1 Penyamaran

Panggung megah berdekorasai bak istana dengan nuansa mewah serta elegan mendominasi ruangan besar di salah satu gedung pencakar langit tengah kota metropolitan, tempat dimana acara penghargaan untuk para pengusaha sukses Indonesia.

Sudah tertata rapi kursi-kursi mahal untuk para kategori menunggu giliran, serta terdapat penyanyi-penyanyi top yang mengisi acara. Namun, ada juga pengusaha muda yang enggan menghadiri acara tersebut.

"Kau yakin akan meninggalkan acara penganugerahan gelar tahun ini?" Seorang pria berjas hitam dilengkapi dengan alat komunikasi ditelinga berdiri tegak di belakang pria gagah lainya.

Jas biru navi yang tergeletak pada sofa diraih oleh tangan kekar dengan satu terikan. Kemudian dipakainya dengan menghadap pada cermin besar yang menyatu pada lemari yang terancang menyatu dengan dinding. Simple dan elegan terkesan pada ruangan besar tersebut serta pemiliknya.

"Jika itu lebih baik, kenapa tidak?" ucap Sultan seraya membenahi setelan jas navi yang baru saja diambilnya .

Tubuh tegap—altetis tercetak dengan epik di dalamnya raga lelaki itu. Mata yang minimalis dengan iris hitam pekat serta rambutnya yang beragaya tradisional layered undercut menambah aura maskulin padanya.

"Lalu kau akan membiarkan mereka menang tanpa perlawanan?" Alvon kaki tangan Sultan tentu tidak ingin membiarkan para pesaing tuannya menang semudah itu.

Surai panjang sebelah kanan terangkat seiring pergerakan memutar tubuh menghadap Alvon. "Dengar, ada yang lebih penting daripada penghargaan receh seperti itu! jangan bersikap seolah-olah kau haus akan pujian, tapi bersikaplah seperti orang yang sudah lelah mendengar pujian. Bukan tidak mungkin mereka menjadi semakin penasaran dengan apa yang akan kita lakukan."

Alvon mengangguk mendengar setiap kalimat yang terucap oleh tuannya. Kaki jenjang kokoh melangkah mendekati jendela besar yang menghadap ke jalan raya perkotaan yang penuh akan kendaraan baik bermotor atau tidak bermotor.

"Mereka harus membayar mahal untuk kematian ayahku!"

***

Banyuwangi, 2007

"Heh, kamu mau kerja atau mau apa? kenapa masih banyak kopi yang masih tertinggal?!" bentak pria paruh baya dengan kasar.

Lelaki yang menjadi sasaran dari Surya terdiam, sorot mata tajam serta rahang yang menguat—menandakan betapa api sudah membara dan membakar hati Sultan.

'Jika kau bukan pamanku, mungkin sekarang kau sudah menjadi pengemis, Surya!' batin Sultan tanpa menoleh ke arah Surya.

"Maaf, Pak, saya akan lebih teliti lagi." Sultan menjauh dari Surya. Menghadapi seorang keras kepala dan angkuh tidak akan ada habisnya, akan lebih baik Sultan fokus dengan tujuan utamanya.

"Dia bersikap seperti itu seolah-olah pemilik perkebunan ini, dasar penjilat!" rutuk Sultan dengan suara penuh amarah.

Bakul yang digunakan untuk wadah kopi yang dipanen di tenteng begitu saja dengan satu tangan, otot-ototnya merambah keluar. Sultan benar-benar terjebak dalam amarah yang menguasai dirinya.

"Tuan!" Mendadak Alvon berlari menghampiri Sultan yang masih dikuasai oleh amarah.

"Informasi apa yang kau dapatkan?" Alvon dan Sultan bersamaan melihat sekelilingnya untuk memastikan tidak ada orang lain selain mereka.

"Pemasukan dari pabrik sebenarnya memang ada yang sengaja menyabotase sehingga keuangan pabrik setiap bulannya berkurang," jelas Alvon.

"Sial, pasti ini semua ulah Surya dan putranya!" geram Sultan seraya mengayunkan tangan ke pepohonan kopi dan memukulnya.

"Apa uang hatus kita lakukan selanjutnya?"

"Kau cari bukti yang memberatkannya, jangan sampai keparat itu lolos dari jerat hukum. Dia sudah membuat ayah masuk rumah sakit, aku tidak akan membiarkan dia bisa hidup tenang. Apalagi jika terjadi sesuatu pada ayah." Emosinya membara, kesalahan yang dilakukan bapak dan anak itu memang sungguh keterlaluan.

