8 Bab 8 Sang Manipulasi ( Revisi )

Lelaki itu meraih tangan Nevtor dan berucap, "Aku Wash, salam kenal!"

"Wash? Mencuci?"

Dahi lelaki berambut perak itu langsung mengkerut mendengar ucapan si pemuda tersebut. Dipadukan dengan warna rambutnya, dia tampak seperti kakek - kakek saat ini.

"Wash, Sang Penculik!" Ia mencoba meluruskan sembari mengarahkan jempol pada dirinya sendiri. Nampak cukup bangga akan profesinya.

"Oh, ternyata kau penjahat kelamin." Nevtor menimpali dengan santai.

Wash mendengus kasar. Kali ini rasa jengkel terpampang di air muka. 'Berani - beraninya mengejek orang yang baru dikenal!' Kesalnya mungkin begitu.

"Sang Penculik, kau dengar?!" Ketusnya, Ia memajukan wajah sambil berkacak pinggang.

"Tenanglah, aku hanya bercanda. Tadi aku hanya sedang mendemotrasikan cara cepat mengakrabkan diri pada orang lain. Dari pengalaman yang kudapat dari seseorang, bercanda merupakan cara terbaik."

Kerutan di dahi lelaki itu hilang tak berbekas. Sekarang dirinya tampak tersenyum paksa. "Bagaimana kau sebut itu bercanda sedangkan dirimu tidak tertawa atau tersenyum sama sekali." Ia menggerutu sambil melipat tangan di dada.

Suasana lengang untuk sesaat. Nevtor lekas menyembunyikan pedang hitam kembali ke dalam jubahnya. Kemudian membalikkan tubuh dan berjalan menuju gang keluar. Namun alih - alih bisa segera pergi, pegangan tangan sang lelaki pada bahu justru membungkam langkahnya.

"Hey, kau harus memperbaiki masalah yang kau buat dulu," komentarnya dengan mata melotot bak serigala kelaparan.

"Memang apa masalah yang kubuat?"

"Wanita tadi, ingat? Itu mangsaku dan sekarang dia pergi. Jadi aku ingin kau membantuku menangkap wanita lain di sekitar sini."

"Apa untungnya aku membantumu melakukan hal aneh seperti itu. Selain itu, mengapa kau terobsesi sekali terhadap wanita. Apa kau ingin menikahi mereka?"

Lelaki itu tersenyum penuh gairah. "Tidak. Aku hanya ingin menyekap mereka," jawabnya tanpa rasa malu. "Kau tahu? Kalau aku ini suka memandangi seorang wanita dalam keadaan terikat dengan mulut tersumpal." Ia tertawa terbahak - bahak sembari mendongak dan berkacak pinggang, cukup aneh.

"Jadi kau semacam fetish ya." Nevtor bergumam dan menggeleng - geleng kepala, lalu berjalan kembali dan membalas, "Maaf, tetapi aku tidak ada waktu untuk mendengar hobimu yang tak masuk akal tersebut."

Pemuda berjubah itu tetap melangkah tidak peduli apa yang dicelotehkan oleh lelaki di belakang. Ketika telah keluar dari gang yang gelap tersebut, ternyata wanita sebelumnya masih ada dan sedang menunggu. Dia kemudian mendekat, membungkuk dan mengungkapkan, "Terima kasih atas pertolonganmu!" Sembari tersenyum dengan merah merona di kedua sisi pipi.

"Ya, sama - sama!"

Tanpa mengucapkan apapun lagi, Nevtor melanjutkan langkah menuju tempat yang hendak dituju. Perpustakaan Dunia yang hampir dekat. Apakah orang yang dicari ada di situ? Semoga saja.

Sedangkan sang wanita yang merasa diacuhkan lantas beranjak mengikuti dan berjalan sejajar dengan Nevtor. Wajahnya sedikit cemberut.

"Kau mau ke mana?" Tanya wanita itu sambil mengamati Nevtor yang tertutupi jubah hitam. Sesekali juga melirik ke depan untuk melihat jelas wajahnya. Tanpa ekspresi, tapi menurutnya tampan.

"Menemui seseorang." Nevtor membalas tanpa berpaling.

"Siapa?"

Ternyata wanita ini cukup merepotkan. Mengingatkan Nevtor pada seseorang. Meski ingin sekali mengabaikan pertanyaan itu namun ada baiknya menjawab. Kali saja dirinya mengetahui orang yang dimaksud. Daripada pusing - pusing mencari, ini merupakan kesempatan emas.

"Serena."

Mendengarnya, wajah wanita itu tiba - tiba berubah ceria dan langkahnya terhenti. "Oh, Nona Serena. Kebetulan sekali, aku juga sebenarnya hendak menemui beliau."

