14 Bab 14 Teror di malam hari ( Revisi )

Waktu menunjukan tengah hari. Di dalam menara, di meja makan dari kayu berbentuk persegi yang hanya diterangi beberapa lilin di atasnya, banyak sekali makanan yang dihidangkan. Mulai dari sup, roti dan ikan bakar.

Ada pun empat orang yang tengah duduk santai sambil menikmati makanan di permukaan meja itu. Bahkan salah seorang dari mereka pun begitu lahap memakan hidangan tersebut hingga sisa makanan jelas menempel di pipi dan bibir.

Satu orang di dekatnya pun hanya terdiam melihat tingkah si rakus tersebut.

"Eoooooo ...." Sendawa langsung keluar begitu dirinya menghabiskan hampir setengah hidangan. Lelaki berambut perak itu pun lantas menyandarkan tubuh pada kursi sambil mengusap perut yang meski sudah makan banyak masih saja tak ada perubahan.

"Tampaknya kau lapar sekali ya," celetuk pemuda klimis di samping kanan lelaki itu sambil menggeleng - gelengkan kepala.

Sementara, pria yang merupakan penghuni menara ini hanya memberikan senyuman. Sedangkan pemuda berjubah hitam, dia sedari tadi bungkam seribu bahasa. Meski begitu, netranya terkadang memperhatikan persekitaran. Ruangan yang digunakan ini kosong melompong tak satu barang lain pun selain meja dan kursi yang mereka pakai.

"Apa hanya kalian bertiga yang tinggal di sini?" Tanya pemuda berjubah, Nevtor tiba - tiba.

Pria itu, Si Penjinak lalu menjawab, "Tidak. Selain aku dan dua orang yang berjaga di luar, ada satu orang lagi yang tinggal di menara ini."

"Lalu, mengapa kalian masih menetap di sini? Padahal kalian bisa pergi kalau mau." Pemuda klimis, Fenrir bertanya.

"Bisa saja. Namun kami tidak punya tempat tinggal di luar sana. Maka dari itu kami memilih menempat di sini."

"Selamanya?"

Pria itu menaikkan kedua bahu. "Mungkin."

Fenrir mengangguk. Kemudian bangkit dari kursi dan berjalan mendekati jendela yang tanpa perlindungan apapun sampai - sampai pasir dari luar yang berterbangan acapkali masuk ke dalam.

Netra pemuda itu melongok ke luar jendela melihat kondisi gurun saat ini yang sudah tak terlihat lagi karena terselubungi fenomena badai pasir.

"Sejak tadi badai ini tak mereda. Apakah selalu begini?" Tanyanya.

"Ya, begitulah! Namun tenang saja, selama di dalam kita akan aman," jawab si Penjinak meyakinkan.

Fenrir melirik pria itu sesaat lalu berpaling kembali ke depan.

-----

Waktu terus bergulir. Hari pun telah menjelang sore. Si Penjinak beranjak memberikan tiga kamar kosong kepada para pendatang baru. Kamar Wash dan Fenrir berada di ruangan tingkat bawah menara. Sekarang tinggal kamar milik Nevtor. Dia diajak menuju lantai dua bersama si pria yang membawa lentera. Melewati tangga demi tangga berputar yang tak terhitung jumlahnya. Setibanya di lantai atas, rupanya terdapat tiga ruang kosong. Si Penjinak pun berjalan menuju ruangan pertama dan membuka pintu perlahan.

Ruangan amat gelap tanpa penerangan sedikit pun. Namun berkat adanya lentera, kamar jadi sedikit kelihatan. Nampak ruangan ini terdapat banyak barang yang tak terpakai. Bahkan debu bertaburan di setiap barang. Tempat ini lebih bisa dikatakan sebagai gudang daripada kamar.

"Maaf kalau begitu kotor. Soalnya ruang ini tak begitu terpakai," jelas si Penjinak.

"Tak mengapa. Meski terlihat seperti gudang, tapi lebih baik daripada tidur di luar," balas Nevtor dengan santai. Dia kemudian beranjak masuk lalu mencolek debu yang ada di kamar tidur.

Si penjinak menggantungkan lentera pada dinding. "Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Selamat berisirahat!"

Pintu pun ditutup. Nevtor bergegas membersihkan tempat tidur dari debu yang berhamburan. Butuh beberapa menit untuk bisa menyulapnya menjadi kasur yang layak pakai.

Pemuda itu lalu menanggalkan jubah hitam pada sebuah kursi. Segera, dirinya pun langsung berebahkan tubuh di kasur yang tak begitu lembut tetapi setidaknya nyaman. Perlahan - lahan mata Nevtor pun mulai sayu. Saking letihnya karena kejadian di gurun sebelumnya, ia tak mampu lagi menahan rasa kantuk.

***

Sore berganti malam. Di puncak menara, ada seekor burung vulture yang bertengger. Suasana di dalam menara pun begitu hening.

Suara langkah kaki berjalan menuju sebuah ruangan. Bayang - bayang seseorang tampak dari pantulan lentera yang tergantung di samping pintu. Pintu pun dibuka tanpa mengeluarkan bunyi. Langkah pun kembali bergerak, mendekati kamar tidur. Nampak ada seseorang yang tertidur lelap sekali dengan seluruh tubuhnya tertutupi selimut.

