12 Mysterious Voice

"Kalau kau bertanya dengan benar, aku akan bercerita," balas Aiden sengit.

Julian terkekeh. Pikirnya Aiden orang yang peka. Julian baru sadar bahwa dia memang ingin tahu sesuatu mengenai klan legendaris -Hellius- dari keturunannya. "Dunia ini terasa tidak adil bagi mereka yang lemah, benar begitu kan?" Julian membalik lembar halaman buku.

Aiden diam. Setuju pada ucapannya. Sehingga dia tidak bisa menampik pernyataan tersebut. "Apa yang kau baca dibuku itu?" Aiden melempar tanya bernada agak heran.

"Hanya pengetahuan baru yang belum kuketahui. Aku perlu membaca di mana pun aku berada. Karena wawasan tidak hanya didapat dari perjalanan, tetapi sebuah karya tulis yang berasal dari dunia luar sekali pun." Julian membenahi posisi duduknya.

"Biasanya yang sering membawa buku di pakaian mereka adalah orang bangsawan," ceketuk Aiden menilai pria itu.

"Aku keturunan separuh bangsawan."

"Dan penyihir." Aiden menyambungnya.

"Seharusnya sekarang mungkin aku sedang hidup enak sambil meminum anggur mahal dan membuat perutku buncit, haha!" Dia tergelak. Pandangannya memandang awan, dan bukan tawa menggelitik perut. Terpendam sebuah sarkas dibalik kalimatnya yang kedengaran jelas menyesali sesuatu menurut opini Aiden. "Seorang anak haram?" ucap Aiden tanpa memfilter kata-kata.

"Bukan," jawab Julian menggeleng santai dengan mata terpekur pada buku.

Aiden menyarungkan pedangnya ke sabuk di pinggang. Dia mendesau panjang. "Sepertinya hanya aku yang beruntung di sini," komentarnya entah pada siapa.

"Beruntung karena apa?" sahut Julian, tanpa melihat lawan bicara.

"Secara fakta, aku sebatang kara sebagai Hellius. Aku mengetahui bagaimana orang tuaku sebelum mereka tewas. Masa kecil yang bahagia seperti bocah polos yang hanya tahu bermain."

"Lalu kebahagiaanmu terenggut oleh pemerintahan yang kejam?" sambung Julian.

Aiden meliriknya tajam. "Ya," tandas lelaki ini.

"Bagaimana dengan gadis itu? Jika dibilang saudara kandung kalian berdua sangat berbeda. Tidak ada satu kemiripan pun dari fisik kalian, yah, kecuali aku bisa melihat bola matanya yang mungkin serupa,"

"Orang tua kami bersahabat baik sehingga anak-anak mereka pun saling menjalin pertemanan. Meskipun dia gadis yang mandiri, di mataku dia gadis yang membutuhkan perlindungan."

"Kau tidak pernah jatuh cinta padanya?"

Aiden tersentak. "Apa-apaan itu!"

"Jadi, kau menemaninya karena kasihan sebab dia buta?"

Rahang Aiden mengeras. Lirikan tajamnya bisa saja menggores kulit seseorang. Sialan betul ucapan Julian ini. Sudah dua kali pria itu menyinggung perasaannya. Bicara dengannya hanya mengundang emosi negatif saja!

Bruk!

"Lebih baik kita minum anggur sebelum perjalanan jauh." Bernandes datang. Melempar kantong air secara tiba-tiba. Aiden menangkapnya dengan sempurna. Menatap sejenak kantong pipih seukuran saku pakaian itu sebelum dibuka tutupnya dan merasakan hangatnya anggur merah menggelinding ke tenggorokan.

***

Gelap. Itulah dunia tanpa cahaya yang tak pernah membiarkan Axelia melihat keindahan dunia. Antara sadar dan tidak Axelia berdiam di dalam kegelapan yang tak berujung. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Seharusnya dia dapat merasakan embusan angin, gelinya rerumputan di kaki, atau hawa keberadaan orang-orang termasuk Aiden. Tetapi di tempat gelap ini mata jiwanya tidak menemukan salah satu pun. Warna hitam pekat memenjarakannya.

"Axelia..." bisik seseorang. Sehalus belaian angin bisikannya.

"Axelia..." Lagi bisikan tak kasat mata memanggil namanya.

"Siapa?" tanya Axelia. Dia tidak bisa menebak-nebak.

Sebuah seringaian muncul. Sosok itu menyeringai seram di tengah gulita yang tak dapat tersentuh pandangan Axelia. Kemudian seringai itu bergerak mundur dan kegelapan menelannya total.

Axelia terbangun!

Indra perabanya berfungsi lagi. Kali ini dia dapat merasakan tubuhnya sedang berbaring. Selimut entah dari siapa sudah menutupi separuh tubuhnya. Axelia bangkit perlahan dan duduk sebentar. Dia tidak tidur sendirian di dalam tenda ketika nalurinya merasakan kehadiran di samping. Sosok Hannah masih lelap dalam tidurnya.

Axelia menyingkap selimut, dan berdiri ke luar. Keheningan alam dapat dia dengar. Itu artinya belum ada kegiatan yang dimulai oleh orang-orang di sini. Semua orang belum terjaga dari mimpi mereka. Axelia tidak berniat membangunkan seorang pun, dan dia menikmati udara pagi dengan berjalan-jalan menuju ke asal suara air. Karena mendengar aliran air yang diduga merupakan sungai. Suara air itu menuntunnya masuk ke dalam hutan dengan meninggalkan perkemahan.

