2 Prolog part 2

***

"Lawan aku, Nona. Kau takan bisa membuatku bertekuk lutut di bawahmu," pongahnya mengangkat dagu.

"Hah! Kesombonganmu terlalu tinggi, tuan vampir!" Axelia membuang napas kasar. Dia bersiap lagi untuk menyerang sehingga dalam sedetik kemudian wujudnya sudah melesat ringan tanpa menyentuh tanah dengan cepat ke depan. Menuju Zaross yang masih berdiri tenang menunggu Axelia datang. Lantas, diayunkannya tombak guna menyerang lawan.

Pada detik itu tangan kanan Zaross terulur ke depan. Benak Axelia terkejut sebelum dia merasakan tubuhnya bagai disambar petir. Aliran listrik tampak berkilat-kilat memeluk tubuh Axelia yang mengaku. Teriakan kesakitannya menggema seolah membelah keheningan. Di tengah kekangan listrik yang melilit sekujur raga, sekuat tenaga Axelia menggerakan diri agar terlepas dari jeratan ini. Usahanya nampak bergerak kaku, dan rahangnya menggertak marah.

Sementara Zaross begitu menikmati perjuangan perempuan di hadapannya. "Rasakan itu! Begitu lah rasa sakit yang kalian cambukan pada kaum kami," kata Zaross. "Ahh, seharusnya aku menambahkan kekuatanku pada sihir ini." Dia terus bermonolog santai. Axelia tahu maksud vampir bangsawan itu adalah sebuah senjata yang dirancang khusus untuk melawan vampir memiliki energi setara dengan petir. Senjata anti-vampir dibuat aman bagi manusia, tetapi cukup mematikan jika ditodongkan pada vampir.

"Kalian pantas mendapatkannya! Ah, tidak, harus lebih dari apa yang telah kalian lakukan pada manusia!" balas Axelia berani. Lalu dia berteriak lagi. Napasnya memburu penuh amarah. "Sayangnya, aku harus membawamu hidup-hidup. Beruntung lah karena tidak langsung kubunuh," ujar Zaross dingin.

"Takan pernah tujuanmu terwujud!!!" teriak Axelia yang secara bersamaan listrik di tubuhnya merenggang kemudian pecah seketika. Membuat ekspresi terkejut Zaross tercipta. Melihat seorang manusia bisa melepaskan diri dari belenggu petirnya merupakan hal langka, sebelumnya semua makhluk hidup yang pernah dia jerat selalu berakhir tewas, tetapi Axelia justru menghancurkan aliran listriknya? Zaross menyeringai. "Kekuatan dari Ratu Perak memang bukan isapan jempol," kata Zaross.

Ketika itu suara derap kaki kuda terdengar kian dekat sehingga dapat Zaross lihat dari arah jam dua belas, sekelompok prajurit kavaleri berjumlahkan lima mendekat dari belakang tubuh Axelia. Salah satu dari prajurit itu Zaross mengenalinya sebagai seseorang yang juga patut dia waspadai selain Axelia. Akhirnya Zaross mendecih. Mengeluhkan pertarungannya harus terganggu oleh kedatangan tamu tak diundang.

"Aku bisa menahan mereka untuk tidak ikut campur. Apa kau masih ingin melanjutkan pertarungan kita?" kata Axelia menawarkan. "Bukan gayaku jika melarikan diri dari medan perang," sungut Zaross. Gengsi tinggi. Dinding penghalang yang diciptakannya masih mengurung mereka.

"Maju lah dan kita lanjutkan pertarungan ini sampai salah satu di antara kita mati." Axelia tidak main-main. Pertarungan yang telah dia lalui sebelumnya merupakan penentu hidup dan mati dirinya. Sampai pada saat ini, dia dihadapkan pada lawan yang merepotkan. Vampir bangsawan. Menurut informasi yang mereka dapat, vampir bangsawan tidak mudah dikalahkan hanya dengan senjata anti-vampir. Meskipun bisa membuat mereka kesakitan dan terluka, tapi tidak sampai berubah menjadi abu. Regenerasi pada fisiknya lebih cepat tumbuh dibanding makhluk lain.

Dengan tangan kirinya yang bebas, Axelia merentangkan ke samping. Memberi isyarat pada kavaleri di belakang untuk berhenti dan jangan ikut campur. Penunggang kuda yang memimpin empat kuda lainnya itu sentak menarik tali pengekang diikuti prajurit lain. Aiden memandang penuh makna punggung Axelia yang terlihat di kejauhan. "Axelia...." sebutnya khawatir.

"Dia tidak ingin kita ikut campur! Kita tunggu saja di sini hingga akhir pertarungan mereka," ucap Aiden memberitahu rekannya.

