32 Bertemu Juga

"Agak ke kanan sedikit." Gavin memberikan arahan kepada adiknya yang sedang berdiri di pinggir pantai sambil berpose. Disaat yang lain masih tertidur pulas, kakak beradik ini sudah terlebih dahulu membuat konten untuk di upload di sosial medianya masing-masing.

Baju pantai bermodel terusan berwarna putih yang Teesha kenakan berkibar tertiup angin pagi. Dengan latar pantai dan juga cahaya matahari yang terbit membuat foto yang mereka ambil menjadi lebih aestetik.

Teesha dan Gavin sampai sejak pukul tiga pagi. Mereka sempat beristirahat dan tidur dalam mobil selama perjalanan membuat mereka cukup segar menyambut sunrise di pinggir pantai. Bersyukur Gavin pergi kesini dengan membawa dua supir pribadi keluarganya, karena jika tidak mungkin ia tidak akan bisa mendapatkan foto berlatarkan matahari terbit seperti ini.

Teesha dan Gavin meninggalkan pantai pukul delapan pagi dan bergegas kembali ke hotel untuk sarapan. Rencananya Teesha akan kembali lagi ke pantai sore nanti untuk sunset.

TIN! TIN!

"Sialan!" Dua orang remaja yang mengendarai sepeda motor membuat William mengeluarkan umpatan di pagi hari karena mereka yang menghalangi jalan.

William membanting setir dan menyalip dengan tidak sabaran sambil terus menekan klakson mobil milik kakaknya.

William melirik sang kakak dari cermin depan. Ia berdecih ketika melihat Adriell yang sepertinya sama sekali tidak terganggu dengan kebisingan yang terjadi di jalanan. Pria itu masih tetap pada posisi semula meskipun terlihat beberapa kali bergerak kecil untuk menyamankan posisinya.

Kekeras kepalaan sang kakak benar-benar membuat William kesal setengah mati. Jika Adriell mendengarkan saran William untuk membawa salah satu supir pribadi mereka, tidak mungkin William berakhir dengan mengendarai mobil sang kakak. Tidak kah ia tahu jika William sempat kesulitan mengendarai mobil dengan body besar milik Adriell ini?!

Sebenarnya William enggan untuk mengendarai mobilnya. Tetapi Adriell yang tertidur pulas dan sulit dibangunkan membuat William terpaksa mengambil alih kemudi. Jika bayangan wajah sang ayah tidak terlintas di kepalanya, mungkin William sudah menyeret sang kakak keluar dari mobil dan meninggalkan pria itu di rest area sebelumnya.

Apanya yang ingin melihat sunrise, sudah hampir jam sembilan begini dan Adriell masih bersantai di alam mimpinya.

William membuka kaca mobil ketika ia memasuki gerbang menuju pantai. Suara deburan ombak dan juga suara tawa para pengunjung terdengar saling bersahutan. Ia merasa sangat lelah dan ingin segera beristirahat. Perutnya juga sudah berbunyi sejak tadi minta di isi.

Hal pertama yang ia lakukan adalah mencari tempat yang pas untuk menurunkan sang kakak sebelum ia pergi ke hotel. Adriell harus diberi sedikit pelajaran karena sudah merepotkan William.

CKIIITTT!

BRUK!

"Aduh!" Adriell berguling jatuh dari kursi penumpang ketika William menginjak rem secara mendadak. Pria itu kemudian bangun sambil memegang pundaknya yang terasa nyeri.

"Astaga aku mimpi kita tabrakan." Ucap Adriell masih dalam keadaan belum sadar sepenuhnya.

William memutar matanya, "Bangun. Kita udah sampai."

"Huh?" Mata Adriell menyipit, mencoba membiasakan cahaya yang masuk ke retinanya, "Udah sampai?"

William membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil, meninggalkan sang kakak yang masih mencoba memproses apa yang sedang terjadi. Suara deburan ombak yang terdengar merdu di telinganya membuat Adriell tersadar seratus persen. Mereka benar-benar sudah sampai!

