1 Prolog

HARI Itu, hari di mana aku terbangun dari pingsan. Aku agak lupa apa yang terjadi. Aku setengah sadar. Aku menengok ke kanan dan ke kiri, aku melihat lapangan yang sangat luas. Aku terbaring di tanah dengan sangat mengenaskan. Pakaianku compang-camping dan banyak luka disekujur tubuhku. Aku benar-benar lemah. Terdengar suara pesawat helikopter disana-sini. Ternyata ada lebih dari lima pesawat helikopter. Sekali lagi, aku menegok ke kanan dan ke kiri. Terlihat banyak orang berpakaian serba putih seolah tubuh mereka dibalut oleh kain warna putih juga memakai sepatu bot dan masker. Meskipun smar-samar karena mataku sangat silau dengan teriknya sinar matahari. Mereka sedang membopong banyak mayat yang dibungkus kantung berwarna kuning. Mayat itu diangkut menggunakan pesawat helikopter. Tubuhku tidak bisa kugerakkan. Aku hanya bisa menggerakkan kedua bola mataku dan sedikit menggerakan leherku. Bicarapun sangat sulit, meskipun, aku sudah berusaha sekuat tenaga. Sepuluh menit sudah aku sadar, aku mulai merasa tubuhku semakin sakit. Mungkin luka-luka di sekujur tubuhku mulai terasa setelah beberapa saat setelah aku sadar.

Meskipun aku sadar, tapi mereka tidak menghiraukanku sama sekali. Mereka sibuk mengangkut mayat-mayat. Pesawat helikopter silih bergantian mendarat dan lepas landas. Aku mencoba mengingat-ngingat apa yang terjadi sebelumnya. Tapi, kepalaku malah tambah sakit. Sepertinya kepalaku terbentur sesuatu sesaat sebelum aku pingsan. Aku mencoba menengok lagi ke kanan dan ke kiri. Mereka masih tetap sibuk mengangkut mayat. Aku melihat dua orang (yang juga memakai pakaian serba putih) dari kejauhan membopong mayat yang belum dimasukkan kedalam kantung mayat. Mayat itu memakai celana panjang coklat, jaket kulit tipis dan sepatu khusus seperti sepatu untuk mendaki gunung. Mereka berdua melewatiku dan aku melihat wajah mayat itu. Sekilas aku kenal dengan mayat itu. Wajahnya, rambutnya yang lurus, alisnya yang hampir menyatu. Ya, aku kenal dia. Dia adalah teman sepermainanku, Ruhdi. Dia tidak terlalu parah sepertiku. Seketika aku mulai ingat semuanya saat aku menatap wajahnya. Awal dari semua kejadian ini, aku ingat semuanya. Aku mencoba memanggil temanku itu, aku tahu dia belum mati. Dia masih bernafas, dan aku sangat yakin itu. Aku mencoba sekuat tenaga untuk memanggilnya tapi sia-sia. Air mataku mulai mengalir. Aku mulai takut dan cemas dengan keadaan dia. Aku berdo'a kepada Allah semoga dia selamat. Mulutku mulai menganga-nganga sekuat tenaga memanggil namanya. Kedua orang itu meletakkan tubuhnya di tanah sama sepertiku. Aku mulai lega, berarti dia belum mati. Jaraknya sangat jauh dariku.

Aku mencoba mendekatinya dengan sekuat tenaga dan hanya mengandalkan kedua tanganku saja (karena kedua kakiku tidak sanggup berdiri lagi). Aku terus merangkak mendekatinya. Rasanya sangat lama sekali dan orang-orang berpakaian serba putih terus lalu lalang begitu juga dengan helikopter. Sesaat aku istirahat sebentar untuk memulihkan tenaga. Rasanya badanku mau hancur. Tulang-tulangku rasanya banyak yang patah. Aku sudah tidak sanggup lagi mendekati Ruhdi. Aku hanya berbaring ditanah dan menunggu ada yang memberikan pertolongan.

Aku memejamkan mata. Rasanya aku mulai kehilangan kesadaran. Lalu terdengar suara dua orang pria.

"Bagaimana keadaannya?". Tanya salah seorang pria.

"Orang ini masih hidup". Kata pria satunya.

"Baiklah bawa mereka ke pesawat".

"Baik".

Entah apa yang terjadi, tapi saat aku sadar, aku sudah berada disebuah ruangan dengan dua orang pria tadi. Di luar ruangan, terdengar banyak sekali derap langkah kaki. Aku melihat bayangan mereka di jendela pintu sedang lalu lalang sangat sibuk sekali.

Samar aku melihat dua pria tadi dengan memakai pakaian warna hijau.

"Bagaimana keadaanmu?". Tanya salah seorang pria yang paling kanan

Aku hanya mengangguk yang berarti aku baik-baik saja. Lalu aku menengok ke kiri dan ke kanan untuk mencari temanku. Aku harap dia baik-baik saja.

"Mencari temanmu?". Tanya pria yang paling kiri.

Aku mengangguk lagi.

"Jangan khawatir. Dia akan baik-baik saja. Sekarang, kami akan melakukan operasi terhadapmu. Lukamu banyak sekali dan juga tulangmu banyak yang patah"

Pandanganku mulai kabur. Mungkin efek dari obat bius. Sebelum aku memejamkan mataku, perlahan-lahan ingatanku mulai pulih dan mengingat semuanya. Aku ingat kenapa kami bisa berada di sini. Itu semua berawal dari malam itu. Ya, malam itu. 'Malam yang terburuk dalam hidupku'.

avataravatar
Next chapter