1 Prolog

" Zafa, izinkan aku untuk menikah lagi," kata Pram dengan suara tercekat.

Deg, Zafa menatap nanar suaminya, tidak ada angin tidak ada hujan, tapi kata-kata Pram seperti petir yang menyambar hatinya.

"Kamu ini baru pulang ngomong apa,Mas," kata Zafa sambil tersenyum menanggapi ucapan suaminya.

"Zafa aku serius!" seru Pram

Zafa yang sedang asik bermain dengan ketiga anaknya dikejutkan dengan ucapan suaminya.

Rumah tangga yang sudah dijalin selama hampir dua tahun kini sudah menghadirkan ketiga anak yang begitu cantik dan mengemaskan.

Zafa yang memiliki 3 anak kembar begitu bersyukur dengan amanah yang diberikan oleh sang pencipta kepada keluarganya.

Leo, Leon dan si bungsu Laura, ketiganya terlihat sehat, walau saat awal pernikahan keduanya harus hidup serba pas-pasan, hingga Pram membeli bengkel sahabatnya untuk dia kembangkan.

Zafa dan Pram kadang makan sepiring hanya berdua, bukannya hal romantis, tetapi karena kondisi yang mengharuskan hanya bisa beli nasi satu bungkus.

Hidup susah baginya tidak mengapa asal keduanya saling setia, selama ini Zafa disibukan dengan mengurus sikembar hingga tidak menaydari kalau suaminya bermain di belakangnya.

Zafa hanya diam, setelah ketiga anaknya tidur wanita itu keluar kamar di mana suaminya menunggu.

Pram menatap sang istri dengan Intens, dia begitu heran kenapa Zafa tidak marah dan menagis seperti apa yang dia bayangkan sebelum sampai di rumahnya.

Dua tahun sebelumnya.

Awal pernikahan itu indah. Bagaikan dunia milik berdua, Zafa dan Pram terlihat begitu bahagia. Kini keduanya disatukan dalam jalinan pernikahan untuk berjanji sehidup semati. Restu dari Ayahnya yang ia butuhkan saat ini, walaupun awalnya pria paruh baya itu menolak Pram.

Zafa gadis cantik yang baru menyelesaikan kuliahnya itu kini sudah menjadi seorang istri, ini awal mulanya kehidupannya dimulai. Menjadi Nyonya Pram, tak pula membuatnya merasa risi karena suaminya sampai sekarang masih pengangguran semenjak keduanya lulus kuliah. 

Zafa berharap pria pilihannya itu bisa melindung dirinya dan anak -anaknya kelak. Terlahir sebagai anak dari simpanan Ayahnya membuat wanita itu berharap bisa memiliki keluarga yang utuh.

Di ruang yang tidak terlalu besar Zafa sedang memasukan pakaian suaminya ke dalam lemarinya, ia sedang menunggu Pram selesai mandi. Tidak lama pintu terbuka, Pria itu tersenyum menatapnya.

"Sayang," panggil Pram sambil duduk di samping istrinya di tepi kasur.

"Mas, ini tehnya diminum dulu ya," tawar Zafa sambil mengulurkan cangkir ke arah suaminya.

"Terima kasih," ucap Pram sambil menerima cangkir berisi teh hangat dari tangan istrinya.

Pram menatap lekat wajah istrinya, pria itu mengusap punggung tangan Zafa. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi ada rasa ragu dalam hatinya. Menikah setelah lulus  kuliah belum ada pekerjaan tetap membuatnya ada rasa was-was.

Pram merasa malu kepada mertuanya, karena selama ini ia hanya membantu temannya kerja di bengkel. Kuliah saja ia mengandalkan beasiswa dari kampusnya.

Zafa yang melihat gelagat suaminya itu merasa ada sesuatu yang akan disampaikan, tetapi ada keraguan dari netra Pram.

"Mas, apa ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman?" tanya Zafa.

Pram tersenyum, istrinya kini sudah begitu hafal dirinya sedang ingin membicarakan sesuatu. Namun, ada rasa keraguan dalam hatinya. Melihat Zafa menunggu tanggapannya akhirnya ia berkata." Aku rencana besok mencari kerja."

Zafa mendengar itu tersenyum, ia begitu bahagia karena sejujurnya wanita itu ingin mengatakan itu juga kepada suaminya.

