webnovel

Chapter 2 episode 2 "How About a Contract?"

Sruupp

"Bagaimana rasanya? Enak?"

"Mhm."

Anak itu mengangguk sambil melahap kue coklatnya. Mulutnya yang belepotan saat makan, matanya yang berbinar saat melihat makanan lezat, tubuhnya yang kecil, tidak salah lagi dia tetaplah anak kecil. Kecuali bagian sifatnya yang pendiam dan tidak ribut kesana-kemari. Mungkin ini karena trauma masa lalunya.

Aku menopang daguku sembari memperhatikan anak kecil di depanku itu. Taman istana memang tempat yang menyenangkan. Kecuali bagian dimana aku diperhatikan oleh orang-orang yang lewat.

"Nyamm..."

"Jadi... anak kecil, bagaimana kalau aku yang akan memberikanmu nama?"

"Mhm."

Anak itu mengangguk.

"Rein."

"I-iya tuan!"

Jawabannya tegas seperti biasa, tapi terbata-bata di awalnya.

"Nama apa yang bagus untuknya?"

"Hmm... karena rambutnya berwarna coklat... mungkin 'Brown'?"

"Pfft..."

Airi yang berdiri di samping Rein menahan tawanya.

Ya, memang tidak salah sih. Nama macam apa itu?!

" Kau kira dia hewan peliharaan hah?!"

"Ma-maaf tuan. Aku memang tidak pintar soal ini."

"Hahh..."

Aku menghela napasku dan sepertinya Rein salah paham dengan tindakanku.

"Ma-maaf tuan. Beri aku waktu. Tenang saja aku akan belajar di perpustakaan. Mencari buku nama-nama bayi. Tenang saja aku akan belajar di malam hari jadi tidak mengganggu-"

"Sudahlah, aku tidak perlu."

"Maaf tuan."

Rein yang berdiri di belakngku membungkukkan badannya sambil meminta maaf.

"Iya iya, sudahlah tidak usah dipikirkan."

"Tuan muda, boleh kah aku memberi saran?"

"Ya, silahkan."

"Ehem, Zesykrya-"

"Aku tidak perlu nama susah dan panjang seperti itu."

"Tapi itu keren loh..."

Aku mengabaikan Airi dan masih mencari nama yang sesuai untuk anak ini.

Hmm...

Semakin lama kupikir, semakin tidak kepikiran. Ah, sudahlah ngasal saja.

"Lav. Namamu sekarang Lav."

".. Ha?! Nama macam apa itu? Bukankah itu sama tidak kerennya dengan 'Brown'?"

kata Airi.

"Berisik. Aku akan repot memanggilnya kalau namanya kepanjangan. Apalagi saat dalam keadaan darurat dan buru-buru."

Benar saja, tidak mungkin kan aku berteriak Zesykrya atau apalah itu saat aku membutuhkannya di dalam waktu kurang dari 2 detik?

"Jadi, Lav. Sesuai yang kukatakan, aku akan menjelaskan semuanya."

"Aku menemukanmu saat kau sedang tertidur di hutan. Lalu kenapa aku membawamu? Aku memiliki kemampuan untuk melihat masa depan walau hanya sekilas dan itupun gambaran-gambarannya tidak jelas. Seperti ingatan yang buram, gelap atau hanya terdengar suara-suara. Tapi saat aku melihatmu, gambaran-gambaran itu muncul tiba-tiba dengan sangat jelas."

Apalagi auramu yang sampai sekarang masih berwarna putih.

"Jadi aku ingin kau bekerja sama denganku. Tenang saja, aku akan mencukupi kebutuhan pangan maupun sandangmu. Kau juga boleh tinggal disini. Dan..."

Kalau dia tidak peduli dengan balas dendam, satu lagi tawaran yang bisa menarik perhatiannya...

"Bagaimana kalau aku memberimu kuda pribadimu? Oh, dan kau juga boleh menyimpan baju itu."

Seketika kulihat matanya tampak berbinar saat menatapku.

