kasih kata - kata kayak gitu," ketikku dan itu bertepatan dengan panggilan video yang diadakan oleh guruku. Aku pun mengabaikan pesan masuk dari Tirano dan segera memasuki panggilan video itu.

Saat memasuki panggilan video, guruku menyuruh aku, Ashley, dan dua temanku untuk membuka kamera. Seperti yang disuruh guruku, aku pun membuka kamera bersamaan dengan Ashley yang sudah muncul di layar. Dia nampak menatap ke bawah dan tertawa sendiri.

"Ashley... Ketawain apa itu nak?" tanya guruku. Namun dijawab Ashley dengan lambaian tangan yang berarti tidak. Hal itu membuat guruku menggelengkan kepala sementara beberapa temanku tersenyum sendiri. Lalu guruku pun menenangkan anak muridnya dan melanjutkan pelajaran.

Selama panggilan video, aku melihat Ashley tampak selalu tersenyum sambil memandang ke bawah. Tebakanku, dia sedang berkirim pesan dengan Tirano. Aku hanya menghela napas beberapa kali meratapi nasibku dan berusaha menormalkan dadaku yang sesak ini.

Ketika istirahat, aku bisa merasakan perubahan dalam diri Ashley. Dia tidak mengirimku pesan seperti biasa. Nampaknya dia terobsesi dengan Tirano sampai melupakanku.

Tanpa terasa, sekolah sudah selesai. Aku memutuskan untuk menyalakan ponselku dan segera mengirim pesan kepada Ashley. Aku ingin berbincang dengannya setelah sekolah menyebalkan itu berakhir.

Namun sebelum mengirim pesan ke Ashley, aku melihat ke akun Tirano terlebih dahulu. Ia sepertinya hanya memberi kata - kata umpatan dan menghina diriku. Aku memutar bola mataku dan segeran menuju akun Ashley.

"Hai! Ngobrol yuk!" ketikku lalu dengan sabar kutunggu Ashley membalas sambil membuka aplikasi instagram.

Namun setelah 15 menit aku menunggu, tidak ada balasan sama sekali dari Ashley. Hal itu membuatku jantungku berdetak kencang.

"Ash?" ketikku dan kuharap dia segera menjawab karena tulisan di akunnya adalah Online. Namun meski dia Online, tidak ada jawaban sama sekali.

"Ash... Lagi ngapain? Aku khawatir ini :((" ketikku dan aku hanya berharap dia membaca lalu membalas dengan cepat.

Kehawatiranku hilang dalam sekejap ketika kulihat Ashley mengetik. Namun jantungku masih berdetak kencang menunggu jawab Ashley.

"Aku lagi ngobrol sama Tirano sama main gim bareng dia. Tenang aja jangan khawatir," ketik Ashley dan itu membuat jantungku berdetak normal. Aku cukup takjub dengan Ashley yang tahu perasaanku sekarang.

"Oh Oke. Have fun," balasku dan diakhiri dengan emoji tersenyum. Namun tidak seperti biasanya, Ashley belum sama sekali membacanya.

Sepertinya Ashley sudah mulai menyukai Tirano. Karena itu, Ashley sepertinya mulai mengabaikan pesan masuk dari orang lain.

Aku melempar ponselku ke tempat tidurku. Aku berusaha tetap produktif dengan mengerjakan semua tugas yang diberikan oleh guru pada hari ini.

Aku mengerjakan tugas dengan sangat fokus sampai tidak sadar jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Saat semua tugaski sudah selesai, aku pun memutuskan untuk beristirahat sambil menonton film favoritku.

Tiba - tiba, ponselku berdering. Aku pun mengambil ponselku dan segera melihat siapa yang memanggilku. Nama yang tertera di layar ponselku membuatku terbelalak. Aku pun segera menjawab panggilan itu.

"Ash? Ada apa?" tanyaku dengan ucapan terburu - buru. Aku sangat khawatir karena aku tidak terbiasa dengan Ashley yang tidak mengirim pesan sama sekali.