"William!" Adriell buru-buru turun dari mobil, menghampiri sang adik yang tengah bersender di depan mobil, "Kamu nyetir sendirian sampai sini?! Kenapa kamu gak bangunin aku?!"

William memandang kakaknya datar, "Membangunkan kakak dengan cara halus, udah aku lakukan. Membangunkan kakak dengan cara kasar, juga udah aku lakukan. Cara yang bagaimana yang bisa bikin kakak bangun dari mimpi indah kakak?"

Adriell menyengir kuda menjawab pertanyaan sang adik. Ia bahkan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Adriell jadi merasa bersalah pada William karena telah membiarkan adiknya yang masih duduk di bangku SMA itu menyetir mobil di jalanan berliku seperti tadi. Adriell bersyukur mereka masih hidup karena seingatnya, William belum pernah membawa mobil di jalanan berliku seperti ini.

Setelah mengucapkan terima kasih kepada sang adik, anak sulung keluarga Jaya berumur dua puluh tujuh tahun itu berlari menuju pantai sambil melompat-lompat seperti anak kecil. William terlalu malas untuk menegur sang kakak. Ia kemudian mengecek aplikasi peta di ponselnya dan segera pergi setelah mengetahui dimana lokasi hotel yang telah dipesan Adriell, meninggalkan sang kakak yang tengah asyik sendiri berlarian di pinggir pantai.

.

.

Teesha dan Gavin masih diduk di pojok restaurant hotel sambil menikmati beberapa menu sampingan yang disediakan. Buah melon dan semangka yang dipotong kecil-kecil menemani Teesha yang tengah sibuk memilih foto mana yang harus ia unggah di akun media sosialnya. Gadis itu sesekali melirik sang kakak yang duduk dihadapannya sambil berdecak kagum. Hasil jepretan Gavin memang tidak perlu ditanyakan lagi.

"Aku mau istirahat." Gavin menutup laptop yang sedari tadi ia pandangi dengan serius, "Kamu udah selesai, Teesha?"

Teesha menggeleng, "Kakak duluan aja. Aku masih mau menghabiskan ini." Ia menunjuk piring yang penuh dengan buah-buahan.

"Okay. Kamu udah pegang kunci kamarnya kan?" Teesha mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Gavin, "Kalau gitu, sampai ketemu nanti malam. Jangan ketuk kamar aku kalau bukan hal penting. Aku mau tidur seharian."

Teesha terkekeh, "Iya. Selamat istirahat, Kak!"

Teesha melambaikan tangan sampai Gavin menghilang dari pandangannya dan kembali sibuk memilih foto-foto di galeri ponselnya. Sebenarnya Teesha juga merasa lelah karena perjalanan dan juga kegiatannya tadi pagi. Hanya saja ia masih ingin menikmati waktu yang jarang sekali terjadi ini lebih lama.

"Selamat pagi." Sapa salah satu staff restaurant menyambut pengunjung yang baru masuk dengan ceria. Setelah memberikan kupon sarapan yang diberikan hotel saat check in, mereka pun masuk dan mulai memilih makanan yang sudah tersedia.

Teesha terdiam beberapa saat ketika dirinya menangkap sosok seseorang yang sangat ia kenali. Ia menyipitkan kedua matanya, memastikan kembali jika ia tidak salah lihat.

"William?"

Pria itu melepas dan menyimpan jaket yang ia kenakan dengan kasar. Wajahnya terlihat begitu kesal. Niatnya ingin langsung beristirahat di dalam kamar karena lelah menyetir berjam-jam harus sirna karena ia tidak mendapatkan kunci kamar. Ia tidak bisa check in sebab Adriell yang memesan kamar hotel, jadi untuk bisa masuk diperlukan kartu tanda pengenal milik Adriell. William jadi merasa bodoh karena tidak memikirkan hal itu dan meninggalkan sang kakak di pinggir pantai.

