4 Seharusnya Bukan Kamu

Rasanya malas bagi Bryan untuk melangkahkan kakinya keluar kelas. Jam pelajaran baru usai dan jam makan siang sudah datang satu jam yang lalu. Harusnya Bryan langsung pulang karena ada janji makan siang dengan Ayahnya. Hanya tinggal tiga siswa yang masih membereskan meja dan segera beranjak pulang. Tapi Bryan masih belum bergerak dari tempat duduknya.

Indira, gadis yang selalu menempel pada Bryan lalu bangkit dari kursi dan menarik lembut lengan Bryan.

"Ayo kita pulang, kamu gak ada eskul kan hari ini?" ujarnya dengan nada manja. Bryan menggeleng malas dan mengikuti Dira. Bryan bangkit dari kursi dengan malas lalu membereskan bukunya. Arya, sahabatnya lalu masuk kelas dan tersenyum melihat Bryan dan Indira yang masih bergelayut di lengan Bryan.

"Harusnya lo pulang cepat, bukannya udah telat janji lo," ujar Arya sampai di depan meja Bryan.

"Janji apa? Kamu ada janji Bry?" sahut Indira cepat. Bryan hanya mengangguk pelan. Bryan, Indira dan Arya kemudian berjalan keluar kelas bersama. Di parkiran supir Arya sudah menunggu mereka. Arya duduk di depan sementara Bryan dan Indira di belakang. Tangan Indira tetap bergelayutan di lengan Bryan. Arya sudah biasa melihatnya, dia tau bahwa Indira menyukai Bryan sejak lama. Dia juga tau bahwa Bryan tidak merasakan hal yang sama, tapi ia membiarkan Indira bersikap seperti itu karena ia tidak ingin merusak persahabatan mereka.

Arya pun mengantar Bryan lebih dulu, sebelum mengantar Indira.

"Nanti gua telp," sahut Arya setelah Bryan turun. Bryan hanya mengangguk pelan. Indira ikut melambaikan tangan sambil tersenyum.

"Bryan ada janji ama siapa?" ujar Indira seraya memajukan tubuhnya ke arah depan.

"Oh janji makan sama Daddy-nya," jawab Arya singkat. Indira membulatkan bibirnya sambil mengangguk.

"Lo mau temenin gue makan gak, kita ke mall yuk." Arya menoleh sejenak ke belakang.

"Gak bisa, ada les piano," sahut Indira cuek sambil memainkan handphone nya.

"Ok." Arya berbalik dan tersenyum sinis. Dia tau gadis itu tidak ada jadwal apapun hari ini karena dia sudah les piano kemarin. Arya seperti sudah bisa menebak jawaban Indira.

'Mana mau dia jalan sama gue,' ujar benak Arya sambil menyandarkan kepalanya menatap pemandangan di luar mobil.

Bryan masuk ke rumahnya dan berjalan gontai menuju kamarnya. Belum sampai pintu kamar, Kakaknya Alisha memanggil.

"Bry, kamu kok baru pulang sih, kita nungguin kamu lho dari tadi." Bryan mengatupkan bibirnya sebelum menjawab.

"Tadi gurunya ngasih PR agak banyak Kak, jadi Bryan agak telat keluar"

"Ya udah gak apa, kamu cepet ganti baju Kakak tunggu di ruang makan ya" Alisha tersenyum sambil membelai kepala Bryan. Setelah Alisha menuruni tangga, barulah Bryan masuk kamar dan mengganti seragam sekolahnya.

Tak lama Bryan keluar dengan baju yang lebih santai. Celana ripped jeans hitam dan oversized T shirt warna abu abu. Bryan menyempatkan diri untuk mandi selama sepuluh menit. Dia keluar dalam keadaan sudah segar dengan wangi musk dari body shower yang selalu dia pakai. Sesampainya ia di ruang makan, Bryan disambut oleh Ayahnya dengan senyuman manis. Bryan membalas senyuman Hans dan duduk di sebelah Alisha. Tidak terlihat ada orang lain di meja selain mereka bertiga. Namun sepertinya tidak lama.

"Ehm, sebelum kita makan, Daddy mau memperkenalkan seseorang sama kalian." Hans tersenyum mulai menjelaskan sambil menggenggam tangannya di atas meja. Ia lalu menoleh pada salah satu pelayan dan bertanya.

"Apa mereka sudah sampai?" tanya Hans pada salah satu pelayan yang selesai menyiapkan meja.

"Sudah Tuan, sekarang mereka sudah di ruangan tamu." Hans mengangguk mengerti.

