34 Bab 34 Kilas balik: Perburuan ( Revisi )

Langkah mereka terhenti. Salah seorang berjongkok menyentuh jejak kaki yang tertinggal di atas pasir. Matanya memejam, tampak sedang berkonsentrasi dan menganalisa. Lalu pria berambut biru itu bangkit dan menatap ke salah satu jejak yang mengarah ke timur sembari tersenyum seringai.

"Bagaimana?" Tanya Flade yang ada di belakang.

"Noble Assassination itu mengarah ke timur. Sedangkan seseorang yang bersamaannya menuju ke utara," jelas Zick.

"Baiklah, kalau begitu aku akan ke uta--"

"Tidak," sela Zick tanpa menoleh, "kau pergilah ke timur. Biarkan aku yang mengatasi kroco itu. Lagipula ...," senyum seringai kembali terukir di bibirnya, "... aku ingin bersenang - senang dan mencoba teknik eksekusi yang baru yang kukembangkan."

***

Dengan langkah gontai, Celia terus berjalan di medan berpasir yang sukar untuk melangkah sembari melindungi sang putra dalam dekapannya dari partikel - partikel debu yang senantiasa melintas.

Di samping itu, batinnya saat ini tengah memikirkan tentang Naia yang berada di sisi lain padang pasir ini. Walau awalnya Celia tak menyetujui akan rencana pengecohan ini, namun karena pengawalnya itu bersikukuh, dia tidak punya pilihan lain. Sekarang dia hanya bisa berdoa agar semuanya baik - baik saja dan mereka bisa bertemu di titik yang telah ditentukan. Selain itu, Naia pun sempat memberikan sebuah belati kepada Celia. Katanya untuk berjaga - jaga.

Tanpa sadar, kaki Celia tersandung bongkahan batu yang terpendam sehingga kehilangan keseimbangan. Beruntung, dirinya tidak terjatuh dan hanya mengalami lecet di mata kaki kiri saja.

Mendengar tangisan sang anak dengan wajah panik wanita berambut merah itu lantas memeriksanya. "Maafkan ibunda ya, Nevtor," ujarnya hampir menitik air mata.

Tak lama, terdengar suara jejak kaki seseorang mendekat dari arah samping. Membuat Celia terperangah dan berpaling cepat. Sepasang mata sapphirenya membulat saat mendapati pria berzirah dan berambut coklat pucat yang berdiri.

***

Zick berjalan, mengikuti rute dari jejak yang ditinggalkan. Namun tiba - tiba langkahnya terhenti lantaran jejak tersebut tidak lagi ada. Kewaspadaan memandunya untuk siap siaga. Kemungkinan ada perangkap yang tengah menanti. Benar saja, beberapa detik ada lesatan belati yang mengarah padanya.

Zick secara sigap menangkis menggunakan pedang yang diciptakan dari sihir es hingga belati tersebut pun terpental jauh dan menancap di pasir.

"Apa kau kira aku akan terjebak dalam trik murahanmu itu? Keluarlah, dan kita bertarung!" Serunya. Melirik kiri - kanan mencari sosok sang penyerang.

Setelah ucapan itu, Naia pun muncul di depan. Tatapannya begitu tajam bagaikan serigala yang kelaparan.

Zick tersenyum merekah. "Nah, itulah yang kuinginkan. Ayo kita bertarung!" Ia memutar pedang lalu menjilat bilahnya. Kemudian senjata itu dihadapkan vertikal ke depan.

Segera setelah menghunus belati dari sarung di pinggang belakang, Naia pun langsung melesat maju dan berpindah ke titik buta sang lawan. Dilanjutkan langsung mengayunkan belati ke leher si pria yang terdiam.

Zick berbalik dan menahan, lalu balas menyerang hingga sang musuh mundur menjaga jarak. Dalam kesempatan itu dia lantas melesat sihir kristal es dari tangan kiri. Naia pun secara gesit menghindar sekaligus menebas kristal - kristal es yang hendak mengenainya, meninggalkan serpihan berhamburan di pasir.

