17 Little City Gordian

Aiden memancing ikan di sungai ketika karavan mereka berhenti sebelum matahari terbenam. Tak sengaja manik Aiden menangkap lilitan kain di lengan kanan bawah Axelia yang sedikit tersingkap lengan pakaiannya. Bukan karena terluka. Lilitan kain itu hampir tidak pernah dilepaskan. Bukan kali pertama bagi Aiden melihatnya.

Namun, bertanya pun tidak mendapatkan jawaban. Axelia selalu mengatakan kalau kain itu tidak boleh dilepas. Yang Aiden tahu, sewaktu diberi kesempatan lihat oleh gadis itu, dibalik lilitan kain, terdapat sebuah gambar. Kalau tanda lahir tidak mungkin terbentuk sejelas seperti itu. Aiden pernah bertanya pada paman William yang merawat Axelia. Yang didapat hanya permintaan untuk menjaga gadis itu apa pun yang terjadi. Sama sekali tidak menjawabnya.

Sejak saat itu rasa janggal menyergap benak Aiden. Paman William maupun Axelia seakan menyembunyikan sesuatu darinya. Padahal dia sudah sering bersama mereka sejak kecil, tapi dua orang itu seolah masih belum menaruh kepercayaan kepadanya untuk berbagi cerita. Banyak sekali yang tidak Aiden ketahuan tentang Axelia. Misalnya saja orang tua gadis itu, siapa, di mana, dan mengapa meninggalkan Axelia yang masih belia hidup sendiri. Hingga detik ini Aiden belum tahu asal usul gadis itu.

"Untukmu," kata Aiden menyodorkan ikan bakar hasil pancingannya tadi.

"Terima kasih, Aiden," sambut Axelia. Dia meniup pelan ikan bakarnya yang ditusuk ranting.

"Hey, pasangan!" seru Hannah menghampiri. "Asyik makan berdua saja."

"Apa kau tahu jalan seperti apa di depan nanti?" Aiden melempar tanya.

"Kita akan melewati kota kecil di kaki gunung untuk bermalam di sana."

"Aku belum pernah melihat ada kota kecil," komentar Aiden. Hannah menipiskan bibir. "Kota kecil itu lebih menyenangkan daripada yang dibayangkanmu," balas wanita ini kemudian beranjak.

***

Derap sejumlah kuda mulai terlihat dari kejauhan oleh jangkauan mata dua pria penjaga gerbang kota. "Kita akan kedatangan pengunjung," kata penjaga bertombak. Seorang temannya menajamkan pandangan. Seekor kuda putih berderap memimpin kuda-kuda lainnya bersama penunggang. "Sepertinya mereka habis bertarung," komentar penjaga satunya.

Perlahan tapi pasti saat sosok mereka semakin dekat, salah satu penjaga itu tercengang. "Beritahu menara kalau komandan Nightroad Zero datang!" perintahnya. Temannya terkesiap dan berlari pergi. Hingga pintu gerbang terbuka dari dalam, dan rombongan setengah lusin kuda itu berderap gagah melewati penjaga gerbang yang berdiri tegap sambil memegang tombaknya. Hanya bermodalkan wajah seorang komandan militer khusus -Vincent, anggota lain yang mengikutinya tidak harus melalui pemeriksaan ketat. Kekuasaan seseorang bisa membuat hidup jadi praktis.

Diujung terowongan pendek, seorang pria sudah menyambut mereka di atas kudanya. Sejenak kuda mereka berhenti. "Selamat datang di kota kecil kami. Perkenalkan, namaku Ello, tangan kanan walikota Gordian. Walikota menyambutmu di rumahnya, silakan ikut aku untuk bertemu beliau. Dua atau tiga sebagai perwakilan," ucap pria itu melirik sekilas pada kuda di belakang. "Dan sisanya tetap di sini."

Kota yang tampak damai, bersih, dan tenang. Orang-orang yang mereka -Vincent, Aiden dan Axelia- lalui juga tampak ramah menyapa. Aiden berpikir dia akan betah berada di kota ini.

