7 Enam

"Gilaa...Apa ini?"

Mel menoleh sejenak pada laki-laki disampingnya untuk kemudian membuang pandangannya kembali ke arah jalan.

"Apanya?" Sahut Mel merespon pertanyaan dari pria muda itu.

"M-Matanya....." Lex menggantung komentarnya sebab perasaan ngeri.

"Pterygium total" ujar Mel

"Pte... Apa?" balas Lex bingung karena belum pernah bahkan tidak terbiasa mendengar istilah-istilah aneh seperti itu, yang dia tau hanyalah coding dan deretan algoritma penyusun kanal dunia maya yang kerap kali ia otak-atik sesuka hatinya.

"Pterygium total, selaput putih itu. iris matanya pun kehilangan pigmen seketika, seolah-olah mereka melihat sinar ultra violet yang intensitasnya sangat tinggi dari jarak dekat sesaat sebelum tewas"

Lex mengangguk-angguk seolah paham dengan penjelasan singkat yang sudah sangat disederhanakan oleh Mel agar Lex cepat mengerti.

"Ooh... Aku mengerti, lalu.... ini apa? luka tembakan?" tanya Lex seraya meletakkan jari telunjuknya pada gambar lubang di dada kiri dalam foto korban. Tangan Lex sejak tadi sudah terbebas dari burger besarnya sebab sudah tandas beralih ke dalam perutnya.

"Hmm...masih belum jelas itu apa, tak ada tanda bahwa itu adalah luka tembak. Ukuran lubang itu juga tak biasa, tak ada yang cocok dengan kaliber yang banyak dipakai di dunia, dan kalau itu luka tembak, dengan peluru sebesar itu, mustahil tidak menembus tubuh korban. Ditambah fakta dari beberapa luka lainnya yang mengindikasikan pelaku berjarak cukup dekat dengan korban, sudah pasti peluru akan menembus jantungnya jika itu berasal dari laras yang di todongkan, Dan lagi....."

Mel menggantung ucapannya seolah ia meragu sesaat sekaligus berpikir dalam-dalam membuat Lex semakin penasaran.

"Dan lagi?" Lex mem-beo tak sabar, tapi Mel hanya diam dan tak lagi merespon, ia seolah sibuk dengan pikirannya yang tidak dapat di terka oleh Lex apa yang sedang menari-nari di sel-sel otak Mel saat ini.

"Apa mungkin senjata Laser?" timpal Lex lagi dengan konklusi yang tak membantu. Mel melirik jengah pada Lex oleh sebab pertanyaan nya yang menggelikan.

"Kau ini kebanyakan nonton film sampai-sampai otakmu cetek" balas Mel pedas dan menghasilkan dengusan kasar Lex padanya.

"Ck... Mana kutahu! Memangnya ini pekerjaanku! Mengesalkan!"

Lex menyemburkan emosinya yang sudah diambang batas pada wanita di sebelahnya, tapi alih-alih membalas luapan emosi Lex, Mel malah tak bersuara dan fokus menyetir seolah tak terganggu dengan kedongkolan Lex.

Merasa tak ditanggapi, Lex memilih diam begitu pun Mel. Mereka terdiam cukup lama, tapi Lex masih penasaran dengan ucapan Mel yang tak diselesaikannya sesaat yang lalu.

"Tapi, apa yang tadi kau ingin katakan? Dan lagi....? Dan lagi apa? Ada apa dengan lubang ini?"

Mel masih diam, sesaat kemudian ia menjawab.

"Jantung mereka masih utuh tapi menghitam, tak ada anak peluru disana"

Jawaban Mel membuat pria di sampingnya itu menganga kaget, baginya yang seorang awam dalam hal kriminalitas dan kasus pembunuhan macam ini saja, hal-hal yang dikatakan Mel serta foto kondisi jenazah para korban sangatlah aneh dan tak masuk akal.

Jantung yang menghitam?

--o0o--

Rumah sederhana beratap rendah di daerah padat penduduk terlihat sepi, pintu kayu tua nampak tertutup rapat, tak terdengar suara penghuninya dari dalam.

