22 Masih Memiliki Sisi Kemanusiaan

Bela menarik napas dalam dan membuang perlahan ketika pintu kamar terbuka. Manik matanya menatap ruangan yang didominasi dengan warna biru muda. Terasa menenangkan dan juga menyenangkan. Bahkan dia merasa jika kamar kali ini terasa lebih bersahabat dengannya dari pada kamar milik Naga.

Perlahan, Bela mulai melangkahkan kaki, semakin masuk. Manik matanya masih memperhatikan sekitar. Perabotan yang cukup lengkap meski hanya sekedari kamar tamu. Ranjang besar dan ada lemari kayu yang diletakkan tidak jauh dari ranjang. Ada juga dua nakas yang diletakan tepat kanan dan kiri ranjang yang terletak di tengah. Hingga senyum yang sejak tadi menghias bibir Bela memudar, membuatnya mengerutkan kening dalam.

"Gak ada sofa? Terus, aku tidur dimana?" tanya Bela dengan diri sendiri.

Tidak mungkinkan aku harus tidur di lantai, batin Bela sembari menelan saliva pelan.

"Kalau gak ada sofa, itu artinya kamu tidur di lantai, Bela."

Bela yang mendengar suara lain mulai memasuki kamar langsung berdecak kecil. Dia hanya diam, tidak mengalihkan pandangannya sama sekali. Pasalnya, dia sudah tahu betul siapa yang saat ini ada di belakangnya. Hingga Naga berhenti tepat di sebelah Bela.

Dia lagi, batin Bela dengan raut wajah masam.

"Ingat, Bela. Ranjang itu punyaku. Jadi, kamu harus tidur di lantai. Aku gak ma –"

"Gak usah dijelaskan," sela Bela dan menatap ke arah Naga dengan raut wajah malas. "Aku sudah mengerti dan sangat mengerti. Aku bahkan hafal dengan apa yang mau kamu ucapkan. Jadi, gak perlu diteruskan," tambah Bela. Kali ini dia mengulas senyum tipis yang jelas dipaksakan.

Naga yang mendengar hal tersebut langsung mendesah kasar dan mengalihkan pandangan. "Baguslah kalau kamu sudah hafal. Jadi, aku gak perlu memberitahu posisi kamu saat ini. Aku juga gak perlu menjelaskan kalau pernikahan ini gak akan berjalan dengan lama," kata Naga dengan tenang.

Nyeri. Itulah yang dirasakan Bela kali ini. Meski dia tidak memiliki hati dengan Naga, tetapi rasanya cukup sakit karena pernikahan yang dia harapkan bisa berjalan seumur hidup harus kandas. Bahkan wacana tersebut sudah ada sejak malam pertama mereka, membuta Bela yang awalnya berharap bisa membangun rumah tangga walaupun pernikahan mereka karena terdesak oleh keadaan pun memilih menutup hati. Dia tidak ingin merasakan luka yang lainnya. Hingga terdengar suara pintu tertutup, membuat Bela tersadar dari lamunan dan menatap ke arah pintu kamar mandi yang tertutup.

"Kamu harus kuat, Bela. Kamu pasti menemukan kebahagiaan kamu," gumam Bela, mencoba menguatkan diri sendiri.

Perlahan, dia melangkahkan kaki, menuju ke arah lain. Kali ini, dia tertarik dengan teras di kamar tamu. Dia membuka pintu pembatas yang terbuat dari kaca dan melangkah keluar. Manik matanya menatap taman buatan yang terlihat indah. Perlahan, kedua sudtu bibirnya tertarik, membentuk senyum manis. Hatinya sudah cukup membaik ketika melihat banyaknya hamparan bunga di depannya. Entah memang karena hal itu attau memang dia yang sudah terlalu terbiasa dengan ucapan sinis dan ketus sang suami. Bela tidak peduli sama sekali. Terpenting saat ini, dia harus tetap baik-baik saja.

Tahan sebentar, Bela. Naga sangat mencintai Kakak. Jadi, dia pasti akan berusaha mencari cara untuk menemukannya dan setelah itu tugas kamu selesai, ucap Bela dalam hati.