"Aku juga mau mencari kerja, Mas. Apa boleh?" tanya Zafa kepada Pram.

"Boleh, asal tidak lupa dengan tanggung jawabmu sebagai seorang istri!" Suara Bram terdengar seperti sebuah pesan yang begitu dalam untuk Zafa.

"InshaAllah tidak, Mas." Zafa menatap wajah Pram yang kembali terlihat begitu muram.

Pria yang sudah menjadi suaminya itu biasa selalu ceria dan mampu membuatnya aman dan tenang, tapi entah mengapa kali ini ada yang disembunyikannya. Namun, Zafa tidak ingin banyak bertanya.

Zafa melihat jam sudah menunjukan pukul empat lewat, wanita itu mengusap bahu suaminya sambil tersenyum. Ia beranjak dari duduknya dan mengambil ikat rambut sambil berkata."Mas, aku masak dulu ya."

Pram tidak menjawab, tapi hanya menganggukan kepala. Melihat itu Zafa hanya tersenyum tipis, tanpa ragu wanita itu keluar dari kamar menuju dapur. Namun, langkahnya terhenti karena panggilan Ibunya.

"Zafa, kamu kapan akan pindah dari rumah sini?" tanya Ibu Tika sambil menatap sinis anak tirinya itu.

Zafa tahu kalau wanita yang kini duduk di ruang keluarga itu dari dulu tidak menyukainya, karena ia anak dari simpanan suaminya. Dadanya terasa sesak, karena rumah yang ia tempati ini adalah rumah jeri payah dari Bunda dan Ayahnya waktu masih bersama. Namun, karena sesuatu hal Bundanya memilih pergi. Ayah lebih memilih menikahi orang yang bisa membuat perusahaannya berkembang dari pada Bundanya yang hanya karyawan biasa.

Zafa tahu itu semua dari sahabat Bundanya. Selama itu Ayah dan Bunda menabung untuk membeli rumah ini dari belum renovasi, hingga tabungan sudah cukup sebelum menikah Ayah mengatakan kepada Bundanya untuk merenovasi full rumah ini.

"Maaf Bu, nanti Zafa bicarakan dengan Mas Pram," jawab Zafa sambil tersenyum.

"Makanya mencari suami itu yang kaya, sudah berkerja. Ini suami pengangguran tidak malu sama Ayahmu pagi-pagi sudah pergi bekerja!" seru ibu Tika membuat Zafa terkejut.

"Ibu jangan Khawatir, Pram bisa membahagiakan Zafa," sahut Pram dengan wajah datar.

"Mas," kata Zafa lembut.

"Kamu pikir dengan cinta bisa bahagia, basi!" sindir Bu Tika sambil beranjak dari duduknya meninggalkan sepasang suami-istri itu.

Zafa mengusap lengan suaminya supaya tidak tersulut emosi menanggapi cacian Ibunya itu, walaupun wanita itu tidak pernah baik padanya, tetapi tidak membuat Zafa membencinya.

Zafa berharap setelah ia dan suaminya mendapat pekerjaan bisa keluar dari rumah ini. Pram duduk di ruang keluarga sedangkan Zafa menuju ke dapur untuk menyiapkan makan malam nanti untuk keluarganya.

Urusan dapur selama ini Zafa yang selalu mengerjakannya, hingga terkadang ayah menegur ibu untuk ikut mengerjakan urusan rumah. Namun, itu hanya ditanggapi dengan jawaban ketus dari wanita yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri itu.

Zafa membuka kulkas hanya ada ayam dan telur, wanita itu segera mengolahnya menjadi ayam sambal balado. Pram yang melihat istrinya sedang memotong sayur menghampirinya.

"Sayang, aku keluar sebentar ya," pamit Pram yang sudah terlihat rapi.

Zafa menatap wajah tampan suaminya itu, kemudian ia tersenyum sambil berkata." Hati-hati."

Pram hanya tersenyum, dan pergi setelah Zafa mencium tangan suaminya. Wanita itu mengantarkan suaminya sampai di depan teras. Pram memakai motor metik milik Zafa. Setelah tubuh suaminya sudah tidak terlihat lagi barulah ia masuk ke rumah.