"Tirano nembak aku, ikh!!" ucap Ashley dan diakhiri oleh pekikan. Ucapan singkat itu sukses membuat dadaku menjadi sangat sesak.

"Terus? Kamu jawab apa?" tanyaku dan kuharap Ashley menjawab dengan jawaban yang kuinginkan. Aku tidak ingin dia berpacaran dengan Tirano yang notabene - nya baru dikenal oleh Ashley.

"Aku terima. Dia baik banget soalnya," ucap Ashley. Hal itu membuatku diam membeku dan tanganku gemetar. Aku tidak menyangka hal ini terjadi sangat cepat.

"Kamu yakin? Maksudku, kamu baru kenal. sama dia," ucapku dengan berusaha menormalkan suaraku yang hampir serak menahan tangis dan air mata yang hendak mengalir.

"Iya... Maksudku, kita baru kenalan selama tiga hari aja dia udah buat aku jatuh cinta. Ya udah, aku terima," jawab Ashley. Membuatku menghela napas panjang berusaha mengerti.

"Oh... Selamat ya," ucapku berusaha tenang walau dengan nada yang hampir parau. Air mata yang sudah dari tadi kutahan akhirnya jatuh juga. Namun aku mengusapnya dengan cepat dan menghela napas.

"Iya makasih. Aw... Dia manis banget. Udah ya, aku lanjut ngobrol ama Tirano. Bye!" ucap Ashley sebelum menutup teleponnya.

Setelah beberapa saat Ashley menutup telepon, sebuah pesan masuk datang dari akun Tirano. Aku membuka akun Tirano untuk membaca pesan Tirano.

"Lihat, gue udah berhasil mengambil hati sahabat elu. Gue menang, cewe lemah," ketik Tirano dan aku tahu apabila diucapkan, pasti bernada sombong. Pesan singkat itu sukses membuat tanganku gemetar dan dadaku bertambah sesak.

"Aku sudah bilang kalau aku menyerah dari awal," ketikku dan diakhiri oleh emoji kesal. Lalu aku melempar ponselku ke meja belajar tanpa peduli satu pun pesan masuk. Karena saat ini terasa lebih baik menyendiri terlebih dahulu.

Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk ke tempat tidurku.

Aku melipat kedua kakiku dan menutup wajahku dibalik dengkulku. Entah mengapa, semua memori aku bersama Ashley kembali dan selalu mengalir. Anehnya lagi, aku tidak menahannya.

Air mata yang sedari tadi kutahan lagi mengalir kembali. Aku menutup wajahku dengan bantal dan menangis sejadi - jadinya.

Hatiku remuk seperti digenggam oleh tangan kekar tidak bertanggung jawab. Perasaanku hancur bagaikan barang pecah belah.

Ternyata inilah rasanya patah hati di saat sahabat yang kau sendiri sukai dimiliki orang lain. Begitu menyakitkan sampai rasanya ingin mati saja.

Hari esok datang dengan cepat. Kali ini, matahari benar - benar hilang sementara awan menangis membasahi Bumi. Sebuah momen yang sangat pas dengan suasana hatiku yang remuk.

Aku terbangun dengan posisi tengkurap di tempat tidur dan mataku yang terasa kering. Aku tidak tahu jam berapa sekarang namun aku yakin sekolah masih lama dimulainya. Kalaupun sekolah, aku memutuskan untuk membolos di pelajaran pertama dengan alasan jaringan. Itu lebih baik daripada melihat wajah Ashley yang memang cukup sering membuka kamera.

Aku mengucek mata dan membuka tirai. Aku melihat titik - titik hujan menyentuh jendela kamarku dengan kerasnya. Aku duduk di lantai, menikmati suasana hujan dalam diam dengan perasaan hati yang tidak karuan.

Melihat hujan seperti ini, aku teringat oleh Ashley. Dia selalu bermain hujan - hujanan sampai dia sakit karena tidak dapat bertahan oleh derasnya hujan. Namun meski begitu, dia tetap mengulanginya sampai akhirnya dia benar - benar kebal dengan air hujan yang turun di atas kepalanya yang mungil.