"Hebat! Namun kau tidak cukup cerdik!" Zick menggerakan tangan kanannya ke atas. Alhasil serpihan - serpihan tadi membentuk kembali kristal es lalu menyerang si perempuan berjubah dari bawah.

Walau mencoba mengelak, kenyataan bahwa dampak dari serangan itu pun tak dapat dihindarkan. Beberapa kristal es berhasil mengoyak tubuh Naia mengakibatkan luka cukup parah. Akan tetapi rasa sakit tersebut tidak membuat sang Assassination tumbah begitu saja.

"Wow, kau Assassination yang tangguh. Sangat berbeda dari saudara - saudaramu yang lemah itu. Khususnya, pria bernama Azruld itu. Dia bahkan mati begitu saja tanpa perlawanan. Payah!" Cibir Zick sambil tertawa, menciptakan keterkejutan di mimik sang lawan.

"Azlurd, telah dibunuh?" Gumam Naia tak percaya. Pria yang sangat dekat dengannya, telah tiada?

"Tapi yah, aku harus berterima kasih padanya. Berkat dirinya kami bisa mengorek informasi tentang lokasi kastil terkutuk kalian dan juga keamanannya."

Kali ini, sepasang mata merah Naia menusuk tajam sang pria yang bersenyum ria.

"Apa yang kau lakukan padanya?" Tanyanya ketus.

Zick terkekeh. "Aku hanya sedikit mencuci pikirannya saja," jawabnya.

Gertakan gigi terdengar jelas. Rasa muak yang tak lagi dapat terbendung. Usai mengambil ancang - ancang, membungkukan badan bagai serigala yang siap menerkam, Naia pun kembali menerjang dan berpindah ke titik buta si musuh untuk kedua kali begitu cepat. Sayang, pergerakaan monoton tersebut telah dibaca. Akibatnya, sebelum perempuan itu bisa mengayunkan belati, sudah ada kristal - kristal es memutar di tubuh sang pria yang menjadi pelindung.

"Arggg ...." Naia mengerang kesakitan saat sembilan kristal es menyayat tubuhnya. Dirinya pun perlahan hilang keseimbang. Akan tetapi, saat dia akan ambruk sebuah tendang keras lebih dulu bersarang di perutnya sehingga perempuan tersebut terlempar lalu mendarat terlentang.

"Secepat apapun engkau, jika otakmu bebal tetap saja itu tidak ada gunanya," cibir Zick sekali lagi. Kesombongan terpatri di mimiknya.

"Ohook!" Cairan merah muncrat dari mulut Assassination perempuan itu. Ia berusaha bangkit tetapi karena luka yang diterimanya cukup parah dirinya pun kembali terjatuh, lagi dan lagi.

"Kita akhiri saja ini!" Kedua tangan dimajukan lalu sepuluh jemari dilebarkan. "Average Magic: Prison of Ice!" Kristal - kristal es (vertikal) terbentuk di atas kepala dan sekeliling (horizontal) sang lawan, melingkar. Ketika tangan kanan digerakan ke bawah, seluruh kristal es yang berada di udara menancap dan mengurung sang Assassination bagai sangkar burung.

"Ada kata - kata terakhir?" Zick menyungging senyum angkuh. Tangan kirinya bersiap untuk mengeksekusi.

***

Dirongrong kepanikan, Celia berlari tanpa arah. Demi keselamatan dirinya serta sang buah hati dari perburuan pria yang saat ini mengejarnya. Namun mendadak pergerakannya dihadang oleh tebing tanah setinggi dua puluh meter. Dia pun berbalik, mencoba berganti haluan. Sayang, hal itu percuma karena dia telah terjebak. Hal yang bisa wanita lakukan sekarang hanyalah menatap si pemburu yang kian mendekat.

