13 Part Two

Informasi dari Hedor, si penjaga gerbang perbatasan, memaksa kelompok mereka putar arah. Musim hujan menjadi kemungkinan penyebab longsornya tanah. Apa pun itu penyebabnya, Vincent tetap memimpin kudanya menuju rute yang lebih jauh. Tidak ada jalan lain meski harus menempuh jarak berhari-hari. Toh selama mereka hafal jalan menuju kota tujuan, tidak akan perlu khawatir tersesat.

Tiga hari sudah berlalu di belakang mereka. Rombongan kuda yang jumlahnya tak lebih dari selusin itu melewati hutan pinus yang lembab. Lebat daunnya membuat langit biru tidak mudah terlihat dari bawah sini. Sementara tanpa mereka ketahui, kuda mereka bergerak menuju kawasan awan mendung di depan sana.

Vincent melihat seorang pria dari arah berlawanan. Pria itu tampak lusuh dan berjalan tak bertenaga. Merasa ada sesuatu yang janggal, Vincent menghentikan kuda tepat di depan seorang pria baya itu. "Apa kau berasal dari desa di depan?" tanya Vincent.

Pria lusuh itu mendongak dengan tak minat. Kelihatan lemas sekali seperti orang tidak makan dua hari. "Lebih baik kalian tidak pergi ke sana!" katanya bernada galak. Langsung menjadi tanda tanya dibenak mereka. Dan Aiden mengerucutkan mata memperhatikan seluruh tubuh pria lusuh itu dari atas hingga bawah. Tampak kotor dengan pakaian agak compang-camping. Seketika perasaan Aiden jadi tidak nyaman. "Aiden... aku merasa angin ini membawa pertanda buruk," bisik Axelia. Nadanya gusar. Dia merasakan embusan angin yang berbeda. "Jangan khawatir," sahut Aiden yang duduk di belakang Axelia, memegang tali pelana.

"Apa yang terjadi di desa itu?" Seingat Vincent, ada sebuah desa dibalik bukit itu.

Pria lusuh itu menggigil ketakutan. Lalu tiba-tiba menyeringai lebar dan tertawa seperti orang gila. Membuat mereka meragukan kewarasannya. "Aku menunggang kuda dan tersesat. Semuanya terjebak di dalam. Kau tak boleh membebaskan orang jahat." Bicaranya melantur. Sekalipun dia orang gila, ucapannya meneguhkan hati Vincent sehingga mereka memecut pelana dan berkuda lurus terus. Bukit mulai terlihat di sela-sela batang pepohonan ketika mereka semakin memasuki wilayah dengan awan mendung.

Hutan menjadi sedikit gelap dari sebelumnya. Hingga tiba di depan desa, gerbang kayunya kelihatan sudah rusak seperti didobrak sesuatu yang keras. Kuda mereka berjalan di jalanan utama desa. Tidak ada tanda-tanda kehidupan dari setiap rumah di sekeliling. Semua rumah tampak tertutup rapat. Seorang pun tidak mereka lihat. "Ini seperti desa mati," komentar Hannah merasa ngeri dengan mata memindai awas.

"Oh! Lihatlah di sana!" kaget Cellios. "Apa itu manusia?" Ditemukannya sebuah tubuh utuh manusia tergeletak di kolong merupakan pemandangan aneh jika manusia itu hidup dan waras. Benar, seonggok tubuh manusia itu tidak kelihatan hidup apalagi bergerak. Vincent memerintah salah seorang untuk memeriksa keadaan.

Seorang tentara Nightroad Zero melompat turun dari kudanya. Dia berjalan mendekati tubuh manusia itu untuk memeriksa dengan lebih dekat. Dia menariknya keluar dari kolong gerobak jerami itu. Seketika matanya terbelalak. Seluruh kulit manusia itu membiru abu-abu. Juga tubuhnya sudah sangat kamu untuk seukuran orang bernyawa. "Dia sudah mati!" teriak tentara ini berpaling memunggingi. Ketika itu sepasang mata terbuka tiba-tiba. Secara ajaib tubuh manusia itu bangun, dan tentara ini menoleh. Dia terkaget. Ketika otak terlambat mencerna keajaiban di depan mata, serangan tiba-tiba berhasil membekukannya. Dengan taring tajam, makhluk manusia-mati itu menggigit kuat leher sang tentara.

"Makhluk Exval...." gumam Aiden.

Berikutnya, suara kegaduhan terdengar dari arah belakang mereka, di mana para anggota sedang berpencar memeriksa keadaan desa. Kuda-kuda meringkik gelisah. Tidak satu atau dua Exval menyerang, makhluk itu kini bermunculan dari arah depan Vincent. Mereka keluar dari setiap persembunyian. Lusuh dan pucat pasi persis bak mayat hidup, memang level Exval.