"Tolong bawa kemari ya." Pelayan itu mengangguk dan pergi menuju ruang tamu. Tiga menit kemudian seorang wanita masuk dan Hans menyambutnya dengan senyuman manis. Sambil berdiri dan kemudian memegang tangan wanita itu, ia menuntunnya ke meja makan besar.

Bryan belum mengangkat wajahnya dan terus menunduk. Tak lama setelah Alisha memperkenalkan diri, Bryan dipanggil ayahnya. Mau tidak mau Bryan pun harus menaikkan pandangannya. Betapa terkejutnya Bryan ketika ternyata wanita yang berada di depan meja makan ternyata adalah wali kelasnya di sekolah.

"Oh, selamat siang Bryan. Kita bertemu lagi" ujar Rita Harfa.

"D-dia kan..." Bryan masih membuka mulutnya.

"Ah, Daddy pengen kasih tau kamu kalau ini adalah salah satu guru di sekolah kamu, kamu pasti kenal ibu Rita kan?" jawab sang Ayah dengan wajah masih setengah tersenyum. Air muka Bryan langsung berubah tak enak. Ia sempat melirik pada Ayahnya yang juga mulai kehilangan senyuman. Nafas Bryan mulai berat, apa maksudnya semua ini. Kenapa bisa wali kelas nya adalah kekasih ayahnya.

Wajah Rita mulai menunduk, perasaannya campur aduk. Ia mengira calon suaminya sudah memberitahu siapa ia pada kedua anaknya. Alisha yang mengerti keheningan yang aneh itu mencoba mencairkan keadaan dan menenangkan adiknya. Sambil menggenggam tangan Bryan, Alisha tersenyum dan mempersilahkan bu Rita untuk duduk. Lalu Alisha langsung bergeser ke telinga Adiknya dan berbisik.

"it's ok, kakak disini, daddy akan jelaskan semuanya nanti oke. Smile for me baby" bisik Alisha pelan sambil tersenyum. Bryan mulai tenang dan balas mengenggam erat tangan Alisha. Dia hanya mengangguk.

"Sebentar aku juga bawa anakku, Nisa sini Sayang. Kenalin ini Om Hans dan ini anak-anaknya Om Hans, ada Kak Alisha dan Kak Bryan" ujar Rita setelah beberapa saat terdiam. Alisha dan Bryan berdiri hendak bersalaman dengan Nisa. Nafas Bryan kembali tidak beraturan.

"Kamu cantik sekali, nama kamu siapa?" tanya Alisha sambil memegang tangan mungil gadis itu.

"Namaku Deanisa Melody Harfa, Kak," ujar Nisa tersenyum ramah.

"Namaku Alisha, kamu bisa panggil aku, Kak Alisha dan ini Adikku, kamu bisa panggil dia Kak Bryan." tunjuk Alisha sembari merangkul Bryan. Mata Nisa kemudian beralih pada anak laki-laki jangkung di sebelah Alisha. Mata Nisa sedikit melebar tapi kemudian tersenyum lagi. Dia tidak menyangka bisa bertemu lagi dengan anak laki-laki yang sempat menolongnya sewaktu dia dibully dekat toilet siswa laki laki.

Dan Bryan menelan ludahnya dengan berat. Oh Tuhan jangan dia, seharusnya bukan dia – ujar benak Bryan. Nisa menjulurkan tangannya hendak berkenalan. Tapi Bryan tidak bergerak dan terus menatap mata Nisa dengan tajam. Perasaannya benar benar kacau.

Nisa langsung menyadari siapa Bryan dan masih menjulurkan tangannya. Tapi Bryan malah membalas dengan tatapan aneh. Nisa masih kegirangan dalam hatinya saat bisa melihat Bryan lagi. Kakak kelas yang menolongnya itu akan menjadi Kakak tirinya.

Masih tersenyum bahagia, Nisa masih menjulurkan tangan ingin tau siapa nama lengkapnya. Tapi tatapan dingin tanpa senyuman itu begitu menakutkan. Jika mata bisa membunuh maka Nisa pasti sudah mati saat ini. Alisha yang melihat Bryan tak bergeming lalu menyikutnya perlahan. Bryan baru sadar ia sudah lama diam dan baru menyebut namanya beberapa saat kemudian.

"Aku...Bryan!" ujarnya angkuh. Dia bahkan tidak mau menjulurkan tangannya. Melihat tak ada sikap ramah dari Bryan sama sekali, perlahan Nisa menarik kembali tangannya dan tersenyum aneh. Nisa mulai merasa tidak nyaman dengan cara memandang Bryan yang tidak bersahabat sama sekali. Kenapa dia membenciku? – tanya Nisa dalam hatinya.

