8 Bab 5 : Hukuman Telah Tiba

Saat ini. Pukul sembilan lewat lima belas menit, di suatu hutan tak jauh berada dari tempat luar wilayah desa Lazuarh.

"Sial-sial," gerutu perampok bar Quats. Sekarang dirinya telah menjadi buronan. "Kenapa aku bisa terluka lumayan parah seperti ini—hanya karena melawan tiga prajurit kerajaan bodoh itu, kemarin." Dia menambahkan, tubuhnya penuh dengan luka yang lumayan parah. "Hanya karena aku bertarung melindungi barang curian sial ini—sampai-sampai aku tidak berpikir untuk melindungi nyawaku sepenuhnya—andai saja aku menaruh barang curian ini terlebih dahulu, mungkin aku bisa lebih fokus bertarung dengan para sampah kerajaan itu."

Kemarin sore di sebuah jalan, di dalam desa Lazuarh.

"Berhenti kau perampok!" teriak prajurit tingkat tiga yang membawa tombak.

Kemudian dia berhenti seketika, karena tidak mungkin ia akan terus lari, sementara para prajurit kerajaan terus mengejarnya—saatnya untuk mengakhiri semuanya, pikirnya.

Perampok itu berpaling dan sekarang ia dan ketiga prajurit yang mengejarnya saling berhadapan. Seakan perkelahian di antara mereka tak akan terelakkan lagi.

"SERANG!" seru prajurit tingkat tiga itu, kepada kedua rekan prajurit tingkat empat.

Prajurit tingkat tiga dan dua prajurit tingkat empat berlari menyerang si perampok. Perampok tersebut masih berdiam diri seraya memanggul kain putih tempat menampung hasil curiannya.

"Heahhh!" Prajurit tingkat empat melancarkan serangan ke arah kepala si perampok, dengan pedangnya.

Settt!!

Perampok itu menghindar, tetapi prajurit tingkat empat satunya mengincar kain putih itu. Sontak perampok itu membelalak—pikirnya, kalau kain putihnya tertusuk oleh pedang prajurit tersebut, barang hasil curiannya akan berserakkan ke jalan—walaupun di sini jalan terlihat sangat sepi.

Jlebbb!!

Perampok tersebut mengorbankan otot lengan kirinya yang memanggul kain putih itu sebagai pelindung dan sekarang telah tertusuk.

Lumayan sakit tusukkan dari pedang ini. Ia membatin.

"Heahh!" teriak prajurit tingkat empat yang tak berhasil mengincar kepalanya tadi—dan prajurit tingkat tiga sekarang melancarkan serangan dengan arah berbeda.

Prajurit tingkat empat meyerang ke arah pergelangan kaki kanan untuk melumpuhkan pergerakkan kakinya. Sementara itu, prajurit tingkat tiga menyerang ke arah perut perampok tersebut.

Settt!! Bughhh!! Duaghhh!!

Si perampok pun berhasil mengangkat kakinya, sehingga serangan dari prajurit tingkat empat berhasil dihindari. Sementara serangan satu lagi dari prajurit tingkat tiga—sebelum tombaknya mengenai perut perampok itu, ia memaksakan menggerakkan otot lengan kirinya yang tertusuk, dan mengehempaskan prajurit tingkat empat yang masih berusaha mencabut pedangnya itu—ke arah prajurit tingkat tiga ... bersamaan dengan ia menendang prajurit tingkat empat satunya, setelah seranganya meleset.

Mereka semua terhempas, lalu jatuh dengan keadaan bernapas tersengal-sengal. Pedang yang tertancap di lengannya itu, dicabutnya—otot lengannya, sepertinya tertusuk sangat dalam, dan tangannya pun seperti mati rasa, serta darah mengucur amat banyak—dengan cepat, perampok tersebut menjatuhkan barang curiannya dan menghunus pisau kecil dengan tangan kanannya. Ia berlari ke hadapan ketiga prajurit itu—ingin menusukkan pisaunya ke perut semua prajurit dan dimulai dari prajurit tingkat empat, yang menjadi sasaran pertama.

Jlebbb!!

Lalu, ia menarik pisaunya secepat mungkin dan menusukkan lagi ke prajurit tingkat empat satunya di tempat yang sama.

Jlebbb!!

Dicabutnya lagi dan akan menusukkan lagi ke prajurit tingkat tiga yang menjadi target terakhir.

Tringgg!! Tinggg!! Tinggg!!

Tetapi, prajurit tingkat tiga itu dapat menahan serangannya dengan tombaknya, sama cepatnya dengan gerakkan perampok itu—prajurit itu pun bangun—lalu keduanya mundur beberapa langkah.

Crottt!!

Prajurit itu dapat melukai perut bagian kiri si perampok dengan cepat. Karena tombaknya yang panjang dapat menguntungkan dalam pertarungan dengan jarak tertentu—yang sekarang tidak terlalu jauh, sesaat setelah mereka beradu senjata dan beringsut mundur—perampok tersebut, nyatanya dirugikan dengan jarak pertarungan seperti ini.

