18 Bab 18 Desa AET ( Revisi )

Nevtor menyarungkan pedang hitamnya. Tatapan khas dingin pun memandang kedua orang yang turun dari kereta kuda, membuat mereka takut terutama si wanita yang langsung mendekat dan memegang erat tangan lelaki di sampingnya. Nampak hubungan mereka seperti sepasang kekasih. Sebab terlihat dekat sekali.

Beberapa menit suasana mencekam itu terjadi, mendadak terdengar suara ...

Gubraak!!

Seseorang jatuh dari sebuah pohon kelapa. Serentak, tatapan ketiganya pun langsung berpaling ke sumber itu. Rupanya lelaki berambut perak yang sedari tadi sibuk memetik kelapa. Dia merintih sambil memegang punggung dan berjalan tertatih - tatih menjauhi pohon yang tadi dipanjatnya.

Tidak lama setelahnya, pemuda berambut klimis yang bertelanjang dada datang dari arah kolam. "Ada apa?" Tanyanya bingung, ia menatap lelaki yang tadi terjatuh, yang saat ini tengah bersandar pada pohon seraya mengelus punggung. Netra emeraldnya lalu beralih kepada kedua pendatang yang masih berpegangan tangan.

---

"Namaku Edy ...," salam lelaki berambut coklat itu. Ia lalu memperkenalkan wanita di dekatnya, "... dan ini, Mia. Kami berasal dari desa AET." Keduanya membungkukkan badan.

Dengan sopan, Fenrir membalas salam itu. Kemudian memperkenalkan dirinya lalu disambung oleh Nevtor kemudian Wash.

"Jadi kalian berasal dari desa AET ya," ujar Fenrir basa - basi.

"Ya. Kami ke sini untuk memetik beberapa buah kelapa untuk bahan masakan," timpal Edy. Dan Mia menambahkan, dia menatap Nevtor dengan wajah yang tampak ada rasa bersalah. "Kami mohon maaf karena sudah berprasangka buruk tadi. Kami pikir kau akan menebang pohon - pohon ini." Wanita itu menunduk dalam.

Nevtor ikut menundukkan kepala dan berkata, "Aku juga minta maaf!"

Suasana tegang sebelumnya telah menjadi cair. Fenrir pun mengenakkan kembali pakaian merah delimanya. Logo buku yang terbordir di saku baju mengingatkan Edy pada seseorang.

"Apa kalian berasal dari kota Known?" Tanyanya.

"Ya, benar!" Jawab Fenrir singkat.

"Apakah anak itu bersama kalian?"

Kedua alis Fenrir naik, "Anak?"

"Itu loh, anak perempuan berambut ungu dan memakai topi kecil." Edy menjelaskan sambil memperagakan ciri orang yang dimaksud. Dan Fenrir langsung menangkap maksudnya.

"Oh, Nona Serena."

"Ya, Serena!" Seru si Lelaki. "Anak itu datang tiap beberapa bulan ke desa kami untuk mengambil barang. Kami bahkan sempat bingung. Untuk seukuran anak kecil sepertinya, ia cukup berani melakukan perjalanan seorang diri."

Mendengar perkataan Edy, wajah Fenrir berpaling ke arah lain dan bergumam, "Anak kecil? Nampaknya Nona tidak memberitahu mereka ya."

"Ada apa?"

Fenrir kaget dan kembali memalingkan wajah seraya menggaruk kepala yang tak gatal. "Ah, tidak, tidak apa - apa!"

"Woy, taruh di mana ini?!" Dengan nada kesal, Wash ikut andil dalam perbincangan. Kedua tangannya mengangkat dua buah kelapa. Di belakang dirinya pun terdapat banyak sekali buah hijau berkulit keras yang sama tergeletak di pasir.

Seusai mengangkut semua kelapa ke dalam gerobak kereta, Edy dan Mia membungkukkan badan dan berucap, "Terima kasih karena telah membantu kami!"

Fenrir dan Nevtor pun mengganguk.

