9 Morning In The Village Rumh

***

Sinar mentari pagi benar-benar mengheningkan keadaan desa Rumh atas kekacauan semalam. Kini menyisakan puing-puing bangunan di mana hampir semua rumah setengah hancur. Cipratan darah menyelimuti atap, dinding, hingga tanah yang lembab. Mayat bergelimpangan dalam kondisi mengerikan: potongan tubuh manusia maupun organ dalam, berserakan di sejauh mata memandang.

Pemandangan yang bisa membuat perut mual seketika. Keberadaan tentara Nightroad Zero telah meminimalisir korban jiwa. Sehingga sebagian warga berhasil terlindungi dari serangan monster malam. Namun, peristiwa semalam juga meninggalkan trauma dan syok berat dialami sejumlah warga. Suara tangis anak-anak yang kehilangan orang tua, para wanita dewasa yang berusaha tegar, dan kaum pria termenung dengan dahi mengerut dalam.

Tanah lembek dipijak derap langkah seseorang. Axelia terlihat baru saja tiba di alun-alun desa tempat di mana warga selamat berkumpul. Bersama Aiden dan Vincent di kedua sisinya, mereka berjalan perlahan melewati acuh tatapan warga desa. Urat kebencian mulai bermunculan di ekspresi muka warga kala melihat Axelia dan Aiden.

Beragam senjata, mulai dari sekop sampai belati, tergenggam di tangan-tangan mereka. Mencengkramnya kuat seolah siap dihunuskan terutama pada gadis buta itu. Namun, mereka hanya bisa berdiri menahan emosi manakala kehadiran sang komandan NZ berada di dekat dua terduga pemagis. Bukannya ragu-ragu menyerang maju, akan tetapi Vincent merupakan sosok berpengaruh bagi mereka.

Dari arah berlawanan, seorang pemuda pendek datang mendekat. Fitur wajahnya yang riang dan terlihat bak seorang bocah remaja, tanpa diduga adalah seorang tentara inti NZ ketika dia memberi hormat di depan Vincent. "Lapor, komandan! Hampir banyak warga tidak terselamatkan. Akan tetapi warga yang terluka dan selamat, sedang dalam pengobatan oleh kopral Hannah." Dia mengatakannya dengan tegas khas orang militer.

"Bagus, Cellios. Kita akan segera pergi ke Kota Maria," kata Vincent.

"Tolong suamiku! Tolong!" Seseorang berteriak. Terlihat sepasang suami-istri berjalan tertatih sambil merangkul suaminya yang terluka. Si suami segera dibaringkan di tanah. Kondisi yang memprihatinkan, mengundang simpatik orang di sekitar. Tetapi mereka tidak tahu harus melakukan apa.

Axelia meninggalkan tempatnya. Bergerak maju ke arah suami-istri tersebut dengan berjalan tanpa alat bantu ataupun tongkat. Dia melangkah secara alami dan terlihat normal. Melewati orang-orang di sekitar yang menatapnya waspada.

"Tunggu, mau apa kau penyihir!" Seorang pria mengacungkan tombak di depannya. Dengan tenang Axelia menahan langkah. Sama sekali tidak memperlihatkan reaksi tubuh yang ketakutan atau panik walau mata pisau tepat di wajah. Axelia mulai membuka bibirnya yang pucat. "Kalau pria itu tidak segera diobati, lukanya akan menjadi infeksi. Apa kau berniat membiarkan dia seperti itu saja?" ucap Axelia dengan nada datar.

"Tentu saja tidak!"

"Aku tak punya waktu untuk berdebat denganmu. Tolong menyingkirlah jika kau ingin dia selamat," ucap Axelia sekali lagi. Dia kelihatan sangat sabar.

"Berikan jalan untuk gadis ini." Kalimat bernada perintah terucap dari mulut Vincent. Mereka tersentak, tapi pada akhirnya pria paruh baya itu menyingkir dan kemudian Axelia menjejak maju.

Gadis itu duduk bersimpuh di hadapan orang terluka tadi. Tangannya terulur menyentuh pergelangan tangan pria itu, dan merasakan denyut nadinya di sana. Tindakan halus Axelia membuat orang di sekitar menjadi tegang. "Kau harus secepatnya di operasi. Aku butuh alat operasi," kata Axelia.

"Tunggu, akan aku ambilkan!" seru seorang anak perempuan. Anak itu bergegas lari. Sejenak meninggalkan si nenek yang tampak masih menggenggam bunga mawar putih.

Tidak berselang lama anak itu kembali dengan membawa kotak berukuran sedang. Meletakkannya di samping Axelia yang bersimpuh di tanah. "Kau menyelamatkan barang berharga ini, Violet," ucap Axelia sedikit terkejut. Padahal seingatnya, rumahnya sudah diacak-acak dan dibakar oleh sekte gereja sebelum dirinya dibawa ke penjara.