Ketakutan mendorongnya untuk mundur perlahan - lahan. Punggung menempel dengan tebing tak lagi bisa bergerak. Karena naluri bertahan hidup yang muncul, tangan Celia bergerak secara otomatis mengambil belati yang disembunyikan di gaun lalu mengarahkan pada sang pemburu dengan gemetaran.

"Ja-jangan mendekat!" Teriaknya. Dia berhasil membuat langkah sang pemburu bungkam, sekitar tujuh meter. Meski begitu hal tersebut tak mengubah situasi.

Si pemburu yang tak lain Flade, lantas menghunuskan pedang dari sarung di punggung. Lalu tanpa berucap apapun dia langsung berlari menuju sang wanita.

Srapp!!

Bilah pedang berhasil mendarat di perut. Mengejutkannya, bukan Celia yang tertusuk justru seseorang yang tiba - tiba muncul. Terlebih lagi tubuh orang itu sudah terlihat mengenaskan. Dengan beragam luka di sekujur tubuhnya hingga jubah yang dikenakannya compang - camping, juga di bahu kiri terdapat kristal es yang menancap.

Mata Celia terbelalak dengan nafas tercekat. Kaget bercampur bingung saat Naia yang mendadak datang. Beberapa detik setelahnya dia baru ingat akan kemampuan wanita berjubah itu. Kemampuan berpindah tempat melalui sebuah objek.

"Naia ...." Tangan dijulurkan mencoba menggapai.

Lantas, Naia pun melemparkan belati dalam genggamannya ke permukaan tebing. Saat senjata itu telah menancap dia langsung memegang tangan sang majikan dan sekali kedipan mata, tahu - tahu Celia telah ada di atas tebing.

"Pergilah, Nyonya Celia!" Titah Naia sembari menguatkan kepalan tangan pada senjata yang menancap di perutnya.

Dengan mata berkaca - kaca, Celia menatap sang perempuan berjubah yang berada di bawah. "Naia!"

"A-aku akan menyusul setelah mengalahkan pria ini. J-jadi ... Ny-nyonya dulu saja!"

Dia tahu, Naia tengah tersenyum saat ini. Demikian apa yang diucapkan itu merupakan sebuah kebohongan. Walau sebenarnya ingin membantu tetapi ia sadar bahwa dirinya akan menjadi beban dan menyia - nyiakan pengorbanan tersebut. Karena itu, sesuai apa yang diperintah, Celia bergegas pergi dalam balutan hati yang tersayat. Air mata seakan siap jatuh, namun tidak ada waktu untuk menangis.

Pandangan mulai mengabur. Tubuh perlahan melemah. Meski dia mencoba bertahan selama mungkin, sayangnya luka yang parah seolah tak mengizinkan. Walhasil kepalan sang Assassination perempuan itu pun mulai kendur.

Pedang lekas ditarik dari tubuhnya dan Naia seketika tumbang. Darah segar mengalir yang membasahi pasir keemasan.

Flade memandang sejenak wanita itu, lalu melompat ke permukaan tebing dan melakukan mengejaran kembali. Tak butuh lama, berkat jejak kaki yang ditinggalkan, dia berhasil menemukan Celia yang berjalan terhuyung - huyung.

Sesaat pria itu hendak menyerang, tiba - tiba saja satu kristal es melesat dan mendarat di punggung sang wanita berambut merah. Karena hal tersebut tubuh Celia pun langsung jatuh, berlutut. Tetapi dirinya berupaya bangkit walau kesulitan dan memeluk putranya yang terlelap.

"Mengapa kau belum membunuhnya. Apa karena dia seorang wanita?" Komentar seseorang dari belakang, itu Zick.

"Aku hampir membunuhnya. Jika saja pengawal perempuan tadi tak menghalangi," cetus Flade, menatap pria berambut biru yang telah berada di sampingnya.

"Ya, aku pun sempat dibuat terkejut. Saat Assassination itu tiba - tiba menghilang dari hadapanku. Ternyata dia pindah ke tempatmu toh," Ia menjeda, "Tapi yah, ujung - ujung mati juga. Namun harus kuakui, dia kroco yang tangguh," lirihnya seraya tersenyum tipis.

