11 Bab 11 Veronica ( Revisi )

Malam hari di ruang pribadi Serena. Kepalan tangan dihantamkan ke permukaan meja kayu, mengakibatkan benturan keras dan meja bergoyang. Beberapa kali juga protes dilontarkan namun tidak mendapat tanggapan.

Si Gadis kecil masih sibuk dengan buku yang dibacanya. Buku pada genggamannya sangat besar hingga menutupi seluruh muka. Kedua kaki mungil yang terpasang pantofel hitam pun disandarkan pada atas meja, terkadang juga digoyang - goyangkan.

"Hm." Nampak sibuk, mata amethyst gadis itu tak berpaling bahkan untuk sekedar berkejap. Kemudian tanpa menoleh ia meraih cangkir berisi teh hangat di meja yang sedikit tumpah dan secara perlahan menyeruputnya. "Ah, nikmatnya!" Ungkapnya lalu menaruh kembali cangkir di atas meja.

Suasana membacanya terasa tenang sekali dan seolah menutup telinga rapat - rapat dari celotehan pemuda di kursi depan.

"Nona Serena kau dengar?!" Tegur Fenrir dengan nada ketus.

Serena menutup buku walau belum selesai. Kedua kaki lekas diturunkan, lalu meraih cangkir lagi seraya menatap Fenrir yang memasang mimik gusar karena diacuhkan.

"Ya, aku mendengarnya." Serena menjawab kemudian meneguk teh lagi hingga tandas. "Tetapi keputusanku tetap bulat. Esok kau akan berangkat bersamanya," tegasnya.

"Aku sendiri saja sudah cukup. Tidak perlu bantuan si Nevtor itu! Apalagi dia seorang buronan. Bisa - bisa diriku diklaim sebagai komplotannya oleh penduduk desa."

"Tenang saja, desa tersebut terpencil jadi mereka tidak akan tahu prihal itu." Serena menaruh kembali cangkir di atas meja, kemudian bangkit dari kursi. Tubuhnya melayang menuju almari yang berdekatan dengan tempat tidur. Dia lekas membereskan buku besar yang tadi dibacanya pada almari.

"Lagi pun terlalu berbahaya pergi sendirian," sambung si gadis, menopang dagu tampak bingung menata banyak buku. Sesekali tangannya meraih satu buku tetapi tak jadi.

"Tetap saja, aku tidak ingin pergi bersamanya," tolak Fenrir keras kepala. "Kalau Nona bersikeras biar diriku mencari orang lain untuk ikut."

Selesai. Gadis itu memandang buku yang ditata ulang dengan susah payah oleh dirinya sendiri seraya berkacak pinggang. Kemudian terbang menuju kursi dan duduk manis kembali lalu berkata, "Apa kau mau melibatkan warga sipil dalam hal ini?"

"Tidak! Namun aku akan meminta bantuan Titlelist."

"Bukankah kau sudah tahu bahwa di kota ini tidak ada Titlelist selain kita bertiga. Kendati ada, mungkin itu Titlelist dari kota lain yang tengah menjalankan tugas menangkap si Maniak penculik."

Mendengarnya, pemuda yang sedari tadi beragumen kini bungkam. Kepala lantas disandarkan pada kursi, memandang chandelier kecil di langit - langit. Dia sudah kehabisan kata untuk meyakinkan gadis kecil itu yang tak lain merupakan gurunya.

Suasana hening mengisi ruangan. Terkadang ada suara jangkrik dari balik jendela yang sedikit terbuka. Acapkali pun hembusan angin melintas, menerpa tiga bunga tulip dalam vas yang terjejer di depan jendela.

"Hey, apa kau tidak meminum itu?" Serena bertanya tiba - tiba. Dirinya menatap secangkir teh yang belum tersentuh di hadapan Fenrir.

Si Pemuda menoleh cangkir sesaat lalu bangkit dari tempat duduk dan berjalan menuju pintu keluar. Sembari melangkah dirinya pun menjawab lesu, "Aku tidak haus. Silahkan kalau Nona mau meminumnya!"

Pintu lantas dibuka lebar, Fenrir lekas keluar dan menutup pintu perlahan setelahnya.

Senyum masam terukir di bibir mungil Serena. Dirinya lalu terbang, menghampir kursi yang digunakan pemuda tadi. Dia langsung mengambil secangkir teh di atas meja. "Dasar anak didik yang susah diatur!" Komentarnya, kemudian menyeruput teh itu tidak sabaran.

Sambil memasang wajah murung Fenrir berjalan--dengan kedua tangan dimasukan pada saku celana--menuju salah satu meja bundar perpustakaan yang dihuni wanita berambut jingga yang duduk sendirian. Dengan malasnya, Fenrir langsung menjatuhkan bokongnya, bersanding dengan wanita tadi.

Hembusan nafas terdengar panjang. Walau mencoba menenangkan diri, nyatanya sangat sulit untuk permasalahan sekarang.

"Susah sekali beradu argumen dengan Nona Serena," gerutunya lirih.

Merasa tidak dipedulikan, bola mata pemuda itu melirik wanita di samping yang terfokus memandang buku di atas meja. Meski terlihat begitu, sesungguhnya wanita itu tidak sedang membaca. Dia hanya termenung dan terasa pikirannya melayang entah ke mana.