Heh, ternyata memang dia masih bersifat seperti anak kecil.

"Bagaimana?"

"... Apa aku boleh memakan kue ini juga?"

"Tentu saja. Dan kalau kau menolak, kau harus membayar makananmu dan biaya rawatmu."

'... dia masih licik saja. Tidak berubah.' Batin Airi.

'Tuan muda... menyeramkan...' batin Rein.

"Tapi aku tidak punya uang untuk membayarnya..."

"..."

Aku terdiam, masih mengulas senyum sambil menunggu jawaban Lav.

"Apa ini seperti kontrak?"

"... Aku terkejut, anak sepertimu bisa tahu tentang kontrak?"

"Ayahku dulu kepala desa. Mendatangani kontrak dan desa terbakar."

Ugh

Aku mengerutkan alisku.

Manusia-manusia itu...

"Tidak, kau hanya bekerja denganku dan aku juga akan bekerja denganmu. Aku akan merawatmu sebaliknya kau harus membalas budi padaku. Mudah bukan?"

"... Baiklah, tidak ada alasan juga aku untuk menolak."

Aku menyeringai.

Baiklah, misi pertamaku sudah selesai.

"Kalau begitu Lav..."

Aku menjulurkan tangan kananku, dengan jari-jemariku aku mengetuk-ketuk meja.

"Mulai sekarang kau akan menjadi pengawal pribadiku."

"APA?!"

Sudah kuduga Airi dan Rein akan terkejut mendengar ini.

"Tunggu sebentar tuan muda, kukira dia akan bekerja denganmu karena anak ini punya kekuatan spesial bukan?"

"Ya, memangnya kenapa?"

Aku melipat kedua tanganku di depan dada sambil menoleh ke arah mereka.

"Kekuatan itu dipakai untuk mengawalmu? Dia kan masih kecil. Apa tidak bisa kekuatannya dipakai hanya untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan pertarungan?"

tanya Airi.

"... Pertama, aku akan tanya kepada kalian. Jika seorang bandit memberimu pilihan, berikan uangmu atau keluargamu kubunuh. Apa yang akan kau pilih?"

" Tentu saja keluarga. "

"Itu memang tidak salah, jadi Airi... kau punya keluarga bukan?"

"Ya, mereka ada di suatu desa."

"Mereka sehat semua?"

"Ya."

"Kau tahu kan anak ini tidak memiliki keluarga."

Aku menunjuk Lav dan melanjutkan penjelasnku.

"Itu artinya dia tidak akan mengkhianatiku meskipun ada yang harus dia korbankan. Kenapa? karena korbannya sudah pasti bukan hal penting baginya. Karena dari awal dia memang tidak punya siapa-siapa."

"Ka-kami tidak akan pernah mengkhianatimu tuan muda."

"I-itu benar."

Kata Airi yang dilanjutkan dengan Rein.

"Baiklah, kalau begitu. Jika raja menyuruh untuk membakar desa kalian atau membunuhku, kalian mau pilih yang mana?"

"I-itu..."

"Sudah kubilang bukan? Tenang saja kalian tetap bisa bekerja denganku hanya sebagai pelayan pribadiku bukan pengawal atau tangan kananku."

"..."

Mereka terdiam, tidak ada jawaban dari mereka.

"Urusanku disini sudah selesai. Kalian berdua latihlah dia. Aku pergi."

Aku beranjak dari kursi dan berjalan menuju meja kerjaku. Mungkin tidak ada yang sadar tapi aku sedikit menghentakkan kakiku, membuat suara langkahku terdengar dengan jelas. Kalian tahu kan kejadian saat seorang pemimpin membungkam bawahannya, ruangan menjadi sunyi dan hanya langkah kaki pemimpimnya yang terdengar? Kesunyian akibat dari keputusasaan seorang bawahan dan suara langkah pemimpin seakan menegaskan tentang kedudukan mereka.

Tap Tap Tap

"Hah..."

Sekali lagi aku menghelas napas.

Terlalu banyak pikiran membuat tubuhku lelah.

Next chapter