1 Prolog: Endless War

***

"Perang tiada akhir, langit membisu, penderitaan berkepanjangan, tanah berpijak telah hangus, bau peperangan selalu tercium di setiap sudut, mati adalah pilihan terbaik bagi mereka yang muak pada dunia kala tak lagi berpihak pada manusia. Namun, perjuangan demi hidup dan harga diri, mengobarkan api peperangan walau tahu maut menunggu."

.

.

.

***

Di bawah bentangan lazuardi yang digulung nimbostratus, dua orang berbeda gender saling berhadapan. Jika seorang prajurit berzirah kelihatan bertekuk lutut, menundukan kepala, maka seorang perempuan di hadapannya berdiri anggun dengan tangan kanan menggenggam badan tongkat perak setinggi dua meter, menancap di permukaan tanah. Menatap lurus wajahnya ke depan, tetapi pandangan perempuan itu harus terhalau benda berat yang setia menutupi kedua mata. Benda seberat dua kilogram bermaterial bebatuan hitam yang ditempa membentuk separuh lingkaran, memiliki rongga-rongga dan lima cabang lancip mencuat di atas, terpasang di pangkal hidungnya, menjadi blind mask bagi perempuan bersurai perak sepunggung tersebut.

"Kapten Rexiana, saya akan terus mengikuti langkah anda, menjadi pedang anda, dan pengikut setia anda sampai akhir hayat." Kata-kata yang ditututkan seorang prajurit ini membuat perasaan perempuan bernama lengkap Axelia Vin Rexiana semakin bergetar. Angin menderu halus di pipi Axelia. Sejenak keheningan memeluk dataran yang telah menghitam sebagai tempat mereka berpijak.

Axelia belum mengatakan sepatah kata pun semenjak bertemu salah satu prajurit saat dalam perjalanan berkuda. Menemukan seorang prajurit ini dalam keadaan setengah terbaring di tanah kotor, yang mana ia langsung berlutut di bawah kakinya. "Kau sudah mengabdikan dirimu untuk tanah ini, kopral Wolly," kata Axelia. Intonasi suaranya sangat datar, sedatar guratan wajahnya yang berfitur angkuh.

Sakit setengah mati mendera fisik sang prajurit kala perutnya kembali memuntahkan darah. Membasahi tanah gosong di bawah lutut. Namun, ia tetap pada posisinya meski bulir-bulir keringat mengucur deras dari pelipis. Menahan rasa sakit luar biasa di hadapan perempuan berjuluk sang Ratu Perak. Walau tahu perempuan itu mengalami kebutaan mata, dia tidak seperti orang buta pada umumnya. Karena semua yang ada di sekitar seolah dapat terlihat oleh perempuan ini. Tak ada seorang tentara pun yang berani bertingkah bebas ketika melihatnya.

"Tetapi kau tidak bisa terus mengikutiku jika waktumu sudah tiba. Beristirahat lah dengan damai. Kau bagian dari pahlawan Atledrich, sekaligus prajurit Rexiana, maka berbangga lah wahai kopral Wolly," ucap Axelia tenang. Senyum lemah akhirnya terukir di bibir prajurit yang helmnya telah terlepas entah kemana, menghiasi wajah keras tapi kian memucat itu. "Saya sangat senang mendengarnya langsung dari anda." Perlahan kelopak matanya menutup seiring otot-otot tubuh melemah, dan genggaman jemari lentik Axelia pada badan tongkat bergerak sedikit mengerat saat mendengar suara jatuh tubuh prajuritnya. Gugur sudah.

Pengorbanan dan perjuangan semua orang di pihaknya membuat kabut tebal tidak hanya dialami langit, hati perempuan dingin itu juga semendung cuaca hari ini. Axelia benci kekalahan, tapi sebagai kapten, ia lebih benci jika prajuritnya tewas dalam tugas mereka.

Setetes air, jatuh di pipi. Untuk ke sekian kali, rinai langit menangisi bumi yang sudah rusak. Di tengah gerimis yang bertambah deras, samar-samar rungu Axelia menangkap suara gerakan cepat dari hutan di seberang kanan dan kirinya. Bayangan hitam berjumlah lebih dari dua itu melesat sangat cepat, menembus hujan, di antara pepohonan lebat menuju tanah terbuka hingga sosok perempuan bergeming tegap di sana mulai terlihat.

