webnovel

Lima

***

"Aku ingin minta bantuanmu tuan Vernon" Ujar seseorang itu.

"Apa? Ck.. Sudah ku bilang aku tidak mau berurusan dengan polisi" Lex berdecak kesal pada wanita itu.

"Boleh aku masuk sebentar? Ada hal yang harus ku bicarakan"

Lex berpikir sejenak, menimbang-nimbang bagaimana baiknya. Akhirnya ia putuskan untuk mempersilahkan wanita itu masuk karena semerbak emosi diluar pintunya seakan sudah melambai-lambai mengucapkan selamat pagi pada hidung bangirnya ditambah Lex tidak sempat memakai maskernya.

"Hhhhhh....baiklah, masuk" ujar Lex datar dengan mengerdikkan kepala kearah dalam rumahnya.

Wanita tersebut menurut dan masuk ke dalam, matanya menelusuri sekeliling rumah itu dengan Lex yang sudah berjalan membelakanginya menuju dapur diikuti wanita itu.

Rumah itu bahkan tidak terlihat selayaknya sebuah rumah, sampah bertebaran, baju-baju juga nampak tak pada tempatnya, botol-botol minuman energi berserakan di setiap sudut tempat itu.

'Dia bisa tinggal di tempat seperti ini?' Batin wanita itu.

Mereka kini sudah di dapur, diruangan bercat putih pudar termakan usia, piring kotor masih di sana, di sebuah wastafel kecil di sudut dapur. Lex memberikan segelas air putih yang ia ambil dari keran, memang air keran di Vellas layak untuk di minum hanya saja kebanyakan orang memilih membeli air mineral di banding harus minum langsung pada air keran, begitu pula wanita di hadapannya itu yang langsung mengernyit melihat suguhan sang tuan rumah untuk tamunya.

"Maskermu....??" tanya wanita itu heran dan tak berminat pada suguhan di depannya.

"Tak masalah, bau-bau itu tak bisa masuk sampai ke dalam rumahku". Jawab Lex enteng.

"Heh,..jadi itu benar-benar ada?" balas sang tamu sedikit sinis dengan sepenggal tawa geli di awal karena belum sepenuhnya yakin atas ucapan laki-laki ini.

"Tentu saja, aku tak mengarangnya. Kau satu-satunya orang yang ku beri tau selain ibuku. Dan itu karena terpaksa." Jawab Lex sedikit tersinggung.

"Lalu, kau tak mencium bau itu dariku?"

"Hmmm....tidak, aku juga heran. Apa kau tak pernah berbohong? Atau punya dendam?" Lex menanggapi dengan setengah tak percaya.

"Entahlah, aku jarang berinteraksi dengan orang lain" Jawabnya sambil mengerdikkan bahunya.

"Yaah...mungkin itu sebabnya" pungkas Lex mengambil kesimpulan.

Sang tamu hanya menganggukkan kepalanya sembari membuang mata ke sekeliling ruangan seolah menyatakan ia mengerti maksud Lex.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" sambung Lex tak sabar.

"Hhhmmmhh..." ia membuang napas pelan, merasa ragu untuk sekilas tapi kemudian memutuskan bicara.

"Aku butuh bantuanmu untuk memecahkan kasus, ikut denganku menemui saksi dan keluarga korban siapa tau bisa membuahkan petunjuk" ujarnya kemudian.

Lex menaikkan alisnya, merasa sedikit terkejut atas permintaan orang di depannya.

"Kau..apa? minta aku membantumu memecahkan kasus? kau gila?" Tukas Lex menunjukkan keengganan nya.

"Ya, mungkin aku memang sudah gila, tapi tak ada waktu lagi, aku harus melakukan segala cara agar bisa menangkap pelakunya sebelum korban bertambah."

"Itu urusanmu, jangan libatkan aku. Sudah ku bilang aku benci berurusan dengan polisi." Lex tetap dengan jawabannya.

"Haaah...kalau kau membantuku, akan ku kembalikan kartu identitasmu setelah ini selesai". Tawar wanita itu.

"Phfft...Hahahah...maaf tapi aku tak peduli dengan kartu itu, ambil saja untukmu"

Wanita itu mengernyit, menggigit bibir bawahnya sembari memikirkan dan menimbang-nimbang apa yang bisa di tawarkannya untuk laki-laki menyebalkan di hadapannya. Ini benar-benar mengesalkan untuknya karena harus membujuk orang lain untuk membantu, selama ini dia takkan pernah melakukan hal seperti ini. Malah ia yang biasanya dibujuk untuk membantu manangani kasus-kasus berat mengingat prestasinya selama ini.

Sialan! pikirnya.

"Baiklah! kalau kau bersedia, aku akan melakukan apapun yang kau mau" ujarnya seraya menggebrak meja dihadapannya.

Lex terdiam, memikirkan untung-rugi yang bisa ia dapatkan jika memutuskan untuk membantu. Ia menatap lekat pada manik kebiruan wanita di hadapannya. Dalam pikirannya ia bergumam bahwa orang di depannya ini bisa menjadi budak ideal untuknya, ditambah tak akan ada rugi bagi dirinya jika hanya menemui beberapa orang dan mendeteksi apakah kesaksiannya jujur atau tidak.