Tok... tok... tok

Ketukan pintu terdengar beberapa kali. Sang penghuni ruangan pun membukakan pintu. Sambil mengucek - ucek mata, lelaki berambut perak itu mencoba melihat siapa gerangan yang datang walau penglihatan masih remang - remang.

"Maaf mengganggu tidurmu!" Ucap seseorang itu, yang ternyata wanita yang tadi berjaga di luar menara. Pakaian yang dikenakannya kali ini serba putih. Tampak seperti piyama.

Melihat wanita dihadapannya, mata Wash seketika segar kembali sambil cengar - cengir. "Tidak apa - apa! Lagian aku belum tidur tadi," bohongnya.

"B-boleh aku ... masuk ke kamarmu. Soalnya, aku takut tidur sendirian." Wanita itu malu - malu, tampak dari wajah yang sedikit memerah.

Jakpot. Mata Wash bertambah segar sekaligus bersemangat. Tanpa pikir panjang, dirinya langsung mempersilahkan wanita itu untuk masuk. Setelahnya, dia menoleh keluar pintu kiri dan kanan memastikan sesuatu. Usai dirasa aman pintu pun langsung di tutup.

"Silahkan, kalau kau mau tidur pakai saja kasurku. Aku akan tidur di lantai," harap Wash masih cengar - cengir.

"Apa tidak apa - apa?"

"Tenang saja. Aku sudah terbiasa tidur di lantai kok!" Dia menunjuk dirinya sendiri, cukup bangga.

Wanita itu beranjak duduk di tepian kasur. Dia menatap Wash dengan pipi merah merona. Kemudian berucap, "S-sebelum tidur. Bo-bolehkah aku membelai rambutmu itu."

"Boleh saja! Tapi mengapa?"

"S-soalnya ... aku menyukai rambut perak panjangmu itu." Dia menundukkan kepala.

"Baiklah!" Dengan ceria, Wash mulai beranjak menuju kasur. Duduk bersanding di tepian. Lelaki itu pun lekas menundukkan kepala saat diminta oleh si wanita.

Tangan lentik mulai membelai manja rambut Wash. Sampai - sampai, Wash amat nyaman hingga memejamkan mata. Tidak sadar jikalau tangan lain wanita itu mengambil sebuah belati dan diarahkan padanya. Wajah ayu pun seketika berubah menjadi bengis.

Sementara pada ruangan lain, seseorang yang memandangi kamar tidur itu pun perlahan menghunuskan belati dari sarung dan senjata tajam tersebut diarahkan ke kasur, kemudian ...

Srapp!!

Tusukan dilesatkan. Senyum langsung terukir di wajah orang itu. Namun begitu sadar akan sesuatu yang tak beres senyumannya pun langsung hilang seketika. Kemudian, dia lantas membuang selimut di kasur tersebut ke lantai.

"Hanya bantal?!" Decaknya.

"Jadi itu yang kau maksud aman di dalam sini?"

Seseorang tiba - tiba saja keluar dari sudut gelap ruangan. Alhasil, orang yang tadi menusuk pun dibuat terperanjat. Dia langsung perpaling cepat ke arah sumber suara itu.

Tusukan siap diluncurkan oleh si wanita ke arah kepala Wash yang masih dibelai. Namun mendadak, kepala lelaki berambut perak itu terangkat, wajahnya dihadapkan ke wajah sang wanita persis dekat sekali.

"Suprise!" Seru Wash yang memberikan wajah lebih menyeramkan.

Akibatnya, wanita tersebut tersentak kaget dan langsung terjatuh dari tepi kasur.

"Kau pikir bisa menakuti - nakuti diriku dengan teror amatirmu itu, Nona?" Komentar Wash sambil metelengkan kepala dan tersenyum lebar.

"Ba-bagaimana kau bisa tahu?"

"Tentu saja! Kau butuh setidaknya lima tahun lagi untuk bisa menipuku."

Wanita itu terbelalak. Sedangkan di tempat lain, pria berjubah atau si Penjinak tersenyum tipis memandang pemuda yang berada di balik kegelapan.

"Sayang sekali ya, pembunuhanmu itu gagal!" Cibir Fenrir.

"Jadi kau sudah sadar ya."

"Tentu saja. Sejak awal aku sudah menaruh curiga padamu. Aku tahu, bahwa kedatanganmu saat itu bukanlah sebuah kebetulan," ungkapnya. Fenrir lalu mengambil dua knuckle dari tas yang diselempangkan dan memasangnya di kedua tangan. "Karena sudah terbongkar sebaiknya buka tudungmu itu!" Sambungnya sambil memasang pose bertarung, tangan di angkat setinggi muka.

"Maaf saja. Kalahkan diriku dulu kalau kau mau aku membuka tudungku ini!" Dia tersenyum licik.

"Begitu? Baiklah ...." Fenrir senyum tipis. Mengambil aba - aba untuk bersiap memulai pertarungan.

Sementara mereka yang hendak bertarung, pada lantai dua menara seseorang menunggu di ambang pintu ruangan pertama. Tangan kanan memegang sebuah belati perak. Perlahan tanpa suara, dia lalu membuka pintu. Terlihat di kasur ada seorang pemuda berambut hitam tengah tertidur lelap sekali.

Orang itu tersenyum. "Sudah lama sekali ya ... Nevtor!"

avataravatar
Next chapter