Setelah Axelia menyusuri jalan setapak, merasakan embun rumput membasahi kaki telanjangnya, tanah yang masih lembab karena pagi, dia berhenti ketika mata jiwanya menemukan sesuatu tergeletak di sana dengan tak jauh dari sungai. Adalah serigala mati.

Axelia merasa tidak menyangka akan menemukan hewan pemakan daging ini tergeletak mati dengan kondisi mengenaskan. Sebagai seorang penyayang hewan, Axelia sedih. Sangat disayangkan. Apa yang membuat binatang ini harus mati? Apakah mati setelah berjuang melawan predator lain? Axelia terdiam berpikir. Jika diperhitungkan, jarak dari sini ke perkemahan tidak terlalu jauh.

Karena makhluk Exval? Sepertinya kurang masuk akal. Mengapa memilih hewan sebagai mangsa, bukannya manusia dalam kelompok perkemahan? Pula Axelia tidak menemukan jejak Exval di sekitar.

Tunggu dulu, Axelia pernah mempelajari sesuatu mengenai perburuan hewan oleh paman pengasuhnya, William. Pertama, serigala ini mati dalam kondisi tubuh setengah terbuka. Nyaris tanpa darah. Seolah-olah darahnya menganak sungai di suatu tempat. Namun, tidak ada bekas darah mengalir di sekitar tanah dan rerumputan. Kecuali area pada tubuh yang terluka parah. Kedua, saat Axelia meraba permukaan alam sekitar, baik rerumputan, semak-semak, hingga tanah, dia tidak menemukan jejak sisa pertarungan hewan. Axelia tidak ingin menyimpulkan apa yang diduga otaknya. Terlalu dini jika mengira bahwa serigala ini langsung mati ditempat oleh sesuatu yang memiliki kekuatan besar.

Angin berdesir. Tiupannya terasa kurang bersahabat dibenak Axelia. Dia membeku sesaat. Merasakan setiap pergerakan angin yang begitu hening. Sampai akhirnya nalurinya merasakan kehadiran dari sisi lain. "Apa yang kau lakukan di sini?" Begitulah suara seseorang bertanya. Axelia mengenali. Ingat begitu jelas pemilik suara bernada dingin itu. Maka, Axelia bangkit dari jongkoknya, lalu berputar arah sehingga berhadapan dengan Vincent. "Aku menemukan serigala mati di sini," jawab Axelia polos.

Atensi Vincent bergeser ke samping bawah kaki Axelia. "Lalu, mau kau apakan?" tanya pria itu.

"Aku merasa aneh dan curiga. Aku meneliti penyebab kematian serigala ini. Tapi aku tidak mendapat jawabannya," sedih Axelia. Tentu saja dia tidak akan mengatakan mengenai apa yang disimpulkan otaknya sebagai jawaban dugaan. "Kalau kau sendiri, mau apa ke mari?" balas Axelia.

"Pemandangan hijau apalagi hutan sangat bagus untuk kesehatan, bukan?" Rupanya Vincent peka terhadap kesehatan. "Setibanya di kota, semua yang terlihat hanyalah bangunan. Dan hal itu seringkali menambah stress," jelasnya.

Dengan kondisi mata yang buta dan belum pernah bepergian ke kota-kota besar Atledrich, Axelia hanya bisa membayangkan wujud sebuah kota seperti yang dideskripsikan secara umum sebagai wilayah padat penduduk. "Aku jadi tidak sabar ingin cepat sampai di kota."

"Dalam beberapa hari lagi kota Maria sudah di depan mata, dan kau akan segera tahu kota berpenduduk seratus ribu jiwa lebih itu," pungkas Vincent datar. "Tetapi, matamu... mungkin kau hanya bisa merasakan saja." Ada sedikit nada simpati walau orangnya dingin dan tegas.

"Ya, kau benar. Aku tak bisa melihat secara normal. Namun aku dapat melihat sebuah kehidupan di sekitarku." Tersirat tanda kutip dalam salah satu katanya. Hanya orang yang cerdas dan peka untuk mengartikan maksud pernyataan tersebut.

Vincent tersenyum tipis. "Mata jiwa, ya?" ucap pria ini. Lalu memutar badan dan melangkah maju sembari berbisik. "Kau cukup istimewa." Satu kalimat pelan langsung lenyap dibawa angin. Sehingga Axelia tidak dapat mendengar apa yang pria itu ucapkan barusan.

***

Seekor burung gagak terbang rendah. Lalu berhenti di lengan salah seorang kopral. Gulungan kertas tersemat di kaki merpati. Kopral itu membuka gulungan kertas kecil sebelum membacanya.

Berlalunya gadis itu rupanya menarik obsidian tajam Vincent yang berdiri beberapa meter di sana. Sekilas dia melihat Axelia pergi ke arah hutan sendirian sebelum pandangannya teralih oleh kedatangan seorang kopral yang melaporkan kabar. "Komandan, menurut kabar dari Hedor¹, kita tidak bisa melewati jalan di depan karena longsor menutup terowongan tebing."

"Kita akan lewat rute lain." Ada banyak cara ke tempat tujuan, meski harus memutar arah lebih jauh. Vincent merasa dirinya tidak perlu terburu-buru. Tidak tahu mengapa, langit yang melukiskan biru cerah biasanya pertanda nasib baik. Atau justru sebaliknya?

***

avataravatar
Next chapter