***

Di sebuah tempat besar, banyak sekali rak kayu yang berbaris rapi. Dari sudut kiri, kanan sampai belakang. Juga buku - buku yang tak terhitung jumlahnya, tertata dan berderet pada setiap tingkat rak berdasarkan kategori yang berbeda. Ada pula lima meja bundar pada sisi tengah ruangan beserta kursi yang disusun melingkar, dan di atas pula terdapat chandelier besar yang tampak elegan.

Kemudian pada salah satu rak nampak seorang gadis kecil dengan tubuh sekitar seratus tiga puluh sentimeter tengah merapihkan buku pada tingkat teratas. Kedua kaki mungilnya bertumpu kokoh pada anak tangga. Cukup hebat untuk gadis kecil sepertinya yang tidak takut akan ketinggian.

Gadis berambut ungu gelap panjang menutupi setengah wajah terurai hingga pinggang. Dengan tambahan sebuah topi kecil hitam khas pesulap, dan dua jepitan rambut di sisi kiri dan kanan. Memakai kacamata cembung dan gaun terusan berwarna senada dengan rambut. Juga di lehernya, melingkar sebuah liontin emas berornamen bintang emas. Dan terus ke bawah, kedua kaki mungilnya terselimuti sepatu pantofel hitam yang kinclong.

Namun yang lebih mencolok dari penampilan dirinya adalah kantung mata yang gelap dan mengkerut. Bahkan jika dilihat pada kejauhan pun hal itu masih tampak jelas.

"Yee, selesai!" Si gadis kecil beranjak turun. Tidak secara perlahan namun langsung merosot pada pegangan tangga. Imbasnya dia malah nyusruk dan kacamatanya terjatuh.

"Kacamataku ... kacamataku ...." Pandangannya kabur. Kedua tangan mungil pun meraba - raba lantai kayu mencoba menemukan benda yang tengah dicari. Setelah ketemu, dia langsung memakainya.

Dirinya lekas bangun lalu berjalan menuju troli yang berisikan buku dari ukuran kecil hingga besar. Karena tubuh mungilnya, dia sampai kesusahan untuk mendorong benda yang lebih besar dari tubuhnya. Alhasil, si Gadis malah terjatuh dan kacamatanya terhempas lagi, malang sekali.

Untunglah ada seseorang yang memungut lalu mengembalikan padanya. Setelah pandangan kembali jelas, netra amethyst gadis kecil itu langsung menatap sang penolong tadi.

"Bukankah sudah pernah kukatakan, jika Nona perlu bantuan panggil saja aku," tegur orang itu. Pemuda berambut merah model klimis belah dua. Mengenakkan baju atasan merah delima dipadukan celana panjang krem. Di saku bajunya berbordir logo buku, tertanda simbol kota Known.

Si Gadis terkekeh sambil mengusap kepala yang tidak gatal dan berkata, "Maaf, soalnya aku tidak mau mengganggumu belajar, Fenrir."

Sesuai yang dikatakan Nona kecil, pemuda bernama Fenrir itu pun mulai mendorong troli ke setiap rak yang dituju. Satu demi satu buku di troli diambil dan diatur pada rak sedemikian rupa hingga rapi dengan kategori beragam. Mulai dari buku tentang alam, wilayah, persenjataan dan lain - lain.

Beberapa menit berlalu, akhirnya pekerjaan pun beres. Si sadis kecil memandangi rak seraya berkacak pinggang dan tersenyum puas. Kemudian bola matanya melirik ke arah pemuda tadi yang telah beranjak kembali ke kursi. Tampak fokus sekali membaca sebuah buku.

Karena penasaran, si Gadis menghampiri lalu mendorong kursi kayu ke samping dekat pemuda tersebut dan duduk manis. Kedatangannya membuat Fenrir kaget. Terlebih lagi mata sang Nona kecil itu tidak berpaling atau berkejap sedikit pun saat melihat buku yang tengah dibaca.

"Wah, ternyata kau membaca buku tentang senjata ya. Apa kau ingin masuk ke militeran, Fenrir?" Tanyanya antusias sambil sibuk melihat buku di atas meja.

"Ah tidak. Aku hanya sedang mencari suatu senjata yang saat ini marak dibicarakan."

"Hm," wajah gadis itu berpaling, "suatu senjata?"

"Itu loh yang dinamakan Senjata Api. Nona pasti tahu!"

Sontak saja tangan si Gadis menggebrak meja dan beranjak berdiri di atas kursi. Matanya berbinar - binar. "Jadi apa kau mengetahuinya? Apa kau sudah menemukan? Apa kau telah mendapatkannya?" Dia bertanya deras, sederas air sungai.

Fenrir hanya bisa tersenyum kikuk karena terlonjak. "K-kalau sudah kutemukan mana mungkin aku membaca buku ini, 'kan?"

Hembusan nafas panjang terdengar. Nona kecil itu kembali duduk dan kepalanya lantas ditempelkan pada permukaan meja dengan pipi bergelembung bak balon lalu berucap lesu, "Benar juga."