TAK!

Segelas susu dan juga sepotong roti selai cokelat tiba-tiba tersedia di hadapan William. Pria itu menengadah dan sedikit terkejut ketika melihat Teesha yang kini berdiri di hadapannya.

"Ternyata beneran kamu, Wil. Aku kira aku salah lihat tadi." Gadis itu kemudian duduk di hadapan William, "Ga ada roti isi daging disini. Aku tahu kamu gak suka yang manis, tapi coba dulu aja."

William tidak menyangka akan bertemu dengan Teesha secepat ini. Dan ia juga tidak menyangka ternyata mereka satu hotel. Ini memudahkan jalan William untuk mendekati Teesha, jadi ia tidak perlu repot-repot berkeliling seluruh area pantai untuk menemukan Teesha.

Teesha menopang dagunya melihat William yang sedang menikmati sarapannya, "Kok kamu bisa ada disini, Wil?"

"Ada acara kolega ayah. Kakak ku maksa aku ikut."

Huh? Bagaimana, Wil? Aku tidak salah dengar? Bukankah kau yang menawarkan diri secara sukarela untuk ikut dengan Adriell?

Teesha mengangguk mengerti, "Kayaknya kita ada di satu acara yang sama."

"Hn." William tidak banyak bicara, ia masih sibuk menyantap sarapannya. Meskipun William tidak suka sesuatu yang manis, tapi roti dengan selai cokelat yang dibuat Teesha terasa enak di mulutnya. Ah, ternyata memang benar, cinta bisa membuat semuanya terasa lebih baik. Bukan begitu, William?

"Myria."

"Hm?"

"Kamu ada acara nanti siang?"

Teesha menggeleng, "Nggak."

"Mau jalan-jalan di pantai?"

"Boleh."

"Kalau gitu—"

"Dasar adik kurang ajar!"

"Aw! Aduh-duh!"

Teesha refleks berdiri ketika seorang pria seumuran kakaknya tiba-tiba datang dan menjewer telinga William. Pria itu terus melontarkan sumpah serapah pada William yang kini sedang kesulitan menyingkirkan tangan pria dewasa itu dari telinganya.

"Tega-teganya kamu ninggalin kakak di pinggir jalan. Apa jadinya kalau kakakmu satu-satunya ini diculik orang, huh?!"

Teesha mengerutkan dahinya. Kakak? Oh, jadi dia kakak William. Mereka memang terlihat mirip sih.

"Lepas, Kak!"

Adriell tidak menghiraukan permintaan William, "Kamu tahu seberapa jauh jarak antara hotel dan tempat kamu ninggalin aku? Kamu tahu kan seberapa lelahnya menyetir dari rumah sampai sini? Kamu malah enak-enakan makan dan—" Adriell beralih memandang Teesha, ia ikut tersenyum ketika Teesha melemparkan senyuman manis kepadanya, "Dan kamu malah sibuk kenalan sama perempuan."

"Tck!" William menepis tangan Adriell dari telinganya. Ia melemparkan deathglare andalannya kepada sang kakak yang kini masih memandang Teesha.

"Kayaknya aku pernah lihat kamu."

Teesha masih tersenyum, "Aku teman sekolahnya William, Kak."

"Ah, ya..." Adriell mengangguk, "Pantas wajah kamu gak asing."

Adriell kembali beralih pada William, "Ayo, aku butuh bantuan buat bawa barang-barang bawaan kita."

"Kita?" William mendelik, "Itu semua barang-barang milikmu, aku hanya—"

Adriell buru-buru membekap mulut William sebelum adiknya itu mengatakan sesuatu yang tidak penting di hadapan orang lain. Dengan cepat ia pamit kepada Teesha dan menyeret adiknya keluar dari restaurant, meninggalkan Teesha yang masih berdiri mematung di tempatnya menyaksikan keabsurdan tingkah kakak beradik keluarga Jaya itu.

.

.

To be continued

avataravatar
Next chapter