***

"Kalau saja bukan karena sandiwara pernikahan ini, aku pasti sudah memperotes semua tindakan kakak kali ini," gumam Naga dengan rahang mengeras dan raut wajah datar. Manik matanya masih menatap pantulan dirinya di depan cermin. Tangannya pun sedang asyik mengusap rambutnya yang basah, membiarkan dada bidangnya terlihat tanpa penghalang.

Hening. Naga masih asyik dengan kegiatannya. Hingga dia merasa jika rambutnya sudah mulai mengering, membuatnya meletakan handuk dan melangkah keluar. Hal pertama yang dicari adalah Bela. Dia tidak ingin jika wanita tersebut kembali membuat drama yang mengakibatkan dirinya dalam masalah. Kakinya terus melangkah dengan kedua mata yang terus mencari karena ruangan tersebut kosong. Sampai dia melihat Bela yang sudah berbaring di sebelah ranjang dan hanya beralaskan karpet tebal. Naga yang melihat Bela meringkuk hanya diam dan menatap lekat.

"Ternyata cukup sadar diri juga dia," gumam Naga dengan senyum sinis. Dia kembali melangkah. Namun, saat dia merasakan hawa dingin di kamar tersebut, Naga menghentikan langkah.

Apa dia gak kedinginan, batin Naga, sembari menatap ke arah Bela.

Sejenak, Naga hanya diam dan memperhatikan Bela yang terlihat tenang. Dia ingin memastikan jika wanita tersebut baik-baik saja. Meski dia sering kali berbicara ketus, tetap saja Naga masih memiliki hati nurani. Hingga dia melihat tubuh Bela yang sesekali menggigil, membuatnya berdecak kecil dan memutar bola mata pelan. Tangannya langsung meraih selimut dan menutupi tubuh Bela.

"Dasar menyusahkan," gerutu Naga ketika menutupi tubuh Bela.

Naga kembali melangkah ketika melihat Bela yang sudah nyaman. Dia langsung menuju ke arah ranjang, naik dan mulai berbaring. Kedua matanya mulai dipejamkan, mencoba meraih alam bawah sadarnya.

Namun, belum genap lima menit Naga mencoba tidur, hawa dingin berganti menyentuh kulitnya. Dia langsung membuka mata dan turun. Kakinya melangkah ke arah lemari, mengambil pakaian yang memang sudah dia siapkan sejak lama, berjaga jika dia menginap dan lupa membawa pakaian. Setelah selesai, manik matanya mengamati isi lemari, mencari selimut lain, tetapi sayangnya tidak ada sama sekali.

Ini pasti ulah kakak, batin Naga dengan raut wajah kesal. Dia langsung berbalik. Kali ini masih memasang raut wajah berpikir. Hingga dia mendesah kasar dan mempercepat langkah. Tujuannya hanya satu, ke arah Bela berada dan mengambil selimut yang dikenakan wanita tersebut.

Naga menghentikan langkah ketika berada di dekat Bela. Dengan cepat, dia mengambil selimut dan meletakan di ranjang. Kakinya mulai terangkat dan siap pergi, tetapi terhenti ketika melihat Bela yang juga merasa kedinginan. Hingga tanpa aba-aba, Naga menundukkan tubuh dan menggendong Bela, membuat Bela yang masih terlelap langsung mendekatkan tubuh.

Naga mulai meletakan Bela di ranjang dan melepaskan kalungan sang istri di lehernya. Namun, semua sia-sia karena nyatanya Bela malah semakin mengeratkan dekapan, membuat Naga yang sejak tadi berusaha memilih mengalah dan memutuksan berbaring di sebelah Bela. Dia sudah cukup lelah karena seharian bekerja. Jadi, dia tidak ingin semakin lelah karena harus bertengkar dengan Bela di saat sudah larut seperti kali ini.

Sedangkan di kamar lain, Chitra masih terus mengulum senyum, membuat sang suami semankin menatap lekat.

"Baby, kamu kenapa?" tanya Abri, sedikit takut dengan ekspresi istrinya kali ini.

Chitra yang mendengar menatap sang suami dan membuang napas pelan. "Aku gak kenapa-kenapa, Sayang. Aku hanya senang karena aku yakin malam ini Naga dan Bela tidur di ranjang yang sama," jawab Chitra sembari menunjukkan remote AC ke arah sang suami.

***

avataravatar
Next chapter