"Oke, aku akan membantu. Tapi pegang janjimu untuk melakukan apapun yang ku mau" Jawab Lex dengan seringai kemenangan di wajahnya.

"Hiss... Ya ya...baiklah" balas wanita itu seraya memutar bola matanya jengah.

"Oke! deal?!" Lex dengan semangat mengulurkan tangannya untuk berjabat.

"Deal!" sambung wanita tersebut sambil meraih uluran tangan Lex dan menjabatnya.

Lex terlihat sumringah lalu mulai beranjak menuju kamar hendak meneruskan tidurnya yang terganggu.

"Kalau sudah selesai pergilah, aku masih ingin tidur" ujar Lex sambil meregangkan badannya.

"Hei kau pikir kau mau kemana?! ikut aku sekarang juga!"

"Apa? sekarang juga? kau ingin aku melakukannya hari ini juga?"

"Tentu saja, kita tidak punya waktu lagi, cepat bebersih dan ganti bajumu sekarang, aku akan tunggu di sini".

"Haaaaiiih..... menyebalkan! Hei nona polisi, aku masih lelah sekali, kau benar-benar tak punya hati" Kesal Lex sambil menggaruk kasar rambut belakangnya tanda frustasi pada orang itu.

"Melva O'Connor" Jawab perempuan itu tanpa mengindahkan keluhan Lex.

"Apa?" Lex tak paham

"Namaku, Melva O'Connor, panggil aku Mel".

"Aah...yaa baiklah. Kalau begitu panggil aku Lex".

"Oke, cepatlah! kuberi kau waktu 5 menit!" perintah Mel sepihak.

"Aaakkhh!! Dasar menyebalkan!!" Sungut Lex tapi tetap berjalan menuju kamarnya untuk bersiap.

Mel menggelengkan kepalanya sebab tingkah pria aneh yang baru saja meninggalkannya, kemudian ia mulai melangkah mengelilingi rumah sempit itu sembari menunggu Lex selesai, ia memperhatikan setiap sudutnya yang terlihat kumuh dan tak terawat lagi.

Beberapa perabot sudah terlihat lama dan usang, bahkan sepertinya ada yang sudah rusak dan tak lagi bisa di pakai. Mel berhenti di depan sebuah nakas tempat hiasan-hiasan kecil diletakkan, terdapat dua buah bingkai foto disana menampakkan seorang perempuan muda bersama seorang bocah di sampingnya sedang tertawa lepas seperti tak ada beban. Bingkai lainnya menampakkan wanita itu lagi tetapi sudah terlihat sedikit menua tengah duduk di sebuah tangga bersama seorang lelaki muda yang ia tau itu adalah Lex.

"Wanita ini ibunya?" Mel bermonolog pada dirinya sendiri.

"Ayo cepatlah!" Lex keluar dari kamar dengan pakaian yang tidak bisa dibilang rapi hanya saja sudah lebih baik dari sebelumnya, dan sudah pasti masker andalannya tetap setia menghiasi setengah wajahnya.

Suara Lex membuatnya menoleh dan mengalihkan perhatiannya dari foto-foto itu.

"Tapi aku sangat lapar, bisakah kita makan lebih dulu?" Pinta Lex karena memang dia belum makan apapun dari kemarin.

"Oke, burger tak apa?" Tanya Mel

"Ya" sahut Lex sekedarnya.

--o0o--

Sepaket big cheese burger + Rooten (sejenis cola) sudah berada di tangan Lex dan siap untuk dilahap, kini mereka sudah berada di dalam mobil Mel yang meluncur diatas jalan raya menuju kediaman keluarga salah satu korban.

Mel melemparkan sebuah berkas ke pangkuan Lex yang duduk di kursi penumpang di sampingnya, membuat Lex hampir saja menjatuhkan burgernya yang berharga. Ia melirik jengkel pada wanita itu, tapi Mel tak peduli dan tetap menatap ke arah jalan di depan.

"Pelajari berkas itu, disana tertera profil dari para korban"

Mel berkata tanpa melihat orang yang ia ajak bicara dan hanya fokus menyetir.

Laki-laki itu bersungut kesal atas ulah perempuan menyebalkan di sebelahnya tapi tetap menurut dan membuka berkas tersebut dengan sebelah tangannya, sementara tangannya yang lain sibuk menyuapkan burger besar ke mulut. Di dalam mobil itu, Lex tidak mencium aroma emosi yang menggebu, hanya emosi datar milik Mel yang bisa dibilang berbau samar bagi Lex, membuatnya bisa membuka maskernya dan makan makannanya dengan nyaman.

"Hmm..?? Ini korban pertama?" Lex membuka suara seusai melihat ke dalam berkas di pangkuannya.

"Yup!"

"Gilaa...Apa ini?" Ucap Lex terheran.

Next chapter