6 Death For Sinners

Malaikat maut menunggu di altar, dan Axelia sedang meniti jalan menuju akhir riwayat. Bila Tuhan memanggilnya secepat ini, maka dia hanya bisa pasrah menerima cara dirinya akan mati. Terasa menyakitkan sekaligus indah. Menyakitkan saat benak merasakan ketidakadilan akan hidup ini. Sementara momen semua hari yang terlewati menjadi gambaran indah untuk terakhir kali. Betapa dia bersyukur hidup di dunia walau sekadar fana.

Tidak ada yang Axelia cemaskan sebelum mati. Karena gadis itu tak pernah berpikir akan ada yang menangisi kepergiannya untuk selamanya.

Tiba-tiba saja perjalanannya berhenti ketika langkah hilir mudik terdengar sibuk di gedung tahanan. Sipir yang mengawal Axelia sempat bingung sebelum rekan mereka menjawabnya. "Warga belum berkumpul di alun-alun. Mereka sedang memburu penyihir keturunan Hellius, dan juga pasukan berkuda Nightroad Zero datang di saat yang tepat!"

"Lalu bagaimana pelaksanaan hukuman mati ini?"

"Ini perintah pendeta untuk mengembalikan dia ke sel selagi mengurus kedatangan Nightroad Zero."

Seperti itulah yang Axelia dengar dengan jelas pembicaraan antar sipir tersebut. Hingga akhirnya gadis itu dimasukkan lagi ke sel tahanan. Bunyi gembok terkunci dan derap langkah yang menjauh menjadi pertanda lorong sel diselimuti kesunyian. Axelia merosot perlahan dengan lemas. Bahkan borgol di tangannya tidak dilepas. "Kuharap kau baik-baik saja...." bisiknya lirih.

Kembali di tengah konflik warga desa dengan Aiden, sang komandan menatap angkuh ketika Aiden berjalan maju. "Jadi kau komandan yang mereka puja-puji itu?" Ada nada kesinisan pada ucapan Aiden.

"Aiden Hellius. Kami mencarimu untuk menawarkanmu bergabung bersama Nightroad Zero." Kata-kata komandan militer di luar prediksi. Wajah terkejut warga tidak penting untuk diperhatikan olehnya.

"Seorang buronan sepertiku bergabung dengan Nightroad Zero?" Aiden mengatakannya dengan setengah tidak percaya. Seakan-akan dirinya sedang dipermainkan, Aiden mendengus kasar.

"Komandan Vincent!" tegur pendeta itu tercengang, seperti mendengar kata-kata yang tidak masuk akal baginya. "Apakah anda serius dengan ucapan anda?"

Lirikan tajam mata Vincent seketika membuatnya tercekat diam. Vincent menatap Aiden lagi. Sorot matanya yang mantap, mempertegas perkataannya tadi. "Aku dan prajuritku berkeliling untuk mencarimu, tuan Hellius," ujar Vincent sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan Aiden.

Sementara Aiden yang tiba-tiba ditawari hal itu, masih mematung guna mencerna maksud Vincent. "Untuk apa mencariku?" dengus Aiden mengerutkan kening.

"Kaisar mencari keturunan Hellius yang tersisa untuk dijatuhi hukuman mati." Sederet kalimat Vincent menambah panas suasana. Hingga Aiden menahan napasnya dengan raut kaku. Kesialan apa lagi yang menimpanya ini?

"Bisa kita bicara berdua?" pinta Vincent tanpa ekspresi.

***

Atap-atap rumah yang dingin mendadak dihinggapi monster malam. Kemunculannya membuyarkan sekumpulan warga. Mereka berteriak ketakutan sambil berlari menyelamatkan diri ketika monster bersayap terbang rendah. Dengan cakar besar nan tajamnya menangkap manusia, mencabik maupun mengeluarkan organ dalam seperti cacing yang diangkat dari tanah, lalu memakannya sampai kenyang.

Tragedi terjadi sangat cepat. Seketika saja desa Rumh yang sebelumnya tidak pernah dihampiri monster malam, kini porak poranda dan menjadi malam berdarah paling mengerikan. Mimpi buruk ini terlalu nyata. Kobaran api yang membakar jiwa-jiwa, membersihkan dunia dari para pendosa. Lengkingan kengerian menjadi penghantar mereka ke neraka.

Pasukan Nightroad Zero minus komandan Vincent, tampak berjibaku menyerang monster malam. Mereka bersinergi dengan prajurit desa, sampai satu monster tinggi berhasil mereka ikat oleh empat orang di masing-masing sisi. Empat prajurit itu saling tarik-menarik tali yang melingkar di leher monster. Mencoba memutuskannya.