"Oh iya, ngomong - ngomong kalian hendak ke mana?" Tanya Edy.

"Sebenarnya kami mau ke desa kalian. Namun karena letih maka dari itu kami menetap di oasis ini dulu." Fenrir menjawab lalu tersenyum.

"Ya sudah, kalau begitu kalian ikut saja dengan kami. Anggap saja ini sebagai balas budi karena telah menolong mengambilkan kelapa."

Butuh beberapa detik hingga Fenrir menyetujui ajakan itu, dan mereka bertiga pun beranjak naik ke gerobak. Edy lekas memacu kereta kuda. Roda mulai berputar, meninggalkan jejak pada pasir. Pemandangan oasis perlahan samar - samar sampai akhirnya hilang dari pandangan.

---

Tujuh jam menyisir padang pasir akhirnya desa AET sudah terlihat. Tampak juga sebidang lahan yang penuh dengan warna hitam dari desa. Dari penuturan Edy kalau itu merupakan perkebunan teh hitam. Para penduduk mengelola teh sebagai modal perekonomian. Mereka mengekspor hasil panen ke penjuru kota, Sektor Utara. Juga menyimpan panen yang tersisa untuk mereka sendiri.

Kereta kuda tiba di gerbang desa yang hanya terbuat dari kayu dengan dinding berbahan sama, diikat erat oleh tali secara berjajar dengan ketinggian tujuh meter. Ada pula pos menara pada sisi kanan yang dijaga oleh seseorang. Ia melambaikan tangan saat Edy menegur.

Jalan terus di dalam, mereka disambut oleh beberapa penduduk yang tengah berjalan berlawanan. Juga anak - anak kecil yang bermain kelereng di lapangan tanah. Hingga tibalah di sebuah rumah yang sederhana, sejatinya rumah pedesaan. Bangunan mirip gubuk dengan kayu sebagai pondasi. Atap berupaya daun kelapa kering.

Para penumpang beserta sang kusir lekas turun saat kereta berhenti di teras.

"Silahkan beristirahat dulu di rumah kami!" Ajak Edy dengan hangat.

"Terima kasih! Namun kami harus bergegas menemui seseorang," balas Fenrir.

"Seseorang?"

"Namanya Vane!"

"Oh, Tuan Vane! Beliau mungkin saat ini ada di perkebunan." Edy kemudian meminta Mia untuk mengantarkan ketiga orang asing itu menuju perkebunan teh. Usai si Wanita berucap, "Aku pamit dulu, Kak!" Kepada Edy, mereka berempat pun berlalu pergi. Dan lelaki yang rupanya kakak dari Mia, lekas mengambil kelapa dari gerobak dan masuk ke dalam rumah.

Melewati jalan setapak pedesaan yang tandus pada waktu siang benar - benar sebuah tantangan. Belum lagi teriknya matahari dan tak ada pohon satu pun. Bahkan ada suara riuh - riuh di dalam perut sang lelaki berambut perak.

"Aduh, laparnya ...." Keluhnya sambil mengelus perut yang keroncongan.

"Bukankah sebelumnya kau sudah makan daging kelapa?" Timpal Fenrir.

"Makan segitu mana kenyang."

"Memang kapasitas perutmu itu berapa, sampai - sampai tiga sebuah kelapa tidak cukup untukmu."

Mendengar celotehan mereka di belakang, Mia hanya bisa tersenyum lalu pandangnya beralih pada pemuda berjubah yang berjalan sejajar dengannya. Dia tampak tertarik pada pemuda itu, atau mungkin pada wajahnya. Namun yang pasti, pandangan Mia benar - benar teralihkan hingga tidak sadar kalau telah sampai di tempat tujuan.

"Apakah kita sudah sampai?"

Ucapan itu membuat Mia tersadar. Dia kemudian mencari dan memanggil, "Tuan Vane!", dan orang yang dimaksud membalas dan keluar dari seluk beluk tumbuhan berdaun hitam yang tingginya melewati batas kepala.