Mel dan Lex turun dari mobil yang mereka parkir di depan gang, mereka segera melangkah menuju kediaman salah satu korban, Naomi Andersen.

Tok tok tok

Mel mulai mengetuk pintu coklat itu, namun tak ada jawaban. sampai 3 kali Mel mengetuk barulah terdengar langkah kaki seseorang mendekat menuju pintu untuk membukanya.

"Ya?"

Seorang anak leki-laki yang kira-kira berusia 6 tahun dengan kaus yang kebesaran dan warnanya tak lagi putih bersih berdiri di ambang pintu setelah membukanya, ia mendongak kepada Lex dan Mel yang berdiri di sisi luar pintu rumah itu dan sedang saling melempar pandangan mereka satu sama lain, empati mereka mengambil alih.

"Hei nak, apa kau sendirian di rumah?" Mel berjongkok mensejajari tatapan anak itu seraya bertanya.

"Hmm...ya, bibi sedang membeli roti sebentar. Apa kalian orang jahat?" ujar anak itu dengan wajah polosnya.

Mel tersenyum untuk menenangkan anak itu agar tak takut, siapa pun yang mengajarinya untuk waspada terhadap orang tak di kenal, orang itu sudah melakukan hal yang tepat.

"Kami bukan orang jahat adik kecil, aku adalah polisi, Jangan takut. Boleh kami menunggu bibimu di sini sampai dia pulang?" pinta Mel pada anak itu.

"Benarkah anda polisi?"

"Ya, tentu saja" ucap Mel sambil menunjukkan lencananya.

"Waaaww... kalau begitu anda adalah orang hebat" ujar nya dengan mata berbinar dan kedua jempolnya yang ia berikan untuk Mel. Wanita itu tertawa.

Lex hanya tersenyum hangat dibalik maskernya melihat tingkah tubuh kecil di hadapannya itu. Sangat polos dengan warna emosi ceria dan bau selayaknya gulali warna.

"Apa anda juga polisi tuan?" perhatiannya kini beralih pada Lex yang tetap berdiri di tempatnya.

"Bukan, aku teman nona polisi ini" ujar Lex seraya menunjuk mel dengan ibu jarinya santai.

"Benarkah? Lalu kenapa anda pakai masker tuan? bukankan musim ini sedang sangat panas?" ujarnya lagi.

"Ya, aku tahu. Tapi aku merasa keren dengan masker ini jadi tetap ku pakai" jawab Lex sekenanya.

"Waaw... Anda juga keren sekali tuan hehehe"

Kedua orang dewasa itu seketika merasa gemas dan iba sekaligus namun mereka memutuskan untuk tak menunjukkannya.

"Siapa kalian?!"

Seorang wanita bertubuh kurus dengan wajah tirus dan tulang pipi tinggi sudah berdiri di belakang Mel dan Lex membuat mereka spontan menoleh ke belakang, Paula Andersen, kakak dari Naomi Andersen sekaligus Bibi dari bocah lucu itu menatap mereka berdua dengan tatapan curiga dan awas. Sejurus kemudian ia berjalan cepat membelah Mel dan Lex untuk menghampiri anak kecil di ambang pintu lalu berlutut menjatuhkan paper bag berisi beberapa buah roti yang baru saja dibelinya dan memeluk bocah itu sebagai bentuk perlindungan.

"Apa yang kalian mau? Naomi sudah mati! Aku tak punya uang membayar semua hutangnya!" pekik wanita itu dengan panik, ia memeluk erat tubuh bocah kecil di hadapannya seolah takut anak itu akan diambil dari asuhannya.

Emosinya mulai menguar, warna hijau tua pekat dengan semburat pilu kebiruan mendominasinya, Lex mencium aroma takut, sedih dan kekhawatiran yang kuat dari Paula.

"Nyonya Paula Andersen, anda sepertinya salah paham. Saya dari VCPD dan ini adalah rekan saya, kami datang kesini untuk menanyakan beberapa hal terkait kematian adik anda nyonya." Papar Mel seraya menunjukkan lencana miliknya.

