22 Like A Dog

Mungkin Aiden memang mempunyai sifat setia seperti anjing terhadap tuannya. Bahkan dia sempat meringkuk tidur di depan pintu kamar Axelia selama sepagian, dan Aiden belum beranjak jauh-jauh dari tempat Axelia istirahat sejak gadis itu pingsan tadi subuh. Terkadang Aiden bolak-balik masuk ke dalam kamar hanya untuk memeriksa Axelia. Muka lelaki itu lusuh, dia lemas seakan energinya telah menguap melihat Axelia belum menunjukkan tanda-tanda sadar. Benaknya masih digerogoti seribu cemas. Akan tetapi dia tidak bisa melakukan apa pun selain menunggu penuh harap gadis ini akan terbangun. Axelia tidak memiliki luka luar ataupun dalam, karena hal itu Cellios sebagai petugas medis tidak bisa melakukan tindakan setelah diperiksa menyeluruh.

Tidak ada yang dapat menghentikan kekhawatiran lelaki itu. Baik Vincent maupun yang lainnya memilih membiarkan Aiden kalut dalam dunianya. Mengingat Aiden merupakan kerabat dekat Axelia, maka sudah sewajarnya bila Aiden seresah itu. Sedangkan mereka juga tidak bisa berangkat meninggalkan kota Gordian hari ini sebelum Axelia sadar. Berbeda dengan Aiden, Vincent terlihat begitu tenang melalui setengah hari yang damai ini setelah peristiwa semalam. Pria itu memandang jauh di balkon koridor. Tidak ada siapa pun di sekitarnya hingga teguran halus menarik lamunan Vincent. "Kau sebenarnya khawatir pada gadis itu, bukan?" Pemilik nada tenang bermakna tuduhan itu seakan berhasil menembus pikiran Vincent.

Vincent tersenyum tipis. Sangat samar terlihat. Kemudian dia memutar tubuhnya dan berhadapan dengan Cellios. Entah sejak kapan pemuda kecil itu sudah berdiri di sampingnya dan mengamatinya dengan cermat. "Apakah aku tampak seperti itu?" Vincent melayangkan tanya dengan ketenangan yang stabil. Biasanya orang luar tidak dapat menerka situasi Vincent saat ini. Karena yang terlihat secara kasat mata dari sosoknya hanya wajah dingin nan keras seperti tentara yang selalu serius. Tetapi tidak berlaku di mata Cellios. "Sangat terlihat," pungkas pemuda pendek ini.

Vincent mengakui kemampuan pengamatan Cellios yang pernah berprofesi sebagai detektif swasta sebagai pekerjaan sampingannya dari seorang dokter. Meskipun pemuda itu tidak memiliki kemampuan berkelahi dengan baik, kemampuannya sebagai ahli medis sangat dibutuhkan dalam suatu kelompok. Vincent jadi ingat saat pertama kali merekrut Cellios ke dalam anggota inti. Sejak saat itu Vincent merasa seolah tidak bisa menyembunyikan apa pun dari pengamatan tajam Cellios. Demi kelancaran tugas sebagai tentara khusus, Vincent mampu menyeimbangkan kekuatan timnya dengan diisi orang-orang berpotensi. "Apa kau mengetahui alasannya?" tanya Vincent.

"Tidak tahu pasti," jawab Cellios ragu. "Aku tidak ingin langsung menyimpulkan bahwa kau menyukai gadis itu."

"Menyukai gadis itu, ya?" Vincent mengulang kalimat terakhir Cellios dengan nada rendah. Kedengaran asing bagi Vincent, tetapi perasaan nyaman justru menyeruak dibenaknya. Vincent kembali tersenyum kecil. "Ah..., aku tidak percaya ini," bisiknya pada diri sendiri.

"Jangan ceritakan kepada siapa pun," ucap pria itu.

"Apakah aku tipe orang bermulut besar?" Cellios membalas dengan tanya. Dan Vincent mendengus percaya padanya.

***

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Axelia berani. Dia kembali berada di dalam kegelapan yang sama.

"Aku? Aku adalah dirimu," jawab sosok tak berwujud itu. Suaranya terdengar di segala arah. Sehingga Axelia tidak dapat memastikan keberadaan pemilik suara misterius itu.

"Kau punya teman-teman yang sangat baik," kata suara itu lagi dengan terselip nada iri. Tetapi, ucapannya malah kedengaran aneh di rungu Axelia. Gadis ini mengerutkan dahi. "Apa kau sedang mengejekku?" balas Axelia tersinggung. Pasalnya dia tak pernah ingat punya banyak teman semenjak dulu. Menjalin pertemanan adalah hal yang sulit Axelia lakukan. Karena sebelum dia mendekat, semua orang sudah berlari menjauh. Mereka ketakutan, pula menganggapnya sebagai kotoran yang menjijikan. Axelia terkenang saat dirinya dilempari kerikil oleh anak-anak seolah sedang mengusir setan.