***

Pria muda itu duduk di kursi bar dengan segelas wine dingin yang baru ia minum satu kali. Sebelah tangannya menopang pipi sambil telunjuk kanan memainkan es batu di dalam gelas winenya, mencelup-cekupkan dengan bosan. "Apakah ada hal yang mengganggu pikiranmu, Tuan?" Sambil mengelap gelas, bartender pria paruh baya bertanya pada Aiden. Entah sudah berapa lama Aiden duduk di kursi itu dan hanya termenung memandangi whiskey.

Senyum kecil tersungging di sudut bibir Aiden mendengar pertanyaan yang ditujukan pada dirinya itu. "Aku merasa kesal sekali pada Jon yang membuatku tidak bisa bersama dengan ratuku," gerutunya. "Apa anda mengkhawatirkan wanita itu?" tanya bartender, meletakan gelas yang selesai dilap, lalu mengambil gelas lain dan melakukan kegiatan repetitif lagi.

"Bagaimana kau tahu aku mengkhawatirkan dia?" Dengan mata hijau cemerlangnya, Aiden menatap lurus pada pria berwajah ramah yang berdiri di balik meja bar. Ada sedikit terkejut di dalam pertanyaannya usai mendengar kalimat sang bartender tua. Sementara beliau mengukir senyum ramahnya sebelum menjawab. "Saya hanya menerka dari perkataan anda, dan saya pikir semua orang yang mendengar itu akan sepemikiran dengan saya."

BRAK!

Suara gebrakan keras bagaikan magnet yang langsung menarik seluruh wajah ke sumber kegaduhan. Mata yang terpaku pada pintu bar seketika membelalak kaget hingga salah seorang pengunjung yang didominasi pria terjungkal dari kursi. "V-vampir!!!" Pekikan sarat ketakutan itu membuat ruangan menjadi panik. Gemetar sekujur tubuh mereka sampai-sampai tidak dapat bergerak seinci pun kala mengetahui seorang pria dengan kuping lancip ke atas berdiri pongah di pintu.

Kulitnya abu-abu pucat. Hitam dan panjang-panjang setiap kuku di kedua kaki tanpa alas itu. Persis dengan kuku di tangannya yang mengancam. Dia menyeringai sehingga dua taring tajam bernoda darah dapat terlihat. Pandangannya menyapu liar seluruh sisi ruangan bar sebelum mengerang dan mulai berlari lurus ke arah punggung Aiden. Pada detik yang sama, helaan napas lolos dari mulut Aiden di saat yang lain dilanda kepanikan, dia justru masih duduk tenang-tenang saja sambil memainkan bosan kubus-kubus es whikeynya.

Aiden beranjak turun. Pedang dikeluarkan gesit dari sarungnya di pinggang dan kemudian dalam sedetik mengayunkan, tubuh vampir itu terbelah dua, berubah wujud menjadi serpihan abu yang menguap di udara dan lenyap menyisakan pakaian teronggok di bawah kakinya. Seluruh saksi terpana. Hening.

Dipandangnya pakaian mengenaskan di lantai itu dengan tatapan iba. "Orang ini sama seperti kalian. Awalnya dia manusia normal sebelum vampir biadab mengubahnya menjadi makhluk level E. Bergerak bak zombie tanpa akal." Digelengkannya kepala merasa kasihan usai mengatakan itu. Aiden menyarungkan lagi pedangnya di balik mantel panjang cokelat. Menyerahkan beberapa keping Ridhat ke meja bar lalu melenggang keluar dengan santai diiringi tatapan terbengong para pengunjung.

***

Trang!

Axelia terdorong mundur saat menangkis serangan dengan tombaknya. Dia terdiam tenang, sanubarinya menghitung lawan di hadapan. Satu, dua, empat, enam, dan ..., tujuh! Di dalam kegelapan matanya, tujuh bayangan hitam itu seakan terlihat berderet setengah melingkar menantangnya. Intuisi sebagai prajurit buta telah dilatih keras sehingga dia dapat merasakan keberadaan mereka melalui hawa. Perhitungannya tak pernah salah tangkap, ditambah Axelia tipe orang yang sangat percaya diri dengan kemampuannya sendiri.

"Axelia. Menyerah lah maka kaum manusia tidak akan menderita lagi. Serahkan dirimu, dan kedamaian mereka akan terwujud." Begitu lah yang terdengar di rungu Axelia dari suara seorang pria tepat di depan. Pria itu berdiri memimpin ke-enam prajuritnya. Mengabaikan hujan deras yang mengguyur seluruh permukaan. "Siapa kau?!" Axelia bertanya. Tidak ada kegentaran pada sikap tegap Axelia di kelilingi musuh. Nadanya justru terdengar menantang berani. Tersirat kegeraman tertahan ketika teringat akan kematian prajuritnya.