Kebaikan Bryan yang menolongnya beberapa hari lalu berbanding terbalik dengan sikapnya saat ini. Walupun begitu, wajah tampan Bryan sempat membuat Nisa tertegun meski akhirnya ia hanya bisa menunduk.

Usai berkenalan, Hans mengajak Rita dan Nisa untuk ikut makan siang bersama. Dengan sikap acuh tak acuh, Bryan ikut duduk dengan selera makan yang sudah hilang.

"Jadi Bryan dan Nisa satu sekolah ya?" tanya Hans membuka pembicaraan. Nisa menoleh pada Hans dan tersenyum saja. Sedangkan Bryan bahkan tak mau melihat Nis awalnya. Rita kemudian menoleh pada Nisa, anaknya dan sedikit menaikkan alis sebagai tanda agar Nisa harus menjawab pertanyaan yang dilontarkan.

"Iya, Om." Bryan lantas mendelik pada Nisa dan Nisa seperti anak kucing ketakutan malah makin menunduk.

"Kamu kelas berapa?" Giliran Alisha bertanya pada Nisa.

"Kelas satu, Kak."

"Wah berarti Nisa adik kelas kamu ya, Bry!" Alisha kini beralih pada Bryan. Bryan hanya mendengus saja tak mau menjawab. Nisa makin takut untuk makan. Sikap Bryan membuatnya tak lagi berani mengangkat wajahnya. Bryan benar-benar tak memberinya ampun sama sekali. Kini ia terus memandangi Nisa dengan tatapan tajam.

Rasa lapar yang awalnya menghinggapi Nisa kini menguap entah kemana. Bryan berhasil mengusir Nisa pelan dari rumahnya. Usai makan siang, Nisa menarik lengan Ibunya, Rita agar segera pulang saja.

"Kok buru-buru? Nanti Om bisa antar kamu pulang. Kamu bisa main dulu sama Kak Alisha dan Kak Bryan." Nisa spontan menggeleng terlebih ketika ia berbalik dan Bryan seolah hendak memakannya.

"N-nisa harus buat PR, Om. Besok harus dikumpulkan soalnya, jadi Nisa takut nanti bisa kemaleman. Jadi..." Rita tersenyum dan memotong omongan Nisa.

"Iya, Mas. Gak apa. Lain kali aja anak-anak main sama-sama. Gak usah dianterin gak apa kok, kami bisa naik taksi," ujar Rita sembari tersenyum.

"Tapi..."

"Beneran gak apa. Nanti aku telepon kalo udah di rumah ya!" sambung Rita lagi berusaha agar Hans jangan merasa tidak enak. Hans akhirnya mengangguk. Rita tau bahwa Nisa merasa tak nyaman di rumah Hans. Dan ia tak ingin memaksa putrinya dalam situasi yang akan membuatnya stress.

Usai pamit keduanya lalu melambaikan tangan melalui taksi yang mereka tumpangi. Di dalam taksi itu, Nisa dan Ibunya berbicara pada satu sama lain.

"Bunda tau kamu berbohong. PR kamu kan udah selesai semua," ujar Rita setengah berbisik. Nisa menoleh pada Ibunya dan tersenyum.

"Maafin Nisa ya, Bunda. Nisa..."

"Bunda ngerti. Bunda gak mau memaksa kamu untuk menerima pernikahan ini. Bunda akan bicara lagi sama Om Hans, mungkin kami gak perlu..."

"Jangan, Nisa senang Bunda ada yang jagain." Rita tersenyum dan membelai rambut panjang Nisa yang indah.

"Kita masih bisa hidup berdua bersama selamanya, Bunda gak apa," bisik Rita dengan mata berkaca-kaca dan senyuman yang tak lekang dari bibirnya. Hati Nisa berdetak saat mendengar kalimat dari Ibunya. Apa yang Nisa kecil lakukan agar Ibunya bahagia? Dari kecil ia tak pernah melihat Ayah kandungnya. Yang ia tau hanyalah, sang Ayah meninggalkan Ibunya saat sedang mengandung Nisa. Tanpa bekas tanpa jejak.

"Jangan dibatalin Bunda. Nisa pengen lihat Bunda menikah lagi," ujar Nisa menelan segala penolakan Bryan, calon Kakak tirinya.

"Kamu yakin?" Nisa mengangguk sekali lagi dan memeluk Ibunya.

avataravatar
Next chapter