"Kau beruntung memiliki Hellius di sisimu. Dia seperti serigala berbulu abu-abu," kata suara itu. Hellius... Aiden bukan teman masa kecilnya, karena mereka bertemu ketika lelaki itu masih remaja oleh paman William. "Kau tak pernah menjawab pertanyaanku, wahai yang mengaku sebagai diriku," sarkas Axelia. Menuntut pemilik suara yang sedang bicara dengannya.

"Kau tak perlu mencari tahu diriku. Karena aku adalah dirimu. Kita adalah satu kesatuan yang terpisah." Dia sama sekali tidak beniat menjawab Axelia. Malahan menimbulkan tanda tanya lagi di dalam otak gadis itu. Membuat pusing di kepalanya bertambah. Sebegitu sulitnyakah dia mendapat jawaban pasti?

***

Malam semakin merangkak naik ketika Vincent berjalan-jalan sendirian di koridor. Konyol jika alasan yang membuat dia tidak bisa tidur adalah percakapan dengan Cellios tadi siang. Pernyataan pemuda itu terus terngiang di kepalanya. Lalu Vincent berhenti di balkon luar lantai dua. Rahang tirusnya sedikit terangkat saat sepasang birunya menatap rembulan. Tatapan Vincent melembut. Sorot matanya sangat tidak mencerminkan pria itu sebagai sosok yang serius dan berwibawa.

Dia merasa deja vu. Sebuah perasaan yang pernah dialami, akan tetapi dia tak pernah ingat hal tersebut. Apapun itu, dua sisi menyatu dalam benak: Vincent menyukai perasaan deja vu ini sekaligus membenci perasaan ini seolah ada bara api yang membakar seluruhnya.

Cukup lama dia memandang sang ratu malam di mana malam ini berbentuk bulat penuh. Hingga awan yang berarak, bergerak menelan perlahan wujud anggunnya. Ketika itu, Vincent terbungkuk tiba-tiba sambil meremas bagian dadanya. Dia kelihatan kesakitan sampai-sampai leher putihnya menampakkan garis urat. Pagar pembatas balkon menjadi pelampiasan rasa sakitnya yang dicengkram kuat oleh jemari panjang itu. Dia menggeram kesakitan saat berusaha mengendalikan diri.

***

Axelia terbangun. Lalu beringsut duduk dan langsung menemukan seseorang tertidur bersimpuh di pinggir ranjangnya. Tanpa perlu menerka-nerka lagi, sudah pasti orang itu adalah Aiden. Lantas disentuhnya rambut cokelat lelaki itu, mengelus pelan dengan rasa sayang. Lelaki ini pasti sudah sangat menantikan dirinya terbangun, pikir Axelia. Tetapi mana tega dia membangunkan tidur lelap Aiden hanya untuk memberitahu bahwa dirinya sudah bangun. Akhirnya selembar selimut Axelia letakkan di pundak Aiden, sementara dirinya pergi keluar kamar.

Sepi menemani langkah telanjangnya di sepanjang lorong. Insting menarik langkahnya menuju ke suatu tempat yang dia sendiri tidak tahu tujuannya sebelum mata jiwanya mendapati wujud manusia berdiam diri di arah jam dua. Axelia mendekatinya. Bersamaan dengan punggung pria itu berbalik. "Axelia?" sebut Vincent dengan normal. Sedikit terkejut melihat Axelia sudah sadar bahkan bisa langsung berjalan.

"Ini sudah larut malam, kenapa kau belum tidur?" tanya Axelia.

"Aku tidak bisa tidur." Karena aku memikirkanmu. Sayangnya Vincent kehilangan keberanian untuk mengungkapkan kalimat yang berbisik di benaknya. Dia hanya memandang teduh Axelia. "Bagaimana kau mengetahui waktu siang dan malam?" tanya pria itu.

"Aku bisa membedakannya dari udara yang berembus di kulitku," jawab Axelia dengan senyum kecilnya yang membuat pipinya menghangat. Axelia tidak tahu sebab wajahnya jadi terasa hangat. Apakah karena dia menahan senyumannya, ya? Axelia tidak mengerti.

"Benarkah? Kau sungguh unik," puji Vincent. Seketika Vincent menyadari kata-katanya barusan. Apakah tadi dia memuji seorang gadis?

Dibawah sinar rembulan yang menyirami mereka, keduanya sama-sama merasakan wajah yang menghangat tiba-tiba.

***

Esok paginya rombongan Nightroad Zero tidak berniat tinggal lebih lama lagi di Gordian. Tidak hanya karena niat buruk warganya yang hampir mengorbankan Axelia sebagai tumbal, tetapi mereka harus bergegas ke kota Maria. Senyuman dengan lambaian lemah tangan warga mengiringi kepergian mereka dari Gordian. Pintu gerbang kembali ditutup rapat di belakang jejak kuda mereka. Dunia berbahaya sedang menunggu di setiap keputusan langkah.

avataravatar
Next chapter