"Aku adalah Zaross. Vampir bangsawan yang telah membinasakan desa di selatan saat dalam perjalanan mencarimu," lantangnya bangga. Rambut merahnya sedikit terhalau tudung jubah di kepala. Matanya yang beriris merah melihat bagaimana reaksi Axelia di sana. Mengharapkan serangan brutal perempuan itu.

"Bangsat kau, vampir!" tekan Axelia. Mencengkram tombaknya. Tombak dengan lempengan penusuk yang terlihat lebih lebar dan berat dibanding tombak biasa. Terdapat ukiran elegan di bagian teratas tangkai tombak yang terhubung dengan mata tombak bermaterial besi runcing tersebut. "Apa maumu sebenarnya?" tanya Axelia yang membuat Zaross sedikit kecewa.

"Membunuhmu." Satu kata dilontarkan pendek tanpa emosi dari Zaross. "Coba saja kalau kau bisa melakukannya," tentang Axelia angkuh. Kemudian, secara bersamaan mereka melesat ke depan, saling beradu senjata di udara untuk beberapa saat lamanya. Bagai kilatan cahaya gerakan mereka saat menyerang di udara sehingga membuat wujud keduanya nyaris tak terbaca oleh mata telanjang selain yang terlihat hanya dua bayangan silih bertubrukan cepat. Benturan nyaring senjata mereka mengiringi pertarungan selama beberapa detik di udara. Lalu Axelia mendarat kembali bersamaan dengan Zaross.

Pertarungan pertama yang seimbang membuat Zaross terkejut. Namun, dia belum mengeluarkan setengah kekuatan untuk menundukan perempuan keparat di hadapannya. "Inge Villosa!" teriaknya yang seketika muncul dinding transparan berderet membentuk persegi panjang mengurung mereka termasuk ke-enam prajurit Zaross di belakang yang belum diperintahkan untuk menyerang lagi.

***

Letkol Luis Gnecco membaca laporan yang tadi diantarkan seorang kopral ke ruangannya. Pria paruh baya dengan janggut lebat tetapi tercukur rapi di area dagu itu kelihatan duduk di kursi putar kulitnya. Pemandangan langit mendung tersingkap luas di jendela besar seberang kiri. Tanpa hujan.

Kerutan halus di dahinya semakin tercetak ketika dia mengeryit membaca tulisan yang tertera di kertas. Diembuskannya napas guna mengatur emosi yang ditarik oleh isi pesan tersebut, hingga ketukan pintu terdengar dan dia mempersilakan seseorang di luar itu untuk masuk.

Seorang kopral melangkah ke dalam dengan sikap tegap sebelum mengangkat tangan kanan menyentuh pelipis. Memberi hormat sejenak pada Letkol Luis. "Lapor, pak! Berdasarkan penjagaan dari tim Mark, mengatakan bahwa jasad Mayor Jenderal dinyatakan hilang setelah tiga hari pencarian!" ucapnya tegas. Kemudian menurunkan tangannya lagi di sisi tubuh secara rapat.

"Apa?!" kaget Letkol Luis. Berita macam apa ini yang didengarnya? Otak Letkol Luis tidak mudah menerima laporan ini. "Siapa pelakunya? Dan untuk tujuan apa mencuri jasad Mayor Jenderal?" tanyanya sangat penasaran. Perasaan Letkol Luis terheran-heran. Tidak dia sangka peristiwa pencurian jenazah bawahannya terjadi. Tapi untuk apa dicuri? Otak Letkol Luis yang  berotasi keras tidak bisa menemukan probabilitasnya.

"Kami mencurigai adanya penyusup di dalam. Tetapi, masih dalam pemburuan untuk mengungkap pelakunya," jawab kopral tersebut. Letkol Luis berpikir.

***

Langkah sepatu boots pria itu berhenti di tanah kecokelatan yang lembab. Bekas-bekas hujan masih terlihat di semua sisi tempat. Mata hijau cemerlang milik Aiden saat menemukan sebuah desa hancur di depan, membuat dirinya tercengang. Dia menyapukan pandangan, seraya menarik langkah maju dan berjalan perlahan, berharap melihat seseorang yang masih hidup.