***

Ketika pintu ganda terbuka lebar, pemandangan berkilau menyambut mata mereka. Sebuah meja panjang di tengah aula itu menyuguhkan banyak sekali makanan. Dari buah sampai daging besar.

"Tuan walikota, komandan pasukan khusus Nightroad Zero sudah tiba, bersama dua pengikutnya," lapor Ello. Di atas singgasana, sang walikota gemuk duduk dengan gaya berkuasanya. Perut bulatnya terlihat hampir membenamkan pria baya itu.

"Selamat datang Komandan Vincent. Sepertinya kau membawa orang baru?" kata walikota memandang Aiden dan Axelia.

"Seperti yang Anda duga, tuan walikota. Kami mengunjungi kotamu untuk bermalam di sini," ucap Vincent.

"Aku dengan senang hati melayani kalian selama berada di kota kecil ini. Ngomong-ngomong, apa gadis itu buta?"

"Benar, tuan walikota." Axelia menjawab sendiri.

"Menarik," bisik walikota dengan senyum tipis yang miring. "Nikmatilah semua yang ada di kota kecil kami. Ello, antar mereka ke penginapan!"

Senyuman aneh di wajah bulat walikota mengantar kepergian mereka keluar dari ruangan.

***

Meriah. Ketika malam menutup lazuardi, gemerlap lampu menyemarakkan kota kecil Gordian. Sebuah pemandangan yang menyenangkan. Baik Aiden maupun Axelia juga terkejut dengan kemeriahan di kota. Jika Aiden dapat melihat, maka Axelia dapat mendengar keramaian di sekitar.

Ello memandu mereka bertiga berkeliling. Sementara anggota Nightroad Zero sisanya pergi berpencar menikmati suasana kota. Mereka melewati etalase pertokoan yang masing-masing kacanya memperlihatkan suasana di dalam. Termasuk keberadaan Bernandes yang sedang berpesta miras di salah satu kedai bersama sejumlah penduduk pria. Sorak sorai mereka sampai terdengar ke luar. Gaun pengantin di etalase terpajang begitu cantik tanpa seseorang memakainya. Jika kedai miras tadi terlihat sangat berisik, perbedaan jelas terlihat di salah satu restoran di mana Julian dan Cellios menikmati secangkir kopi dan teh dengan tenang dan elegan. Mereka terlihat duduk berhadapan di samping jendela.

Lalu di taman, sekelompok wanita tampak asyik menari dengan rok payung mereka. Diiringi musik oleh beberapa pria. Suara keletak-keletuk pantofelnya menunjukkan keahlian tari kaki jenjang mereka. Dan di antara para wanita muda Gordian yang sedang menari, Hannah menjadi salah satunya di sana. Oh, bahkan tak disangka jika wanita kasar itu bisa menari selayaknya wanita normal pada umumnya.

Kemudian Ello dan tiga turisnya berhenti di alun-alun. Sebuah podium kecil berdiri di tengah-tengah. Semua kalangan, anak-anak hingga orang tua, duduk berderet dengan muka serius di bangku depan panggung. "Setiap malam akhir pekan, kami selalu mengadakan pertunjukan drama yang dilakoni warga kami sendiri," jelas Ello.

"Hai," sapa seorang wanita baya.

"Perkenalkan, dia adalah istriku," kata Ello.

"Apa kalian mau menonton drama ini?" ujar wanita itu ramah. Akhirnya mereka menerima tawaran itu dan duduk di bangku kosong.

Di atas podium itu, aktor seorang kakek berbicara dengan wajah seramnya. "Akan berbahaya bila salah satu Exval itu lolos. Petaka bisa menghampiri sebuah pemukiman manusia. Dan dia mengubah penduduk menjadi makhluk mutan yang disebut Exval."

Penonton anak-anak mengerut takut diketiak ibunya.

***

avataravatar
Next chapter