"Hehe, aku menyelinap dari pintu belakang, dan mengambil apa pun yang menurutku itu sangat penting bagimu."

"Terima kasih," desah Axelia. Axelia mulai melakukan operasi. Dia mengambil sarung tangan ketatnya. Saat hendak dipakai, sebuah tangan mencengkram pergelangan tangannya.

Aiden menahan pergerakan Axelia secara tiba-tiba. "Kau mau mengobati pasienmu dengan jari terluka begitu?!" Tersirat kekhawatiran dibalik nadanya yang meninggi.

"Operasi ini hanya berlangsung beberapa menit saja." Axelia keras kepala. Lalu mulai memasukkan jari jemarinya ke sarung tangan operasi perlahan-lahan. Dia menggigit bibir dalamnya ketika perih itu menjalar luar biasa dari ujung jarinya. Sedangkan Aiden mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Karena tidak dapat menghentikan aksi Axelia untuk melakukan operasi, Aiden merasa dirinya tidak berguna. Kesal pada diri sendiri, sampai menyesakkan dada.

Axelia terdiam dengan sikap seakan menatap lubang di pinggang pria yang sudah pingsan ini. Kemudian dia menengadahkan tangan kanan sambil berkata: "gunting." Violet sigap meletakkan gunting operasi ke telapak tangan Axelia. "Arterinya putus. Aku harus memperbaikinya," desis Axelia.

"A-apa yang pemagis itu lakukan!!! Kalian! Kenapa kalian membiarkan pemagis itu yang seharusnya dihukum mati semalam!" bentak seseorang. Tinggi suaranya membuat keheningan jadi pecah. Muka pendeta itu memerah berang. Menatap penuh cela pada Axelia, seolah-olah gadis itu adalah pendosa besar yang menjijikan.

"Dia pemagis iblis! Bunuh dia sekarang!" tunjuk pendeta itu dengan muka berangnya. Warga nampak setengah ragu mengangkat senjata di tangan masing-masing.

"Hoi, pak tua!" sela Aiden. Melangkah maju. Sudah muak dengan pendeta macam itu. "Apa sepantasnya seorang pendeta membawa pedang dibalik jubah mereka?" Ucapan Aiden mengundang bisik-bisik warga di sekitar. Menjadi tegang wajah pendeta itu. "Apa seorang pendeta sepertimu pantas membunuh orang tidak bersalah mengatasnamakan kepercayaan?" Aiden maju, dan pendeta itu terdesak mundur, meskipun masih berjarak dua meter.

"A-apa yang kalian lakukan! Bunuh penyihir ini!" teriak pendeta itu ketakutan. Tetapi, Aiden terus membusungkan dada. Berusaha menahan gejolak amarah yang tercetak pada urat-urat tangannya.

Hati Aiden semakin memanas. Dia pikir, inilah saatnya untuk mengeluarkan unek-unek yang telah lama tertahan ditenggorokan. "Berterima kasihlah kepada Axelia." Lelaki itu berkata dengan nada terkontrol. "Karena dia telah menyelamatkan desa ini dari monster iblis selama bertahun-tahun sebelum kau memenjarakannya. Lalu menghasut warga untuk membunuh orang lain dengan alasan sebagai penyihir ilmu hitam. Padahal kalianlah yang membuat kerusakan pada tempat tinggal kalian sendiri." Ketika itu, sebelum Aiden selesai bicara, satu per satu warga menghunuskan senjata pada tubuh sang pendeta. Serangan pisau hingga perkakas ladang, menghujani pendeta itu dari berbagai arah. Mulai dari dada, leher sampai kepala tidak luput dari tusukan senjata mematikan mereka.

Kegaduhan di sekitar, tidak membuat konsentrasi Axelia buyar. Gadis itu terlihat sangat fokus mengoperasi pasiennya. "Benang," pinta Axelia, dan kemudian Violet memberikan benang operasi ke telapak tangannya. Anak perempuan itu membantu Axelia melakukan operasi sebagai asisten.

Menarik seutas benang bukanlah perkara sulit. Namun, kali ini Axelia merasakan seperti menarik benang yang diikatkan pada seekor sapi. Terasa berat bagi jemarinya yang terluka, sakit luar biasa pada kedua tangannya, dia tahan sekuat tenaga demi menyelesaikan operasi ini. Terlihat samar tangan Axelia gemetar ketika menarik benang ke atas. Lalu dengan ketenangan stabilnya, dia melakukan gerakan menjahit.

Kemampuannya mengoperasi dengan kondisi buta mata, membuat orang di sekeliling tercengang melihatnya.

"Sudah selesai. Dia akan baik-baik saja setelah ini," ujar Axelia.

Setengah percaya dan tidak percaya, tapi nyatanya mereka melihat proses operasi itu dengan mata kepala sendiri.

avataravatar
Next chapter