1 Last Night

Desahan, lenguhan, dan sesekali tawa kecil dari dua orang berbeda jenis menggema ke seluruh ruang kamar hotel berkelas president suit itu.

Kamar tersebut hanya bercahayakan lampu temaran, dengan alunan musik klasik yang menggema harmonis. Lilin aromaterapi dinyalakan di sudut-sudut, kelopak mawar merah memenuhi lantai dan ranjangnya.

Namun sudah tak berbentuk lagi, gerakan yang dilakukan kedua orang lain jenis itu, telah membuat segala sisi yang tadinya cantik menjadi berantakan.

Pakaian yang mereka kenakan terserak mulai dari ruang depan hingga kamar. Bahkan lingerie sang wanita teronggok begitu saja di atas meja dapur yang juga tampak berantakan. Hasil dari 'kebrutalan' Maxime Anterios. Pria muda yang dikaruniai wajah rupawan, mata indah, tubuh bagus dengan otot-otot yang kokoh hasil dari kelas gym yang ia ikuti tiga tahun terakhir.

Permainan itu tak cukup sekali, karena hanya semalam ini saja mereka bisa bersama tanpa mengkhawatirkan apapun. Lain hari, mungkin mereka akan bertemu dan berpura tak saling mengenal satu sama lain. Terlebih jika Jeannie sedang bersama suaminya, sang konglomerat tua yang segemuk babi.

"Yeah, baby .... " desah si wanita setelah si lelaki tampan di atasnya menggerakkan bagian bawah dengan intens dan berirama cepat.

"Apa kau menyukainya?" tanya pria bermata sebiru lautan itu.

"Kau bermain jauh lebih baik dari suamiku ... " bisik perempuan yang semua otot tubuhnya menegang terutama benda di antara pahanya.

Kontan si pria hentikan gerakannya, "kenapa kau harus membandingkanku dengan suamimu yang bertubuh sebesar gajah itu? Huh?" Si pria bangkit dan beranjak dari atas tubuh si wanita yang terlihat beberapa tahun lebih tua darinya.

Sengaja hentikan kenikmatan yang belum sepenuhnya tersalur.

"Max, maafkan aku. Aku tidak bermaksud—"

"Stop! Jeannie, bukankah sudah kubilang padamu untuk tidak menyebut nama ataupun membandingkan permainan ranjangku dengan pria lain?" Pria bernama Maxime Anterios terlihat marah. Masih dengan posisi tubuhnya yang polos ia berjalan ke sofa dan duduk di sana sambil menyesap segelas wine yang ia ambil dari atas nakas.

Masih dalam posisi telentang tanpa sehelai benang, si wanita berusaha membuat Maxime kembali bergairah dengan cara membuka kakinya lebar-lebar dan tunjukkan area diantara pahanya.

"Nah, Jeannie. Pulanglah kepada suamimu. Aku sudah tak ingin melanjutkan ritual kita." Maxime menggeleng.

Jeannie membelalak kaget, dadanya yang putih dan menantang itu naik turun seiring nafasnya yang tersengal karena menahan kesal pada Maxime.

"Kau tidak waras—"

"Kau yang tidak waras, Nyonya Jeannie Jefferson. Aku mengorbankan waktu, karir, dan hidupku untuk memuaskanmu. Tapi apa yang kau berikan padaku?"

"Aku memberimu apartemen mewah, mobil, jam tangan, pakaian mahal, dan jangan lupa—"

"Hei ... hei ... hei ... , kau tak perlu menyebutkan itu semua. Sekarang tanyakan pada dirimu sendiri, apakah ada yang bisa memuaskan hasratmu selain aku?" Maxime beranjak dan menumpahkan sisa-sisa wine ke atas tubuh sang wanita.

Tak lama kemudian, ia bersihkan setiap tetesan lengket itu dari tubuh si wanita menggunakan indera pengecapnya. Ia mau tidak mau harus meneruskan permainan panas yang tadi sudah ia mulai.

Konsistensi itulah kuncinya, apa yang ia mulai harus ia akhiri.

Kembali, ia membuat wanita tadi mengerang, hingga suara kenikmatan mencuat darinya.

Dan ... selesai sudah tugasnya.

"Aku akan mentransfer uang itu padamu," ucap si wanita sebelum memunguti seluruh pakaian yang terserak.

"Berikan aku cek!"

"Aku tidak membawa cek, tak bisakah kau bersabar sedikit?" Si wanita menaikkan suara.