Akan tetapi, seluruh rumah sederhana di kanan-kirinya dengan kaca-kaca jendela pecah dan pintu rusak, atap rumah yang hilang hingga sebagian dinding hancur, menyisakan puing-puing bangunan berserakan, kelihatan tidak berpenghuni. Persis seperti pemukiman yang sudah lama ditinggalkan dan termakan usia.

"Apa yang terjadi di desa ini?" Aiden bergumam.

"Hey!!! Apa ada orang di sini??!!" Dia berteriak. Nyaris jelas pendengaran Aiden menangkap suara gerakan samar dari sekitar keheningan. Guliran retinanya yang memindai, menilik awas seraya terus melangkah dengan tenang melewati setiap rumah yang ambruk.

Seorang anak laki-laki kelihatan meringkuk dipojokan reruntuhan. Aiden melihat itu bergegas menghampiri. "Hey, apa kau terluka?" tanya Aiden setelah menilai tubuh anak laki-laki itu yang gemetar ketakutan. Posisinya yang memunggungi Aiden, membuat dia tidak dapat melihat jelas wajah bocah itu. "Dimana orang tuamu? Ayo kita cari mereka." Aiden bertanya lagi. Mengulurkan tangan kanannya. Mengajaknya bangun.

Perlahan-lahan anak laki-laki itu berbalik, wajahnya yang menunduk bisa melihat jemari Aiden menengadah di depan. Dan kemudian dalam sedetik anak laki-laki itu melebarkan mulutnya, gigi taring mencuat di bawah bibir sebelum hendak menggigit tangan tersebut.

Namun, dalam sekejap yang sama, dengan visual lambat, satu tangan Aiden yang lain cekatan bergerak mengambil belati di sisi paha lalu menusukkannya ke leher anak laki-laki. Sedetik nyaris jemarinya tersentuh gigi taring anak laki-laki ini. Sama seperti makhluk di bar yang dilenyapkannya tadi, tubuh anak laki-laki ini menghilang dengan meninggalkan pakaiannya saja di tanah.

Aiden menegakkan badannya. Ekspresinya datar saag jemari dengan lihai memutar-mutarkan belati pendek berwarna perak berukir lengkungan artistik pada pegangan sebelum dimasukan lagi ke sarungnya di sisi paha. Lalu dia menangkupkan dua telapak tangan di depan dada seraya menutup mata. Mendoakan sang anak laki-laki yang dipastikan telah tiada. Tiga detik berikutnya secara naluriah, Aiden menyadari eksistensi lain.

Ketika dia mengarahkan pandangan mengikuti magnet kehadiran orang lain, dapat dia lihat seorang wanita kurus berdiri lesu sejauh tiga meter. Level E satu per satu bermunculan dari tempat persembunyian mereka. Di balik dinding, merangkak di atas atap, di dalam jendela, berjalan keluar. Seolah sudah menduganya, Aiden beranjak sembari mempersiapkan pedang. Mencengkram pegangannya mantap, berjalan tenang saat matanya menghitung jumlah Level E yang terlihat.

Baru lah ketika mereka membentuk satu gerombolan, lambat laun langkah Aiden dipercepat hingga menjadi berlari, lalu  menebas setiap tubuh Level E tanpa belas kasihan. Wajah dingin Aiden tidak memandang siapa pun pada mereka yang silih berganti menyerbunya. Tidak seorang pun yang dia kenali di sini, dan dia berharap seluruh kameradnya baik-baik saja. Lebih baik mati terbunuh daripada mati tapi jasadnya bisa berjalan seperti mereka.

***

Napas Axelia sedikit terengah-engah. Langit mendung di atasnya sudah berhenti menangis tepat ketika dia berhasil memusnahkan ke-enam prajurit Zaross. Kini tersisa pemimpinnya yang sedari tadi hanya menonton di belakang enam prajurit vampir.

"Zaross!!!" geram Axelia. Hebatnya perempuan itu melawan enam prajurit vampir seorang diri tanpa segores luka. Zaross terkagum-kagum. Senyum Zaross terbentuk menyeringai. Sekarang dia mengerti terhadap alasan para dewan untuk menangkap perempuan buta itu yang kekuatannya dia akui tidak ada satu manusia mampu menandinginya. Mungkin sebuah pengecualian jika lawannya adalah vampir bangsawan hingga King.

"Lawan aku, Nona. Kau takan bisa membuatku bertekuk lutut di bawahmu," pongahnya mengangkat dagu.

***

avataravatar
Next chapter