Jika semua warga desa telah menjadi Exval, itu artinya ada seseorang yang menjangkiti darah mereka, pikir Vincent. Dia merentangkan sebelah tangan sambil berteriak tegas. "Semuanya! Bunuh mereka tanpa tersisa satu pun!" Melaksanakan perintah, mereka turun dari kuda dan mengeluarkan pedang dari sabuk masing-masing.

Vincent memecut kudanya dan dia berlari lurus, membelah jalan sekaligus menabrak para Exval. Mau ke mana pria itu? Benak Axelia bertanya-tanya. "Axelia, kau tunggu di kuda." Aiden lompat turun ketika Exval mendekati mereka. Bersiap dengan pedang di tangan kanan, dia mengayunkan pedang. Menebas setiap tubuh Exval sebisa jangkauan pedangnya. Dalam sekejap lelaki itu disibukkan dengan pertarungannya.

Axelia masih duduk di atas punggung kuda di mana dirinya serta Aiden dikepung oleh level Exval dari berbagai sisi. Mereka semua dulunya adalah manusia. Membayangkan kehidupan normal mereka sebelumnya, Axelia jadi merasa prihatin. Ketimpangan dunia telah merenggut orang-orang tak berdaya. Apa tak ada yang bisa dia lakukan?

Satu hentakan tiba-tiba dari belakang, menyentak kaget kudanya. Seketika Axelia terbawa lari. "Huaaa!" teriak Axelia. Suaranya menjauhi area pertarungan. Aiden mengetahui itu. Sekali pun ingin menghentikan Axelia, dia tidak bisa menghentikan kuda yang sedang berlari sementara dirinya sedang bertarung. Aiden berharap gadis itu baik-baik saja.

"Bagaimana mana ini?" panik Axelia. Kudanya terus berlari liar dan dia terombang-ambing di punggung kuda tanpa kemahiran dalam mengendalikannya. Hingga sebongkah kayu menyaruk kaki kuda, kuda yang tersandung mendadak itu melemparkan tubuh Axelia. Dia terjerembab ke tanah. Kemudian dengan lancang, kuda cokelat itu malah berlari meninggalkannya.

Axelia beringsut sambil mengaduh sakit. Jatuh dari kuda bukan ide bagus. Walaupun akhirnya dia terlepas dari keadaan heboh seperti tadi. Sejenak Axelia terdiam untuk mengenali di mana dia berada sekarang. Tepat di depannya ada sebuah jalan menanjak.

***

"Rupanya kau dalang dibalik tragedi di desa ini?" kata Vincent. Nadanya datar, sedatar ekspresi wajahnya di hadapan seorang pria berjubah putih. Mereka berada di dalam gereja.

Pria berjubah putih itu tersenyum. "Kenapa seorang komandan Nightroad Zero berada di desa?" tanya pria baya ini. Berdiri tenang di atas altar. Senyum di wajahnya jadi kelihatan mengerikan di tengah kekacauan desa.

"Kau tak bisa memperdayakanku, makhluk kotor," umpat Vincent tanpa gemetar sedikit pun. Lalu perlahan pria baya itu melangkah turun sambil menyeringai lebar. Perlahan-lahan pula wujudnya berubah bentuk saat mengatakan. "Kau bukan lawan yang bisa diremehkan." Tubuhnya membesar dengan otot-otot kerasnya yang terlihat mengintimidasi.

Vincent tetap berdiri di tempatnya dengan ketenangan luar biasa. Seolah-olah makhluk di depan mata itu tidak pernah terlihat. "Kau terlalu mengandalkan ototmu, wahai makhluk neraka," kata Vincent ketika perwujudan pria baya telah benar-benar sempurna dalam bentuk aslinya.

"Aku tidak melakukan kesalahan apa pun," ucap makhluk itu nyaris seperti suara bisikan. "Aku hanya mewujudkan keinginan para manusia bodoh itu yang menginginkan keabadian."

"Termasuk pendeta ini?" sahut Vincent. Merujuk pada sosok pria baya tadi.

"Dia mengingkari janjinya."

"Apa yang dia janjikan?"

Makhluk itu terkikik. "Menemukan seorang anak manusia."

***

Ketika tiba di atas bukit, sebuah pemakaman ditemukan di pekarangan samping bangunan gereja. Makam milik penduduk desa yang meninggal dunia. Pada saat yang sama, suara-suara gaduh terdengar dari dalam gereja. Axelia menoleh dan memandang lamat bangunan itu. Sebelum akhirnya dia mendekati temboknya. Mengintip dari jendela vertikal dengan hati-hati, mata jiwanga melihat dua bayangan sedang bertarung satu sama lain. Yang satu bayangan putih buram, yang satunya lagi bayangan merah dalam bentuk lebih tinggi.

Axelia menduga bahwa pemilik bayangan putih-buram itu adalah Vincent. Sebab, ke mana perginya Vincent tadi? Kalau orang itu bukan Vincent, lantas siapa yang bertarung sebegitu mahir melawan monster?

***

avataravatar
Next chapter