"Oh, Mia. Ada apa?" Tanyanya. Pria berkumis, berpakaian putih yang sedikit kumel, memakai caping bambu dan ada handuk kecil digantungkan di pundak.

"Ada yang ingin menemui Anda." Mia berpaling dan menujuk ketiga orang asing yang bergeming. Kemudian pria berkumis bernama Vane itu pun mendekat.

"Oh, kalian berasal dari kota Known ya." Vane tahu saat melihat logo buku di saku baju Fenrir. "Ada yang bisa kubantu?" Tanyanya seraya mengelap keringat di wajah menggunakan handuk.

Fenrir segera mengambil dan menyerahkan secarik kertas kepada Vane. Kertas yang diberikan Serena saat hendak melakukan perjalanan. Si Pria pun membuka dan membacanya. Tampak senyum terukir di bibir, lalu menutup kembali kertas tersebut. Kemudian meminta mereka untuk ikut bersamanya.

"Terima kasih telah mengantarkan kami," ungkap Fenrir kepada Mia.

Si Wanita tersenyum dan membalas, "Ya, sama - sama. Dan jangan lupa, selepas ini kalian bisa ke rumahku untuk makan malam."

Sebenarnya Fenrir merasa tak enak menerima ajakan itu, namun melihat ketulusan sang wanita tidak sopan juga menolaknya. Dia pun menyetujui itu kemudian bergegas pergi.

Beberapa menit berjalan sampailah mereka di sebuah toko kelontong. Toko kecil dan sederhana yang menyimpan banyak sekali kantung kecil yang entah apa isinya. Berderet rapi pada almari di belakang meja pelayanan.

Vane mengambil tiga buah bungkusan dan menaruh pada box kayu kecil lalu diikat. Kemudian menyerahkan kotak itu pada si Pemuda klimis.

"Ini, pesanan yang minta anak perempuan itu!" Katanya. Dan Fenrir pun mengambil lalu mengucapkan terima kasih.

Wash menatap kotak tersebut sedikit heran, lalu bertanya, "Memang apa isinya?"

"Hanya tiga kantung teh." Fenrir menjawab.

Tersentak kaget, Lelaki berambut perak itu hanya bungkam dan menggeleng - geleng kepala. "Melakukan perjalanan yang jauh dan mengerikan ini hanya untuk sebuah teh?" Gumamnya, ia menghela nafas panjang.

Fenrir berpamitan dan ketiganya pun meninggalkan toko. Berjejak lagi di jalan setapak desa yang suasananya telah berubah. Siliran angin dan pemandangan jingga di hamparan langit. Tidak terasa kalau hari sudah sore.

---

Tok... tok... tok

Pintu dibuka. Di baliknya wanita berkepang muncul. Dia kemudian mempersilahkan ketiga tamu itu untuk masuk. Karena lantai hanyalah tanah, jadi mereka tidak perlu repot - repot melepas alas kaki, terkecuali si pria berambut perak yang memang sejak awal tidak pakai.

Mia mengajak mereka ke ruang makan. Di sana sudah ada Edy menyambut. Dan ketiganya pun lekas duduk di kursi masing - masing. Hidangan di atas meja tampak menggugah selera. Usai mendapat izin dari pemilik rumah dan berdoa, mereka pun mulai menyantap makanan.

Tanpa rasa malu dan etika, Wash yang sudah lapar sekali langsung menghabiskan begitu cepat menu makanan. Fenrir pun hanya bisa tersenyum malu melihat tingkah kawan perjalanannya itu. Dia sampai berkeluh hati, 'sebaiknya aku memang tak mengajaknya sejak awal'.

Selesai makan, Mia lekas membersihkan piring - piring kotor di atas meja. Sedangkan Edy memulai sebuah perbincangan. Perbincangan yang serius, juga sesekali dibumbui sedikit lelucon. Meski ada satu orang yang tak tertarik akan obrolan itu dan hanya memilih diam. Dan obrolan mereka pun berlangsung hingga larut malam.

avataravatar
Next chapter