"GRRR! Kami.... Adalah bala tentara... Iblis... Yang datang... Untuk melenyapkan kalian..."

"Kenapa?" tuntut gadis pendek bernama Hanah: anggota satu-satunya wanita di Nightroad Zero. Seraya menarik tali khusus itu sekuat tenaganya.

"GRRAAAH!!! Kalian... Manusia bodoh... Kami kesulitan memasuki desa ini awalnya... Sebelum kalian memenjarakan gadis itu...! GRAAHH!!"

Semua wajah memucat tegang. "Sepertinya kalian mengerti maksud monster ini." Hanah menyindir. Walaupun begitu, mereka tidak mengatakan apa-apa.

"Yoo, wanita cantik, apa kau butuh bantuan?" Pria berotot datang menggoda. Hanah mencebikkan bibir sebal. "Aku bisa melakukannya tanpa bantuanmu, tuan mesum Bernandes! Tapi, taliku tidak bekerja untuk monster besar ini. Bisa kau gunakan ototmu daripada mulutmu?"

"Apa pun untuk wanita cantik...." Lantas dia mengangkat pedang besarnya yang tampak berat, lurus ke atas. Kemudian Bernandes berlari mendekati monster setinggi hampir tiga meter, menebas satu per satu kakinya sambil menyelinap ke belakang dari bawah tubuh besar monster.

Tidak cukup sulit jika masalah dihadapi bersama. Bernandes cukup kuat hanya untuk menumbangkan satu monster. Zrat! Karena, satu ayunan pedang besarnya mampu memisahkan kepala monster dari tubuhnya. "Terkutuklah... Kalian....!" Suara geramannya seiring menghilang dengan wujudnya yang melebur lenyap.

***

Suara hentakan langkah berlarian, terdengar menggema di lorong gelap. Axelia terkesiap. Menunggu siapa yang akan datang mendekat. Entah itu sipir yang hendak melanjutkan pengantarannya ke panggung penghakiman, Axelia tidak berdaya untuk menolak. Jika malam ini adalah hari kematiannya, Axelia berharap dirinya bisa bertemu dengan orang itu. Tidak dipungkiri, hati yang merindu ini begitu terbelenggu.

Klang!

"Axelia!" seru Aiden berlari kecil menghampiri sel. Membuka gemboknya dengan tergesa-gesa. Berikutnya Axelia merasakan beban menubruk badannya. "Akhirnya aku bertemu denganmu!" Aiden berkata sembari mengeratkan pelukan.

Seperti bunga yang mekar di taman, hati Axelia tergugah mengenali suara laki-laki ini. "A-aiden...?" Bahkan dia sampai tergagap menyebut namanya. Saking tidak percaya mereka dapat bertemu lagi setelah sekian tahun berpisah. "Aku tahu kau akan kembali ke desa ini. Aku hanya tidak sabar menunggumu datang," ungkap Axelia terharu. Lengannya terangkat menyentuh punggung bidang Aiden, ketika itu Axelia menyadari bahwa telah banyak waktu berlalu: Aiden yang dulu masih bocah kini sudah tumbuh dewasa.

"Kau pasti telah menjadi pria yang tampan..." Axelia melirih serak. Napasnya masih tertahan di tenggorokan: mencoba menahan air mata harunya.

"Kita tidak punya waktu lagi, desa di serang para monster malam---" Ucapan Aiden terhenti tiba-tiba dengan mata tertegun. Sementara bibir Axelia terbuka secelah mendengar itu. Tetapi tidak mengatakan apa pun. "Apa yang mereka lakukan kepadamu?" Aiden segera memeriksa tubuh Axelia secara visual. Mengetahui jejak-jejak siksaan pada Axelia, benak Aiden terbakar. Wajahnya menjadi kaku.

"Mereka pantas mendapatkan balasan." Ada nada kegeraman di suara Aiden sembari melepas rantai dengan pedang tanpa kesulitan. "Apa kau bisa berjalan?" tanya Aiden, dan Axelia mengangguk pelan. "Ayo kita pergi." Diraihnya tangan Axelia dengan sentuhan lembut, Aiden membawa gadis ini keluar dari sel.

Axelia berjalan hampir seperti tersandung-sandung untuk menyamakan langkah terburu-buru Aiden. Mereka sedikit berlari di lorong gelap yang luas menuju pintu keluar diujung jalan. Hingga ratusan orang melompat turun dari deretan balkon dan mengepung mereka. Kulit yang memucat abu-abu, mata tak berarah, air liur membanjiri mulut, kuku memanjang hitam, bukan ciri orang waras.

avataravatar
Next chapter