Surya adalah adik dari Bayu, yakni ayah Sultan. Dari awal kesuksesan yang diraih ayahanda Sultan Surya selalu mengusik dan ingin menyainginya. Bahkan dia masuk ke dalam perubahan milik Bayu untuk menyabotasenya.

Tapi, sayang. Tidak cukup bukti untuk menyeret laki-laki paruh baya itu ke dalam jeruji besi. Semenjak Bayu masuk rumah sakit akibat serangan jantung, Sultan semakin gencar melakukan tindakan penelusuran terkait korupsi yang dilakukan Surya.

Dengan menyamar sebagai pegawai di perkebunan, akan mempermudah proses penyelidikan yang dia lakukan bersama Alvon. Meski harus berjibaku dengan lumpur dan berbagai jenis kotoran lainnya demi mengungkap kejahatan yang dilakukan pamannya.

Susah payah Sultan beradaptasi dengan lingkungan barunya, bahkan sesekali dia harus terjatuh oleh belukar liar yang merambat di area jalan yang dilewati.

Saking fokusnya terhadap pekerjaan barunya yang mengharuskan bekerja lebih giat lagi, Sultan tak menyadari keberadaan seorang pegawai lain yang juga memetik kopi.

Brugh!

Alhasil bakul yang berisikan kopi-kopi matang terjatuh dan berhamburan menimpa tanah yang agak becek akibat sisa air hujan semalam yang mengguyur. Dengan begitu menambah nuansa lembab pada perkebunan kopi tersebut.

"Maaf, Pak, saya tidak sengaja," ucap orang yang bersenggolan dengan Sultan, dari suaranya jelas dia seorang wanita muda.

Lantas, Sultan menatap lekat tubuh gadis mungil yang tingginya tidak melebihi bahu Sultan sendiri.

"Kau pegawai baru?"

"Iya, saya menggantikan ibu yang sedang kurang enak badan," jawab Mentari, matanya tetap setia melihat tanah datar yang ditumbuhi rerumputan.

"Pantas saja, saya baru melihatmu."

Sekali pun Mentari tak goyah, netranya enggan menatap pria di depannya. Meski dengan pakaian lusuh dan wajah kotor terkena lumpur, ketampanan Sultan masih sangat terlihat. Namun, tidak menggoda gadis mungil itu.

"Pekerjaan saya masih banyak, saya permisi dulu," ucap Mentari, matanya menatap singkat wajah lelaki muda tersebut. Kemudian, dia pergi tergopoh-gopoh.

"Ah, aku belum sempat bertanya siapa namanya," sesal Sultan.

Bibirnya menyeringai lebar, ada pemikiran baru saat melihat gadis berambut cokelat kehitaman yang dikuncir satu itu.

'Dia pasti tahu sedikitnya tentang perkebunan ini, aku harus memanfaatkannya,' pikir Sultan sambil memungut kopi yang berceceran.

***

Esoknya, Sultan kembali ke perkebunan ditemani kaki tangan setianya Alvon. Perkebunan kopi yang letaknya di bawah kaki gunung, sepanas apapun terik sang surya menembus rimbunan pepohonan tidak berpengaruh terhadap suhu—dingin dan lembab.

"Kemarin aku melihat seorang gadis di perkebunan, kau tahu siapa dia?" tanya Sultan sambil terus mengambil buah kopi yang berwarna merah.

"Seorang gadis?" Alvon berpikir dan mencoba menyelami benaknya untuk mengingat kembali. "Seingatku dulu ada gadis kurang lebih seusia kita bukan di sini?"

Seketika itu Sultan menghentikan gerakan tangannya yang sedang memetik kopi. Kemudian, dia melihat ke arah Alvon.

"Ya, aku ingat. Kira-kira 10 tahun lalu ...." Matanya memandang kosong, Sultan berusaha mengingat kembali masa-masa itu. "Namanya Men—"

"Mentari, nama dia Mentari!" cetus Alvon dikala Sultan masih memikirkan nama gadis yang tidak sengaja dia tabrak.

Sultan menerawang jauh ke depan, benaknya semakin liar. Ia sebisa mungkin memanfaatkan setiap cela yang ada untuk mengungkapkan kejahatan yang dilakukan oleh pamannya dan sepupunya yang sudah membuat ayahnya tergeletak lemas di ranjang pesakitan.

"Dia harus bisa membantu kita membongkar kebusukan yang dilakukan Surya dan Zico!"

Bersambung....

avataravatar