Setelah satu jam, Zafa baru siap menyiapkan menu makan malam. Ia segera masuk kamar untuk membersihkan tubuhnya. Jam sudah menunjukan pukul lima lewat, tetapi Pram belum juga pulang.

Suara mobil ayahnya sudah terdengar kalau pria paruh baya itu sudah pulang, Zafa segera keluar kamar untuk menyambutnya.

"Assalamualaikum," kata Ayah saat memasuki rumah yang terlihat sepi.

"Waalaikumsalam , Yah. Sini Zafa simpan tasnya," kata Zafa sambil mengambil alih tas dari tangan Ayahnya.

Raka langsung duduk di ruang keluarga karena merasa begitu lelah setelah seharian bekerja. Matanya melihat sekeliling, tetapi tidak mendapatkan istri dan menantunya. Zafa datang sambil membawa teh hangat untuk Ayahnya.

"Diminum tehnya, Yah!" kata Zafa.

"Terima kasih, Nak," balas Ayah Raka.

Zafa ikut duduk di samping Ayahnya sambil menunggu suaminya pulang, tak lama suara pintu terbuka dengan keras.

"Zafa!" teriak Ibu Tika membuat keduanya terkejut.

"Iya Bu, Ada apa?" tanya Zafa langsung berdiri.

Ayah Raka mendengar teriakan istrinya itu merasa marah rasanya, kalau saja Zafa tidak menahannya tangan pria itu hampir menampar mulut Ibu Tika.

"Ibu, tidak usah terika-teriak!" seru Ayah Raka.

Ibu Tika hanya masam saja saat suaminya lagi-lagi marah kepadanya, wanita itu langsung duduk di depan suaminya sambil meminum teh milik Ayah Raka sampai tandas.

"Zafa, Ibu tadi lihat kalau suamimu masih kerja di bengkel. Jangan membuat malu keluarga, bilang sama dia!" sentaknya membuat Zafa terjingkat karena terkejut.

Tepat pukul tujuh malam Pram baru pulang, pria itu terlihat lelah, tapi saat sampai pintu disambut Zafa lelah itu terasa hilang.

"Mas, mandi dulu ya," kata Zafa sambil mengikuti suaminya ke kamar.

Pram masuk kamar segera mengambil handuk dan menuju kamar mandi yang ada di kamar istrinya, Zafa menunggu suaminya mandi dan mempersiapkan pakaiannya. 

Pram duduk sambil di samping istrinya. Pria itu merasa kasihan andai saja ia sudah dapat pekerjaan tetap pasti wanita yang kini berada di sampingnya tidak akan susah lagi.

Pram ingat saat masih di bengkel tiba-tiba mertuanya datang dengan memakinya dan mengatakan dirinya parasit dengan menikahi Zafa. Dadanya terasa sesak mengingat itu, harga dirinya sebagai lelaki merasa diinjak-injak.

"Zafa, apa kamu mau kita nanti mencari kos?" tanya Pram lembut.

"Iya Mas, aku mau. Nanti kita bilang sama Ayah ya," kata Zafa begitu senang.

"Iya sayang," ucap Pram sambil mengacak rambut istrinya.

Makan malam pun tiba, Semua makan malam dalam diam, karena Zafa sudah dibiasakan oleh Bundanya kalau makan jangan sambil berbicara. Selesai makan kini semua berkumpul di ruang keluarga.

Pram menarik napas panjang, ia mengatakan kepada mertuanya niatnya tadi untuk membawa istri keluar dari rumah ini.

"Ayah, ada yang mau Pram bicarakan," kata Pram.

"Apa itu, Nak?" tanya Ayah Raka lembut

"Pram rencana akan membawa Zafa untuk pindah," kata Pram.

Ayah Raka terdiam, tetapi sedetik kemudian matanya menatap tajam menantu dan putrinya itu bergantian. Pria itu ada rasa takut akan nasib anaknya jika ikut suaminya yang sekarang seorang pengangguran itu.

"Tidak. Kalian akan tetap tinggal di sini!" kata Ayah Raka.

"Ayah, biarkan kami mandiri," sahut Zafa.

"Baiklah, jika kamu akan ikut suamimu, tapi Ayah pastikan kamu Zafa! sepeser pun tidak akan mendapatkan bagian dari harta Ayah!" ancam Ayah Raka.

bersambung.

avataravatar
Next chapter