Axelia dan Zaross terus menyerang satu sama lain. Seiring berlalunya menit, Aiden memperhatikan gerakan Axelia mulai melambat. Dugaan bahwa Axelia kelelahan pun bukan sesuatu yang tidak mungkin. Perempuan itu sama seperti dirinya, manusia. Manusia punya batasan kekuatan.

"Kita buat peraturan sederhana. Jika kau berhasil menggoresku, aku akan mengaku kalah. Tetapi, jika kau tidak juga berhasil menyentuhku dalam sepuluh menit, apa pun yang terjadi padamu harus ikut denganku." Zaross membuat kesepakatan. Sebuah aturan yang membuat Axelia dengan jiwa patriot semakin tertantang. Perempuan itu menyeringai lebar. "Kau terlalu meremehkan manusia," hardik Axelia.

Zaross mengulurkan tangannya lagi ke depan, menciptakan tabir sihir berbentuk lingkaran untuk menghalau Axelia yang menuju ke arahnya. Sedetik Axelia terpental saat hendak menerobos penghalang kristal itu, punggungnya membentur dinding lalu menjerit seketika kala energi listrik menyengatnya. Tembok transparan yang dialiri energi ratusan volt menjadi senjata makan tuan bagi enam antek-antek Zaross lantaran Axelia memanfaatkan dinding ini untuk melenyapkan mereka. Namun kini, Axelia sendiri merasakan sengatan hebat itu bagai menghanguskan tulang-tulangnya. Rasanya jauh lebih menyakitkan dibanding saat pertama dijerat langsung.

'Zaross! Kau ada di mana? Bisa cepat kembali?!'

Suara seorang pria menggema di kepala Zaross. Melalui telepati, Zaross membalas dengan nada herannya yang tinggi. 'Hah??!!Aku sedang berhadapan dengan Silver Queen, Phaeron! Kau gila menyuruhku mundur heh?!!' Tentu saja dia menentang perintah sekertaris jendral vampir bernama Phaeron itu. Mundur sama saja dengan melukai harga dirinya sebagai vampir bangsawan. Selama dia berada di medan pertempuran, dia takan pernah meninggalkan lawan sebelum salah satunya mati.

'Maaf, tapi ini perintah tuan Mortas.'

Zaross mencebik. 'Baiklah. Aku akan segera akhiri ini lalu kembali membawanya.'

'Kuharap kau baik-baik saja saat kembali, Zaross.'

"Kau lengah, Zaross!" Seketika Axelia sudah muncul di depan matanya begitu dekat. Pada detik berikutnya, Zaross yang terkejut, tidak sempat menghindari serangan mendadak perempuan itu, sehingga dia terpental jauh. Selagi melayang terdorong, Axelia muncul kembali di atas Zaross dan mengayunkan tombaknya dalam gerakan menusuk.

Sontak Zaross memuncratkan darah hitam dari mulutnya. Dia terbatuk kalau perutnya tertohok tombak anti-vampir. "Sial, kau memberi kekuatan iblis pada senjatamu heh?" Zaross mengatakannya dengan berat dan terputus-putus lantaran napas bagai ditenggorokan.

"Aku yang menang telak, tuan Zaross." Axelia menyeringai puas. "Si-al!" erang Zaross bertepatan ketika tubuhnya jatuh ke tanah. Matanya menatap langit mendung dengan tatapan kosong dan bekas cairan hitam di bibir. Perlahan pula dinding penghalang di sekeliling mereka mulai memudar. Axelia berdiri angkuh sebagai pemenang. Bibirnya lurus dingin seolah menatap pada sosok Zaross yang terkapar tak berdaya.

"Cih! Sungguh tidak menyenangkan. Kupikir melawan vampir bangsawan akan terasa seru," kecewa Axelia. "Baiklah, kau menang, Silver Queen." Satu per satu pakaian Zaross mengelupas begitu pula dengan pipinya dan berubah seperti lembaran kertas yang tersingkap oleh angin. "Dan, maafkan aku yang membuatmu kecewa." Zaross tersenyum miring merasa miris. "Tidak kusangka akan berakhir begini...." Kata-kata terakhirnya turut terbawa arus udara bersama wujudnya yang hilang tak berbekas.

"Axelia!" teriak Aiden. Cepat melajukan lagi kudanya untuk menghampiri perempuan itu. Dinding penghalang telah hilang sepenuhnya, dan ketika beberapa meter lagi Aiden semakin dekat, tubuh Axelia limbung hingga jatuh ke tanah di depan matanya. "Axelia!" cemas Aiden. Lalu menarik pelananya dan kuda berhenti. Dia cepat berlari untuk berlutut menopang kepala Axelia. "Axelia!" panggilnya sekali lagi. Tetapi dia tidak mendengar sahutan dari pemilik suara feminin tersebut.

"Kamu terlalu memaksakan diri...." desis Aiden cemas. Tombak digenggaman Axelia lenyap perlahan.

***

avataravatar
Next chapter