"Hallo!" Fenrir melambaikan tangannya tepat di depan wajah si wanita. Alhasil, Veronica pun tersadar dari lamunan. "Kau baik saja, Veronica?" Tanyanya cemas.

"Ti-tidak apa-apa. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu saja," balas Veronica sedikit gagap. Tak tahu harus memasang ekspresi apa, dia hanya bisa menyuguhkan senyuman kikuk.

"Oh ...." Penasaran, mata emerald Fenrir beralih pada buku di permukaan meja. Rupanya yang tengah dibaca Veronica adalah buku tentang pedang. Namun itu bisa dimaklumi secara wanita itu seorang Title Knight. Namun yang tak lazim, tidak biasanya Veronica melamun seperti tadi.

Seutas senyum tiba - tiba terukir di mulut Fenrir. "Kau sedang memikirkan si Nevtor itu ya," lanjutnya sedikit bercanda.

Alih - alih ingin mencair suasana, justru membuat wanita tersebut malah pergi meninggalkan perpustakaan tanpa mengucapkan sepatah kata.

"Ada apa dengannya?" Fenrir kebingungan. Dia menyandarkan kepala seraya melipat tangan di dada. "Para perempuan memang sulit dimengerti ya," ujarnya pada diri sendiri.

***

Hari semakin gelap. Lampu - lampu jalan mulai dihidupkan. Para pedagang pun membereskan barang dagangannya, juga masyarakat kota yang balik ke rumahnya masing - masing.

Veronica melangkah pelan, diterangi lampu sepanjang jalan. Sejak keluar dari perpustakaan dirinya belum mengeluarkan sepatah kata pun meski orang - orang yang berpapasan menegur. Biasanya dia begitu ceria tetapi kali ini tampak beda.

Usai berjalan penuh diam, si Wanita akhirnya menunjukan reaksi saat telinga mendengar jeritan. Suara itu cukup dekat pada tempatnya berpijak. Dan berselang semenit kemudian, seorang wanita berseragam putih yang sedikit kotor berjalan terhuyung - huyung keluar dari sebuah gang. Bahkan saking lemasnya ia pun akhirnya ambruk.

Lantas, Veronica pun menghampirinya. "Kau tidak apa - apa?" Tanyanya cemas.

Tidak ada jawaban. Tangan wanita itu terus gemetaran. Veronica lekas mengambil botol minum yang ia gantungkan di pinggul lalu menyodorkan pada wanita itu. "Ini minumlah!"

Si wanita mengambilnya walau sedikit kepayahan, lalu secara perlahan ia pun meneguk air yang ada di dalam botol. "T-terima kasih!" Ungkapnya terbata - bata, kemudian mencoba bangkit meski sedikit linglung.

"Apa yang terjadi?"

Netra wanita itu melirik, menunjuk gang di belakang. "A-ada si Wash di sana!"

Veronica terperangah. Dirinya lalu menyuruh wanita itu lekas pergi. Setelahnya, tanpa ada rasa takut dia langsung masuk ke dalam gang yang sempit nan gelap di samping.

Secara hati - hati wanita itu melangkah. Dari tadi belum menemukan kejanggalan. Hingga setelah di pertengahan gang, terdengar suara sayup - sayup dari kejauhan yang tampak percakapan dua orang.

Veronica pun mengendap - endap, mencoba mendekati sumber bunyi tersebut. Tepat dibelokkan gang langkahnya berhenti. Punggung ditempelkan pada dinding gang supaya tak terdeteksi. Perlahan demi perlahan ia pun maju dan mengintip persimpangan kiri gang. Dan jackpot. Netranya mendapatkan apa yang dicari. Wash dan satu lagi sosok berjubah hitam yang tampak familiar.

Telinga Veronica terus aktif, mencoba mendengar percakapan keduanya.

"Oh iya, ngomong - ngomong apa kau mau berkunjung ke tempatku, Nevtor?" Tanya Wash dengan mimik penuh keceriaan.

Veronica terbeliak. "Nevtor?" Batinnya.

"Baiklah. Lagipula tidak ada tempat yang bisa kusinggahi untuk beristirahat di sini."

"Ok!" Wash membalikkan tubuh, menjentikan jari tanda isyarat supaya Nevtor mengikuti.

Si Penguping yang semakin penasaran memajukan posisi, mengakibatkan gesekan pada punggungnya terdengar oleh sang pemuda berjubah. Untunglah dia sigap bersembunyi kembali sebelum netra pemuda itu menangkap basah dirinya.

"Ada apa?" Tanya Wash yang sudah agak jauh.

Netra heterochromia Nevtor masih memantau ke arah sumber suara tadi. Sampai berpikir itu hanya angin semata, ia pun beranjak pergi. Sementara di sisi lain, Veronica mengelus dada. Hampir saja dirinya ketahuan. Tidak tahu bagaimana nasib jika tertangkap. Menakutkan pastinya.

Setelah dirasa aman, wanita itu kembali mengintip. Rupanya mereka telah sangat jauh dan melompat ke atap sebuah bangunan. Veronica pun lekas beranjak dari posisi dan berlari di bawah mengikuti kedua orang tersebut. Hingga setibanya di sisi kota Known yang agak sepi langkahnya berhenti.

Senyum seringai perlahan terukir. Iris amber-nya memantau dua orang yang masuk ke dalam sebuah rumah. "Jadi di situ tempat persembunyianmu ya." Dia tertawa licik seperti bukan Veronica biasanya.

avataravatar
Next chapter