Lalu setelah itu, aku ingat ketika kami berdua berada di rumah pohon dekat rumah Ashley. Dia selalu memanggilku penakut karena aku memang fobia dengan ketinggian. Sehingga aku jarang menuju rumah pohon itu. Entah apa nasib rah pohon itu.

Lalu kenangan kami saat perkemahan, saat berdansa di acara perpisahan SD, dan bahkan pertemuan terakhir kami sebelum akhirnya kami harus belajar dari rumah.

Semua kenangan itu sulit kulupakan. Karena mau aku suka sama Ashley ataupun tidak, semua kenangan itu tidak dapat hilang. Kenangan sebagai dua anak kecil yang nakal dan kompak itu tidak akan pernah hilang.

Mengingat wajah Ashley, membuat air mataku jatuh lagi. Beberapa saat kemudian, aku menangis bersama awan yang membasahi dunia.

Kakakku yang entah darimana masuk tanpa permisi. Dia nampaknya berniat membangunkanku. Namun melihatku di dekat jendela dan sesenggukan, sepertinya dia melihat sesuatu yang tidak dia inginkan.

"Hey... kenapa nangis?" tanya kakakku dengan suara lembut khas miliknya. Suara kakakku sukses membuat tangisanku menjadi jauh lebih keras.

"Hey kenapa?" tanya kakakku lagi sambil mendekatiku. Dia mengusap punggungku dengan pelan lalu mengusap rambutku dengan pelan. Membuatku terus menangis tanpa sanggup menahannya.

"Ayolah cerita. Ada yang bully kamu? Kalau ada, sini kakak urus," ucap kakakku sambil menunjukkan otot dari tangannya yang kurus. Membuat tangisku sedikit mereda karena ulahnya.

Saat aku sudah sanggup menahan tangisku, aku melihat wajah kakakku. Matanya tampak lelah dan lekukan tidak normal di wajahnya seperti menunjukkan dirinya kurang gizi. Wajah tirus lembut dan lelah miliknya membuatku tidak nyaman menceritakan semuanya. Mau tidak mau, aku harus menyembunyikan kebenaran demi kesehatan kakakku.

"I'm tired of living. Rasanya aku hidup hanya untuk menyusahkan kakak saja. Seharusnya aku bisa membantu kakak bekerja atau apa saja yang penting membantu kakak," jawabku dan tentu saja itu berbohong. Aku berusaha mengatur ekspresiku agar kakakku percaya aku sedang berbohong.

Kakakku menghela napas dan sepertinya lelah dengan sikapku. Dia memperbaiki rambutku dan menatapku dengan ekspresi kesal. Sepertinya aku mengucapkan hal yang salah untuk berbohong. Kakakku memang benci di saat aku mengucapkan hal - hal menyebalkan seperti 'I'm tired of living' atau 'aku mau mati saja'.

"Dengar adikku terkasih. Kamu tidak pernah menyusahkanku. Prestasimu, kedisiplinanmu, bantuanmu selama di rumah saja, itu semua menghilangkan penatku. Tenang saja. Kamu tidak perlu takut kakak kenapa - napa. Kakak masih kuat," ucap kakakku sambil mengelus kepalaku.

Ucapan kakakku membuat tangisku entah kenapa mereda. Semua ucapan lembut yang keluar dari mulutnya membuat hangat suasana.

"Jangan benci dirimu sendiri. Itu satu - satunya pesanku," ucap kakakku sebelum memelukku dengan erat. Tindakan kakakku sukses membuat diriku kembali menangis.

Kakak selalu mengucapkan itu dan aku selalu mengingatnya. Namun sebesar apa pun usahaku, aku tetap tidak dapat mencintai diriku.

Kelainan di dalam diriku menghalangiku untuk mencintai diriku. Ditambah dengan Ashley yang sudah menjadi milik orang lain, membuatku tidak yakin akan menemukan yang lain.

avataravatar
Next chapter