Kesempatan. Celia yang melihat dua pria tersebut tengah sibuk mengobrol, lantas mengarahkan tangan kanan pada mereka. "Technique: Blind!" Asap hitam keluar dari telapak, yang kemudian menyelubungi tempat Zick dan Flade berpijak.

Celia buru - buru bangkit. Akan tetapi saat dirinya akan berlari, mendadak ada pedang es yang menusuk perutnya. Cairan merah pun keluar dari mulut hingga mengenai kening sang anak, membuatnya terbangun lalu menangis.

Tubuh sang wanita tumbang, menatap sayu putra di sampingnya.

Dalam kepulan asap hitam, Zick keluar dan berjalan menghampiri. "Hoho. Kau ternyata punya anak ya," ucapnya sambil menciptakan pedang es di tangan kanan. "Baiklah kalau begitu. Akan kuhabisi juga anakmu itu ...." Pedang diangkat tinggi - tinggi dan bersiap diayunkan.

Akan tetapi ...

"Hentikan!" Flade memegang erat tangan pria berambut biru tersebut. "Kita tidak diperintah untuk melakukan hal itu," jelasnya.

"Apa maksudmu?"

"Tugas kita adalah membunuh Noble Assassination serta seluruh Assassination yang berada di kastil tersebut, ingat? Tanpa terkecuali," tegasnya.

"Kau buta? Bayi ini juga bagian dari mereka. Jati diri Assassination mengalir dalam darahnya."

"Itu memang betul. Namun kita boleh menghakimi begitu saja."

"Lalu ... apa kau ingin kita membawanya ke kota?"

"Benar," jawabnya. "Kita harus melaporkan dan menyerahkan tentang bayi ini kepada para Petinggi. Tinggal bagaimana menunggu tindakan apa yang selanjutnya diambil oleh mereka."

Sepasang mata Zick menyipit. Dia lantas melepaskan genggaman tangan Flade paksa lalu berkata, "Apa benar begitu? Bukan karena kau merasa kasihan pada bayi ini?" Tukasnya.

Seketika Flade tersentak kaget dan membisu. Melihat reaksinya membuat kecurigaan si pria berambut biru menguat. Senyuman miring terukir di bibir. Ia menatap tajam Flade seolah sedang mengintrogasi.

"Apa aku benar?"

Flade menghela nafas. Pemimpinnya itu benar - benar telah dibutakan oleh nafsu membunuh. Ia harus menyadarkannya. "Semua yang kukatakan ...."

Sayang, sebelum ia bisa menjelaskan, justru dirinya disambut oleh ujung bilah yang berada di tenggorokan.

"Tidak ada gunanya kau berdalih," potongnya. "Kenyataan bahwa bayi itu seorang Assassination tak dapat terbantahkan. Dia akan tumbuh dan besar menjadi pembunuh berdarah dingin. Meski kita membawa ke kota, tetap saja ada orang - orang yang pasti tidak suka dan ingin membunuhnya."

"Namun, jika kau tetap ingin menghentikanku. Maka ... kau akan menjadi musuhku!" Lanjutnya mengacam.

Nafas tercekat di tenggorokan tak mampu berkata - kata. Semua yang dikatakan memang benar. Meski begitu, Flade akan mengkehendaki apapun yang menurutnya yakin.

Cringg!!

Kedua bilah pedang saling bertabrakan dengan sang pengguna yang saling bertatapan.

"Apa yang kau katakan memang benar. Tetapi tetap saja, kita tidak boleh menghakimi secara sepihak. Sadarlah, Zick!"

Gigi menggertak. Wajah geram Zick berikan kepada sang pria yang memiliki perbedaan pendapat dengannya. "Jadi kau ingin tetap melindunginya? Baiklah, sekarang kau adalah musuhku!"

avataravatar
Next chapter