"Apa? Polisi? Bukankah kemarin sudah ada polisi yang datang kemari dan memintaku memberikan keterangan, ada apa lagi?"

Kini semburat merah mulai menampakkan dirinya, marah sedikit menguasai Paula. Ia kemudian bangkit dan menyembunyikan Chiko, anak Naomi di belakang punggungnya.

"Ada beberapa hal yang harus kami pastikan kembali nyonya, dan kami membutuhkan kesaksian anda". Mel membujuk dengan halus.

"Sudahlah, biarkan kami menjalani hidup kami dengan tenang, kami sudah merelakan dia, aku tidak tahu bagaimana dia bisa mati seperti itu, tapi setidaknya dia tak lagi bisa berlaku seenaknya pada Chiko!"

Air mata mulai membanjiri wajah Paula yang tirus, bersamaan dengan biru dibalik punggungnya yang kian lebat.

"Dia selalu saja pulang dalam keadaan mabuk, saat di rumah pun tak pernah berhenti minum, meracau tentang masalahnya sepanjang waktu, bahkan dia tak menghiraukan anak kandungnya sendiri. Lebih baik seperti ini, Chiko tak perlu lagi melihat ibunya yang jalang itu menjual tubuhnya pada laki-laki hidung belang."

Paula makin tersedu, emosinya makin tak terkendali, jika diibaratkan awan mendung, maka sudah sedari tadi rintik hujan turun dengan derasnya.

Lex hanya memperhatikan perubahan emosi Paula, ada sedikit warna kehitaman di sela biru yang membumbung, Lex pikir itu adalah kebohongannya soal ia tak peduli pada adiknya, bahwa kematian adiknya juga memberi kesedihan mendalam pada Paula.

"Saya sangat paham perasaan anda nyonya Andersen, tapi tak hanya Naomi yang menjadi korban, saya yakin anda sudah mengetahuinya dari berita yang berseliweran di televisi. Kami sedang berupaya menangkap pelakunya nyonya, agar tak ada lagi korban selanjutnya dan kesaksian anda merupakan hal yang penting untuk kepentingan penyelidikan." Mel masih melancarkan bujukannya.

Paula nampak tercenung sesaat, kobaran biru kehijauan di punggungnya menyusut, tak lama kemudian ia mulai membuka suara.

"Baiklah, apa yang ingin anda tanyakan?" ujar Paula melunak.

"Apakah Naomi tidak pernah menceritakan tentang teman prianya padamu nyonya?" Mel mengawali dengan hati-hati.

"Tidak pernah, dia selalu berganti-ganti pasangan ditambah pekerjaannya memang seperti yang anda tau, tapi aku tau dia punya kekasih sampai 3 bulan yang lalu mereka berpisah."

"Apa anda kenal dengan kekasih korban itu?"

"Tidak, setahuku dia tinggal di distrik lain dearah barat"

Mel melirik sekilas pada Lex yang langsung menggeleng pelan, perhatiannya ia alihkan kembali pada Paula.

"Apa anda tahu nama pria itu?"

Paula dengan ragu mengangguk

"Namanya Juan Rivero, hanya itu yang ku tahu".

"Apa tuan Rivero adalah salah satu pelanggan korban?"

"Bukan"

"Lalu bagaimana Naomi bisa kenal dengannya?"

"Mereka bertemu di klub malam, lalu berkencan. Ia pernah beberapa kali datang kerumah ini"

"Apa Chiko anak tuan Rivero?"

"Bukan, Chiko anak dari salah satu pelanggan Naomi, entah siapa"

"Apa setelah mereka berpisah Naomi pernah melakukan kontak dengan tuan Rivero?"

"Aku pikir tidak"

Lex kembali menggeleng samar.

"Apa anda tau nomor telfon dan alamat tuan Rivero nyonya?"

"Tidak, maaf."

"Baiklah, kalau begitu mungkin kami akan mencarinya melalui database kepolisian dan meminta tuan Rivero ke kantor polisi untuk dimintai keterangan."

"Apa? Bukankah dia tak ada hubungannya lagi dengan Naomi?"

