webnovel

Chapter 1: Cage

Pepatah bijak mengatakan, cara terbaik untuk mengenal dunia adalah melalui tulisan.

Ku letakkan pena silver kesayanganku. Cukup untuk hari ini. Rupanya sudah 3 jam aku asyik menulis. Berlembar-lembar kertas putih berserakkan di sekelilingku, seolah-olah menemaniku menghabiskan malam ini. Bagiku menggunakkan kertas selalu lebih menyenangkan daripada harus menuliskannya menggunakan macbook terbaru milikku. Rasanya lebih ... klasik saja. Aku lebih menyukai kesederhanaan dibanding kemewahan yang selalu kudapatkan.

Malam ini akan menjadi malam yang sangat mengasyikkan untuk begadang.

Beberapa DVD film kesukaanku yang baru saja kubeli siang tadi sudah berjejer rapi di bawah Televisi Plasma milikku. Tak ketinggalan camilan yang tersedia di sampingnya. Ada popcorn, kacang pedas, sandwich, dan tak lupa mac and cheese kesukaanku. Ayah pasti tidak akan setuju dengan rencana begadangku malam ini, namun apa lagi yang bisa dilakukan oleh gadis berusia 20 tahun ketika ia tak diperbolehkan keluar di malam minggu?

Berbeda dengan teman lain sebayaku yang asyik berama-ramai pergi ke bioskop, tempat hiburan malam, atau mungkin sekedar berjalan-jalan, hanya hal ini yang bisa ku lakukan untuk menghilangkan rasa bosanku.

“Minka?” Ketukan di pintu kamarku terdengar pelan. Itu Ayahku. Dia pasti datang untuk mengecek.

“Ya, Yah,” jawabku. Aku pun berjalan menuju ke pintu dan membuka kuncinya.

Ayah berdiri di depan pintu, mengenakan suit and tie miliknya yang berwarna hitam dan putih. Dasinya kali ini berwarna hitam dengan sentuhan gold di bagian bordiran logo perusahaan. Sementara itu sepatu hitamnya terlihat mengkilap seperti biasa. Rambutnya yang diminyaki juga terlihat begitu licin sehingga siapa pun yang melihatnya pasti setuju denganku bahwa pria ini sangat punya style dan… uang.

“Ayah akan pergi sekarang.”

Ya, seperti malam-malam biasanya, dia selalu pergi meninggalkanku di saat aku sedang ingin melompat dari kamarku dan pergi ke klub malam tempat kawan-kawanku tengah bergumul dengan musik kencang dan alkohol.

Aku hanya mengerucutkan bibirku. Kenapa ayahku bebas pergi kemana pun ia mau sementara aku tidak?

“Sayang,” Ayah mendekat ke arahku. “Kau bisa pergi jalan-jalan sepuasmu. Tapi besok pagi, hari minggu.”

“Minka bosan, Yah,” ujarku merajuk. Siapa tahu Ayah akan luluh dan membolehkanku ikut dengannya.

Ayah berjalan masuk ke kamarku dan melihat beberapa pirantiku untuk menghabiskan malam ini.

“Kau kan baru beli DVD baru. Itu kan bisa menghilangkan rasa bosanmu.” Ia mengambil sebutir pop corn dan mengunyahnya. “Yang jadi masalah adalah—“ ucapnya seraya menuju keluar kamar. “—Ayah akan terlambat. Jadi ayah pergi dulu,” ia mengacak pelan suraiku dan melangkah pergi.

“Jangan terlalu malam. Oke?” pintanya sesaat sebelum ia menghilang di balik pintu, meninggalkanku sendiri seperti biasa.

Ya, itulah Ayahku. Orang yang gila kerja. Seorang Walikota yang menghabiskan hampir 24 jamnya dengan berkutat dengan pekerjaannya. Selain menjadi Walikota, Ayah juga seorang business man. Ia memiliki bisnis di bidang ritel, resort, dan perkebunan kelapa sawit. Maka dari itu ia cukup jarang menemaniku di rumah. Harus ku akui bahwa Ayahku adalah orang yang sangat berdedikasi dengan pekerjaannya. Ia juga mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi. Ayah selalu mencurahkan 100% konsentrasinya pada apa pun yang ia kerjakan. Mungkin hal itulah yang membuatnya berhasil mempertahankan jabatannya sebagai Walikota selama satu setengah periode ini.

Bertahun-tahun Ayah menjadi orang tua tunggal bagiku. Hal itu terjadi karena ibuku meninggal saat melahirkanku. Ibuku pergi bahkan sebelum aku bisa melihat wajahnya. Jadi, selain dari foto yang ada, aku tak bisa mengingat wajahnya barang sedikit pun.

Ada pun dari segala hal baik yang dimiliki ayah, pasti ada sisi negatif yang tak bisa dipisahkan. Sisi buruk yang tak terlalu kusukai dari ayah adalah ia sangat protektif kepada anaknya. The one and only me.

Sejak aku kecil ia selalu membatasi pergaulanku. Mulai dari batas waktu yang ia berikan padaku untuk bermain dan bersosialisasi dengan teman-teman, hingga pilihan teman yang dirasa pantas bersanding denganku. Maka dari itu, jumlah teman yang kumiliki hanya terbatas. Bahkan bisa dihitung dengan satu tangan saja.

