1 Maaf

Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam. Pengusaha muda kita yang tampan baru saja pulang dan turun dari mini cooper kesayangannya. Badannya terasa remuk. Lemah, letih, lesu, lunglai, semuanya ia rasakan. Baru kali ini ia merasa sangat lelah menghadapi pekerjaan yang begitu menumpuk. Sebenarnya pekerjaannya masih banyak, Gavin bisa saja lembur malam ini tetapi kesehatannya lebih penting dari apapun. Daripada ia paksakan dan jatuh sakit, lebih baik ia kerjakan esok hari.

"Kakak!"

Gavin berbalik dengan malas ketika mendengar suara sang adik dari belakangnya. Dilihatnya Teesha yang baru saja masuk ke dalam gerbang tersenyum ceria. Gavin mengangkat sebelah alisnya heran ketika Teesha berjalan ke arahnya sambil tertawa bahagia. Ia sedikit heran, kemarin adiknya masih terlihat galau setengah mati dan sekarang ia sudah ceria lagi seperti dulu.

Apa yang terjadi? Apa kegalauan nya yang berlarut-larut itu sudah merusak sebagian fungsi otaknya?

Gavin menyingsingkan kemeja kantornya, melirik jam tangan mewahnya sebelum melontarkan protes pada Teesha, "Habis darimana ka—"

"Sssttt..." Teesha menempelkan telunjuknya di bibir Gavin, menghentikan ocehan Gavin yang Teesha yakin tidak akan berakhir dengan cepat.

"Tolong simpan kemarahanmu untuk nanti tuan muda Sanjaya. Mood aku lagi bagus nih. Untuk kali ini, biarin aku masuk dengan tenang ya, Kak."

Gavin semakin tidak mengerti apa yang sudah terjadi pada adiknya. Teesha masih tersenyum, bahkan kini gadis itu melangkah masuk rumah mendahului Gavin sambil bersenandung senang. Mau tak mau Gavin pun ikut tersenyum. Ia bersyukur adiknya sudah kembali ceria seperti dulu lagi.

Apapun atau siapapun yang sudah membuat Teesha tersenyum lagi, ia mengucapkan terima kasih banyak.

Teesha pun begitu. Ia sudah bertekad, mulai besok ia akan memulai semuanya kembali dari awal.

.

.

Masih pagi dan e-mail dari kantor sudah berderet manis di ponselnya. Gavin memeriksa e-mail itu satu persatu sambil menunggu adik perempuannya yang belum juga turun. Gavin melirik jam yang muncul di layar ponselnya, menunjukan waktu sudah pukul setengah tujuh pagi.

Pengusaha muda kita ini sudah menyelesaikan sarapannya sepuluh menit yang lalu dan sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Sedangkan Teesha belum juga menunjukan batang hidungnya. Kemana gadis karamel itu? Apa dia tidak akan berangkat sekolah? Biasanya ia yang paling cerewet jika menyangkut waktu berangkat.

Sementara itu di lantai atas, Teesha sedang sibuk menyiapkan buku pelajaran dan juga segala keperluan sekolahnya. Buru-buru ia memakai sepatu, rambutnya pun ia ikat asal karena ia sudah sangat terlambat untuk pergi ke sekolah.

Salahkan jam dinding yang kembali mati, juga ponselnya yang kehabisan baterai sehingga gadis karamel ini bangun kesiangan.

"Teesha! Kamu mau berangkat jam berapa? Udah hampir terlambat nih!" Terdengar suara Gavin yang berseru dari lantai satu. Dengan cepat Teesha menyambar tasnya dan berlari menuju pintu kamar.

TAK!

GUBRAK!

TUK!

BRAK!

Gavin mengernyit ketika mendengar suara gaduh dari lantai atas. Ia penasaran dengan apa yang terjadi diatas sana. Tetapi sebelum Gavin melangkah naik, Teesha sudah turun terlebih dahulu dengan penampilan yang sedikit acak-acakan.

"Ayo berangkat, Kak! Aku udah terlambat!" Teesha berjalan mendahului Gavin yang masih mematung di tempat, memperhatikan penampilan adiknya.

Teesha berbalik ketika dirasakannya Gavin tidak juga melangkah, "Kakak nunggu apalagi?"

"Sarapan dulu sana."

Teesha menunjuk jam tangannya, "Ga ada waktu, Kak. Udah jam segini. Aku udah terlambat banget ini."

Gavin melipat tangan di dada, "Sarapan, Teesha. Atau kita ga akan berangkat." Ancam Gavin yang membuat Teesha berdecak sebal sambil berlari menuju ruang makan.

Gavin masih berdiri bersender pada pegangan tangga menunggu adiknya yang tak lama kemudian datang sambil membawa satu kotak bekal makanan dan juga satu kotak susu cokelat kemasan di tangannya.

"Ayo berangkat, aku makan di jalan aja."