"Sssst ... jangan berteriak kepadaku. Bukankah aku sudah memberikan apa yang kau mau?" Maxime yang sudah memakai boxernya kembali mendekat sambil memainkan puncak di tubuh si wanita yang masih polos.

Seperti seorang profesional, Maxime berhasil membuat si wanita kembali bergairah. Hanya dengan melihat tubuh bidang dan wajah di atas rata-ratanya saja sudah cukup untuk membuat si wanita kembali meminta.

"Bagaimana kalau sekali lagi?" bisik si wanita.

"Ini tidak akan gratis, Nyonya." Maxime berbalik, tapi wanita itu meraih boxernya. Tangan si wanita dengan cepat menelusuk ke dalam dan mulai menurunkan perlahan.

Ya, akhirnya satu permainan lagi sebelum perpisahan yang panjang. Jeannie Jefferson, adalah wanita berdarah timur tengah campuran. Meski berusia lima belas tahun lebih tua dari Maxime, tapi keseksiannya tak kalah dari para gadis-gadis yang pernah ia tiduri.

Namun permainan kali ini hanya short time, Maxime segera mengakhiri dan berharap wanita itu pergi secepatnya. Karena ia sudah lelah dan sangat mengantuk.

"Max ... " panggil Jeannie.

"Aku membelikanmu sesuatu," ujar Jeannie sambil merogoh tas mahal berharga ratusan ribu dollar yang ia geletakkan begitu saja di sofa.

Maxime menoleh, "apa ini?"

"Jam tangan, kesukaanmu. Bertahta berlian, aku ingin kau memakainya." Jeannie memasangkan jam tangan mewah itu padanya.

"Ohh ... Jean ... " Maxime memasang wajah haru, meski sebenarnya tidak. Hatinya terlalu girang sekarang, ia 'hanya' meminta tiga puluh ribu dollar, akan tetapi Jeannie memberinya lebih dari itu.

"Aku juga sudah mentransfer uangnya padamu, berhematlah sedikit, aku tak ingin Harry curiga karena pengeluaran keuanganku yang diluar batas," pungkas Jeannie sembari memberi kecupan di kening Maxime sebelum melangkahkan kakinya pergi dari kamar hotel itu.

****

Dering ponsel di atas nakas meraung-raung memanggilnya.

"Ya Tuhan, jam berapa ini, kenapa berisik sekali!" Maxime bergegas bangun dan segera mematikan alarm menyebalkan itu.

Setelah itu ia kembali tidur sambil menutup kepalanya dengan bantal.

Namun, tak lama kemudian ponselnya kembali 'bernyanyi', bukan dari alarm melainkan sebuah panggilan masuk.

Untuk beberapa detik pertama Maxime sengaja membiarkan ponsel Itu bernyanyi dan memutar-mutar di atas nakas. Hingga pada akhirnya ia tak bisa lagi mengabaikan.

"Ya, Dean. Ada apa kau meneleponku pagi-pagi?"

"Max, dimana kau?" Suara pria yang juga sahabatnya itu tampak cemas.

"Di hotel, seperti biasa. Ada apa? Suaramu terdengar aneh?"

"Ibumu ada disini!" bisik Dean.

"Apa?!"

Tak menunggu detik berganti Maxime langsung melompat dari ranjang dan memakai semua pakaiannya kembali.

"S—sejak kapan dia disana? Kenapa kau baru menghubungiku?" tanya Maxime dengan nada marah.

"I wish I knew, Max. Aku juga tidak tahu, dan sekarang dia sedang menunggumu datang."

"Kenapa kau tidak mempersilahkan ibuku untuk masuk saja."

"Ohh, c'mon man. Kemarin kau tidak menitipkan kunci bengkel padaku. Jangan katakan kalau kunci bengkelmu ikut terbawa oleh salah satu wanita yang kau tiduri, lagi!" Dean kesal.

"I—iya, aku sekarang sedang menelepon Maxime. Dia akan segera datang ...." suara Dean yang sedang berbincang dengan Nyonya Avreda, ibu dari Maxime dapat terdengar jelas.

Jikalau bisa terbang atau menggunakan sihir ajaib ia mungkin akan menggunakannya. Membuat sang ibu menunggu terlebih lagi diluar rumah yang merangkap bengkel itu tentu saja bukan pilihan bijak.

Si ibu pasti akan membawanya ke pendeta exorcist jika tahu akan rutinitas yang ia lakukan.

"Semoga saja wanita itu tidak meninggalkan bekas merah di tubuh belakangku," gumam Maxime sambil mulai menekan start engine dan memacu mobilnya pulang.

avataravatar
Next chapter