"Sepertinya Nona penasaran sekali akan senjata itu ya."

"Tentu saja. Sebagai ilmuan sudah sepatutnya aku harus mengetahui suatu yang baru. Akhir - akhir ini aku bosan terus melakukan hal sama setiap harinya." Masih dengan nada lesu, dia lalu memutar jari telunjuk di atas meja.

'Meski bilang begitu, nyatanya Anda terlihat senang ketika merapihkan buku - buku setiap harinya,' batin si Pemuda yang senyam - senyum sendiri.

"Akan tetapi, aku mendapat informasi dari warga jikalau ada seseorang yang mempunyai senjata tersebut di kota." Fenrir meneruskan pembicaraan yang sebelumnya henti sejenak.

Mendengar ungkapan tersebut, si Gadis kecil itu pun seketika mengangkat wajahnya dan memasang reaksi yang sama. "Siapa? Cepat katakan!!" Pintanya tidak sabaran. Wajahnya sungguh menggemaskan.

"Si Penculik, Wash!" Pemuda itu menjawab. Tidak sesuai harapan. Bukan kesenangan yang didapat malah kemurungan yang terpampang di wajah sang gadis.

Wash? Tentu saja. Nona kecil itu tidak mau berurusan dengan si maniak penculik tersebut. Bahkan seluruh warga kota sekali pun, terutama para wanita. Bisa - bisa menjadi bahan mainan ketika bertemu. Lebih parahnya disekap berminggu - minggu. Nyatanya begitu menurut kesaksian yang menjadi korban lelaki tersebut. Memang cukup meresahkan. Meski para penjaga kota bahkan Title tingkat Rare sampai Epic berupaya untuk menangkap si Wash, kenyataannya mereka cukup kesulitan. Saat ini dirinya masih berkeliaran bebas di kota, membawa hawa teror bagi kaum hawa. Walau di satu sisi, lelaki itu hanya mengikat korbannya dan memandangi saja tanpa ada tindakan pelecehan. Setelah puas, dia akan melepaskan korban begitu saja. Aneh sekali memang.

"Arkhh ..." Sang gadis menggeleng - geleng kepala seraya menjambak rambutnya sendiri, membuat takut si Pemuda lantaran kursi yang didudukinya ikut bergoyang. "Mengapa harus dia?!" Pekiknya.

"Nona Serena!"

Suara pintu dibuka, bersamaan seruan dari seorang wanita. Gerakan awut - awutan sang Nona kecil berhenti mendengar panggilan itu. Dia berpaling ke belakang. Setelah mengetahui siapa, lantas dirinya melompat dari kursi lalu menempel ke pelukan gadis berambut jingga yang datang menghampiri.

"Veronica!"

Hilang sudah wajah murungnya, berganti menjadi keceriaan.

Serena melepaskan pelukan dan menatap Veronica yang berjongkok menyamai tinggi tubuhnya. "Kau lama sekali, Veronica!" Sambungnya dengan nada sedikit mengeluh.

Si wanita bernama Veronica tersenyum. "Maaf, tadi ada sedikit masalah. Si Wash sempat menangkap diriku tadi," jelasnya kemudian bangkit dari posisi.

"Apa?!" Terkesiap, secepat mungkin Serena langsung mengecek setiap tubuh Veronica. Mencari apakah ada masalah. Ternyata tidak ada. "Syukurlah!" Dia menghela nafas lega.

Melihat tingkah si Gadis kecil tersebut, Fenrir dan Veronica terkekeh terkecuali satu orang yang bersama mereka.

"Kau sebut itu masalah kecil? Itu adalah masalah besar tahu!!" Tegas Serena sambil berkacak pinggang, pipinya bergelembung. Sedetik setelahnya dia sadar kalau ada sosok lain di samping Veronica. "Lalu, siapa orang berjubah di sampingmu?" Tanyanya.

"Oh iya, perkenalan ini ...." Ucapan Veronica tiba - tiba tersendat. Secara dirinya belum mengetahui identitas pemuda di dekatnya. Bertanya namanya? Dia lupa melakukan itu. Akan tetapi dengan pekanya orang itu pun lantas maju selangkah dan berkata, "Aku ...." namun langsung terpotong.

"Tetaplah di belakangku, Nona Serena! Kau juga menjauh darinya, Veronica," titah sang Pemuda klimis terdengar tegas. Dia memunggungi tubuh mungil Serena, tetapi wajah gadis kecil itu masih terlihat dari balik selangkangan.

Kedua perempuan itu dibuat keheranan melihat tingkah Fenrir yang tiba - tiba berubah.

"A-ada apa Fenrir?" Tanya Veronica gugup. Dia menatap si pemuda yang hampir tidak berkedip memandang orang berjubah di samping dirinya.

"Jubah ... mata biru sapphire dan merah ruby. Kau pasti ... Nevtor si Buronan!"

avataravatar
Next chapter