Gavin menghela nafas panjang dan beranjak keluar rumah, diikuti Teesha dengan ketidaksabarannya yang tinggi.

.

.

Setelah berpamitan pada Gavin, Teesha yang menyadari dirinya terlambat buru-buru turun dari mobil. Gadia itu berlari secepat mungkin menuju gerbang sekolah yang untungnya belum di tutup. Teesha memelankan laju larinya ketika ia melihat seseorang yang sangat ia kenal tengah berdiri di depan pintu masuk gedung sekolah, memegang sebuah buku catatan yang Teesha tahu fungsinya untuk apa.

Sebenarnya Teesha memang ingin memperbaiki hubungan pertemanannya dengan William hari ini, tetapi ia tidak menyangka harus secepat ini bertemu dengan pangeran es itu.

Teesha berjalan pelan. Jantungnya terus berdetak kencang, entah kenapa ia sangat gugup berhadapan dengan William. Ia bingung harus memulai pembicaraan yang bagaimana nanti dengan William.

William berhenti menulis ketika ia menyadari ada seseorang yang berdiri di hadapannya. Pria dingin itu melirik sekilas dan kembali memfokuskan dirinya pada catatan yang ia pegang setelah ia tahu siapa yang ada di hadapannya. Tanpa bicara apapun, William berjalan mendahului Teesha menuju ruang OSIS dan Teesha tahu jika ia harus mengikuti William untuk mendapatkan sanksi atas keterlambatannya kini.

Sepanjang perjalanan sampai di ruang OSIS tidak ada diantara mereka berdua yang memulai percakapan. Mereka berdua terlihat seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal, persis seperti saat pertama kali mereka bertemu. Bukankah saat pertama masuk sekolah Teesha juga berhadapan dengan William karena ia terlambat?

Teesha tidak tahu William merasakannya juga atau tidak tapi sungguh, keheningan ini membuatnya sangat tidak nyaman. Apalagi kini hanya ada mereka berdua di ruangan OSIS.

"Emm... Wil..." Teesha membuka pembicaraan diantara mereka. William masih sibuk menulis sesuatu di buku sanksi milik Teesha.

"Aku..." Teesha kembali membuka suara meskipun ia sedikit ragu karena William tidak juga menghiraukannya. Sepertinya pria itu masih marah padanya.

Teesha menghela nafas panjang, "Aku mau minta maaf."

Dan perkataan Teesha kali ini membuat William menghentikan kegiatan menulisnya. Ia masih memfokuskan pandangannya pada buku catatan, tetapi alat pendengarannya terbuka lebar menunggu perkataan Teesha selanjutnya.

"Maaf udah ngebentak dan ngusir kamu tempo hari. Maaf juga kalau ada omongan aku yang ga enak buat kamu. Aku tahu sih, ga seharusnya aku bersikap kekanak-kanakan kayak kemarin cuma gara-gara masalah kecil kayak gitu yang bikin pertemanan kita merenggang." Teesha menunduk dalam, tidak berani menatap William yang juga sedang menunduk.

William masih juga terdiam tidak menanggapi perkataan Teesha. Tetapi percayalah, aku melihat ada senyuman tipis yang menghiasi bibirnya!

"Soal perjanjiannya..." Teesha kembali melanjutkan, kali ini ia mengangkat kepalanya dan memandang William yang masih menatap buku sanksi milik Teesha.

"Aku mau ngucapin terima kasih banyak sama kamu karena selama ini udah bantuin aku. Sekarang, kamu ga perlu pusingin lagi, Wil. Kamu ga perlu kerepotan lagi harus pura-pura jadi pacar aku di depan keluarga aku, soalnya aku udah ngasih tahu mereka kalau kita udah ga ada hubungan apa-apa lagi." Teesha berusaha tersenyum.

"Aku harap kita masih bisa temenan kayak dulu, Wil." Teesha mengulurkan tangannya, berniat untuk mengakiri perang dinginnya dengan William.

Pria itu mengangkat kepalanya, menatap Teesha dengan tatapan tajamnya seperti biasa. Ia tidak mengatakan apapun, tidak juga membalas jabat tangan Teesha. William menutup buku sanksi milik Teesha, berdiri dari tempat duduknya dan beranjak meninggalkan Teesha yang masih terdiam di ruang OSIS.

Teesha kembali menarik tangan lalu mengendikan bahunya. Teesha tidak terlalu memusingkan sikap William yang tadi. Ia pikir, mungkin William masih marah padanya dan butuh waktu untuk berpikir. Ya biarkan sajalah, toh Teesha juga sudah meminta maaf. Mau William memaafkannya atau tidak, itu urusan pria itu.

.

.

To be continued

Hai, si galau ini balik lagi 🤣 kira-kira masih ada yang baca cerita ini gak ya?

Yang belum baca season 1, bisa DM aku di instagram @Nympadoraaa ya. Nanti aku kasih~

Terima kasih~

avataravatar
Next chapter