Memang aku selalu mendapatkan apa pun yang kuinginkan. Gucci, Prada, LV, Benz, Apple, dan puluhan barang mewah lain seolah jadi kawan dekatku. Perawatan salon privat selalu datang kapan pun aku mau. Liburan mewah setiap tahun juga bukan hal yang sulit diraih. Singkatnya, dari segi finansial, kesejahteraanku tak perlu ditanyakan lagi.

Mungkin orang akan berfikir bahwa hidupku amat sempurna dengan gelimangan harta dari ayahku.

Namun hal itu menjadi tak menyenangkan lagi ketika hatimu terasa kosong.

Langkah kakiku terasa ringan saat berjalan menyusuri rumput-rumput yang basah akibat guyuran hujan semalam. Bau tanah yang basah pun menyeruak memasuki indera penghiduku. Udara segar benar-benar obat mujarab bagi semua kesuntukan.

Apa yang akan ku lakukan hari ini ya?

Belanja? Jalan-jalan di mall? Ke café?

Ah, mungkin semua itu akan menjadi menyenangkan ketika dilakukan dengan sahabatku.

Atau mungkin kekasih.

Sayangnya aku tak memiliki keduanya.

Pengalamanku untuk yang satu ini cukup payah. Ini semua gara-gara ayah yang terlalu mengekangku.

Pernah suatu hari ketika aku duduk di kelas 3 SMA, aku diantar pulang temanku yang bernama Reno. Seperti yang bisa ditebak, Ayahku marah besar padanya dan memaki-maki Reno di depanku. Ayahku mengatakan bahwa lelaki seperti dia sangat tak pantas untuk menemaniku pulang. Pokoknya kata-kata yang terlontar darinya akan membuat sakit hati jika didengarkan. Luar biasa malu aku dibuatnya.

Sejak kejadian itu, semua anak laki-laki mau pun perempuan di sekolahku tak berani untuk berteman dekat denganku. Kami berteman secara formal. Singkat katanya, aku tak memiliki teman dekat.

Kulihat daftar kontak yang ada pada handphoneku. Aku butuh seseorang untuk menemaniku. Tapi siapa ya? Fera, Joy, Kay, Miranda, Kak Evan ...

Hmm ... Kak Evan boleh juga.

Butuh beberapa detik sebelum sosok di seberang sana mengangkat panggilanku. Sejenak ku pikir ia sudah berganti nomor handphone atau yang lebih parah, tak mau mengangkat panggilanku. Tapi untunglah dugaanku itu tak benar.

“Halo,” sahutnya dengan nada serak.

“Halo,” ulangku. Uh, bagaimana memulainya? “Kak Evan?”

“Minka?” Responnya di seberang sana.

Ia masih mengenaliku. Ia masih menyimpan nomorku!

“Ya. Umm—“ Belum sempat kujawab ia sudah memotongnya. “Seorang Minka menelfonku?” tanyanya dengan nada sarkas.

Hey, memangnya kenapa?

“Ya, seorang Minka menelfonmu. Kenapa?” tanyaku geli. Dari dulu Kak Evan tak pernah berubah rupanya.

Ia tertawa. “Tidak. Tumben saja. Mimpi apa kau semalam mau menelfonku.”

Inilah yang ku sukai dari Kak Evan. Ia memperlakukanku sama seperti ia memperlakukan teman-temannya yang lain. Kebanyakan temanku tak pernah berbicara santai denganku. Mereka selalu berkata sopan dan formal. Mungkin mereka khawatir dengan Ayahku atau bagaimana. Hal itulah yang membuatku seperti mempunyai jarak dengan mereka.

Tapi rupanya hal itu tak berlaku pada Kak Evan, teman masa kecilku sewaktu Sekolah Dasar.

“Bisa saja kau. Sekarang sedang dimana?”

“Di rumah. Tepatnya sih di kamar.”

Oh, mungkin tadi dia sedang tidur sewaktu aku menelfon. Apakah ini terlalu pagi baginya?

Oke, aku harus berani mengatakannya.

“Kau mau pergi keluar denganku?” tanyaku hati-hati. Aku sungguh khawatir ia akan menolaknya mentah-mentah.

“Oke, mau kemana?”

“Kau mau?” tanyaku sedikit tak percaya. Akhirnya ada yang mau main denganku.

“Ya. Memangnya kenapa?”

“Kupikir kau ...”

“Takut dengan ayahmu?” Tebakkan yang sangat tepat. “Tidaklah. Aku tak takut dengan ayah killer-mu itu.”

Syukurlah. Aku menghela napas lega. “Oke. Bagaimana jika kita ke taman kota? Tempat dulu kita biasa main,” tawarku.

“Tak masalah,” ia menambahkan. “Aku siap-siap dulu, oke?”

“Aku tunggu jam 11.” Lalu mengecek ke jam tangan warna silver di tangan kiriku. “Jangan telat.”

“Iya. Tak akan telat. See you!” ucapnya dengan logat British yang kental. Ia lalu menutup telfonnya.

Akhirnya ada juga teman yang mau diajak pergi. Aku beruntung ia masih mau berteman denganku.

Ini akan menjadi hari yang menyenangkan, ku rasa.

Next chapter