"Kita akan tahu setelah dia bicara nyonya"

"B-baiklah! sebenarnya Juan dan aku kini menjalin hubungan. Juan muak dengan Naomi yang kecanduan alkohol, lalu banyak bercerita padaku dan semenjak saat itu kami mulai berkencan. Jadi.... Juan tak mungkin ada hubungannya dengan pembunuhan ini"

"Hmm...baiklah, lalu adakah teman pria lainnya yang anda tahu nyonya?"

"Aku tahu seorang penjaga toko olahraga di sebrang Border St. namanya Ivan Spike"

"Paman Wilson juga teman mama" Chiko yang sedari tadi diam dibalik punggung Paula, tiba-tiba menyampaikan hal yang ia tahu.

"Oh! Benar, Gary Wilson. Dia adalah pengantar koran yang kadang sering membawa pelanggan untuk Naomi, mereka cukup akrab ku kira, aku lupa mengatakan hal ini saat polisi menanyaiku tempo lalu"

"Hmmh...apa setahu anda Naomi pernah bermasalah dengan orang lain?

"Naomi sering bermasalah dengan teman-teman se-profesinya karena berebut pelanggan dan kadang cek-cok di klub karena mabuk berat. hanya itu yang ku tau"

"Baiklah nyonya Andersen, terimakasih atas bantuan anda"

"Ya, sama-sama. Semoga bisa membantu"

Mel membalas dengan tersenyum lalu berpamitan bersama Lex yang mengekor dibelakngnya, mereka berjalan dalam diam menuju mobil yang terpakir agak jauh.

Setelah keduanya masuk ke dalam mobil, Mel mulai menginjak gas agar mobil segera melaju.

"Laporanmu" Mel lebih dulu membuka suara.

"Laporan?" Lex bertanya heran dengan alis yang terangkat sebelah.

"Ck..apa yang kau lihat dari Paula Andersen tadi? Bukankah itu fungsi kau ku bawa hari ini?" Kesal Mel.

"Seingatku kita tidak menyepakati soal laporan".

"Ah sudahlah! Lupakan! Katakan saja analisamu tadi"

"Ck.. yaaa... yaaa... Paula Andersen berbohong saat bilang tak peduli pada adiknya, sebenarnya ia juga teramat sedih. Lalu menganai orang bernama Juan tadi, aku menggelengkan kepalaku sebab dia berbohong karena mengatakan jika ia tak kenal dengan laki-laki itu. dan juga dia berbohong saat bilang Naomi dan Juan tidak lagi saling bertemu setelah putus.

"Hmm...lalu soal 2 orang teman lainnya?"

"Dia berkata jujur. Dan sepertinya Paula tak begitu mengenal 2 sosok ini"

"Baiklah. Kita akan mengerahkan tim untuk mendatangi mereka masing-masing."

--o0o--

PROFILE KORBAN PERTAMA :

Nama : Naomi Andersen

Tempat/tanggal lahir : Bolunar City, 31 Zalar tahun 2167

Gender : Wanita

Pekerjaan : Wanita Tuna Susila

Usia : 34 tahun

Alamat : Oraho St. blok 9-D nomor 14 distrik Zelheim, Vellas City.

Keluarga : Anak laki-laki berusia 6 tahun bernama Chiko Andersen dan Kakak perempuan bernama Paula Andersen.

Laporan hasil autopsi :

- Luka gorok sedalam 5 cm di leher (penyebab kematian)

-Pterygium total; pigmen iris lenyap

-Abrasi bulat sempurna di luka pada dada sebelah kiri ukuran diameter 2cm; titik jantung berada (senjata belum di ketahui)

-Kuku jari rusak (tak terdapat serat atau DNA di sela kuku)

-Tak ada memar / tanda penganiayaan.

-mulut terkatup rapat; gigi utuh; lidah lemas (tanda korban tak berteriak)

-Tak ada indikasi hubungan seksual sebelum dibunuh (dugaan pemerkosaan ditepiskan)

-Meninggal sehari sebelum di temukan

avataravatar
Next chapter