Karena ia hanya menggunakan pisau kecil, kira-kira panjanya hanya sepuluh sentimeter. Untungnya si perampok tersebut dapat refleks dan menghindari serangan si prajurit tadi—yang hanya menggores perut bagian kirinya saja—jikalau tidak, mungkin perampok tersebut akan bernasib sama dengan kedua prajurit tingkat empat yang ditusuknya, di tempat ia juga akan ditusuk oleh prajurit tingkat tiga itu.

"Lumayan hebat pergerakanmu sampah." Perampok itu mengumpat, ia memegangi luka gores di perutnya dengan tangan kirinya, yang sudah mulai melemah akibat tusukan di lengannya tadi.

Prajurit itu tak menjawab tanggapan si perampok dan langsung—ingin menusukkan tombaknya lagi, ke arah perut perampok itu.

Tappp!! Krakkk!!

Si perampok menahan serangan tombaknya dengan cara membekap tombak tersebut—di antara tangan kanan dan samping perutnya—tombak itu tertahan, lalu dipatahkan olehnya.

Prajurit itu panik karena tombaknya telah patah, menjadi dua bagian. Dengan cepat si perampok menebas dada prajurit tersebut—sehingga baju zirah di bagian dadanya sobek dan mengeluarkan darah—prajurit itu pun, langsung melirik ke arah luka yang baru ia terima... tanpa memerhatikan si perampok, yang sekarang dengan cepat melayangkan pukulan dengan sikunya ke arah wajahnya.

Duaghhh!!

Dan si prajurit pun mendapatkan luka baru di wajahnya. Dia terjatuh ....

Dughhh!! Dughhh!! Dughhh!!

Perampok itu melancarkan tiga tendangan di kepalanya sesaat dia jatuh ke tanah. Seketika prajurit itu pingsan dengan wajah yang penuh luka dan darah.

Dughhh!! Dughhh!! Dughhh!!

Dughhh!! Dughhh!! Dughhh!!

Kemudian, ia berpaling kepada kedua prajurit tingkat empat yang telah mendapatkan luka tusuk di perutnya, terlebih dulu—mereka mendapatkan luka serius, dari tusukan tersebut—ditambah si perampok juga menendang sebanyak tiga kali ke wajah kedua prajurit itu, setelah mereka tak sadarkan diri, akibat dari tusukan pertama tadi.

Pertarungan selesai dan di menangkan oleh si perampok bar Quats. Ia pun menerima luka tusuk yang merobek otot lengan kirinya, yang tadi memanggul kain putih hasil curiannya. Ia rela menyelamatkan hasil curiannya, hingga memilih mengorbankan lengannya.

Luka di perut bagian kirinya pun cukup dalam—walau hanya sekadar goresan saja, itu membuatnya mengeluarkan banyak darah—ia berjalan lesu ... memasukan pisau kecil ke sabuknya. Lalu mengambil hasil curiannya dan sekarang menentengnya dengan tangan kanan—tidak memanggulnya lagi.

Hoekkk!! Cuihhh!!

Dia meludahi ketiga prajurit yang sudah terkapar pingsan—berhenti sebentar—terpikir untuk menutup kedua lukanya.

Soekkk!! Soekkk!!

Ia merobek sebagian kaos hitamnya dan mengikatkan sobekan kaos itu untuk menutupi kedua lukanya—supaya lengan dan perutnya tidak meneteskan darah dari lukanya dan jangan sampai tetesan darahnya menetes ke tanah, lalu meninggalkan jejak—setelah selesai, ia langsung pergi berjalan terhuyung dengan wajah mendadak pucat pasih.

Satu hari setelah pertarungan itu. Kembali ke tempat yang sama, di dalam sebuah hutan, tak jauh berada di luar wilayah desa Lazuarh.

"Untung saja, aku tidak hanya mencuri benda berharga dari para pengunjung bar. Tetapi juga membawa beberapa makanan dan bir," gumamnya, sekarang ia sedang duduk bersandar di bawah pohon seraya menyantap makanan dan meminum dari sebotol bir.

"Oh—rupanya kau di sini," ucap seseorang. "Jadi ucapan Janz Romy memang benar—bahwa kau memang belum kabur cukup jauh dari wilayah desa Lazuarh—setelah apa yang telah kau perbuat disana kemarin." Dia menambahkan.

"Prajurit tengik!" teriak perampok itu, kontan, ia langsung berdiri. "Sampah kerajaan yang tak ada habisnya dan sangat bersemangat untuk menangkapku." Dia menambahkan dan mendadak cemas. Kalau-kalau ia akan tamat di sini, karena keadaanya belum pulih sepenuhnya.

"Tenang, tenang," ujar prajurit tingkat satu itu, yang telah menemukan si perampok bar Quats.

Perampok tersebut langsung menghunus pisau kecil dari sabuknya.

"Aku, Szlai Szord! Bersumpah ... akan membunuhmu di sini dengan tanganku!" kata perampok bar Quats tersebut, yang bernama Szlai Szord. Ia menantang bertarung prajurit tingkat satu yang hanya datang sendirian. Meski dirinya masih tampak rapuh dengan keadaan luka yang belum sembuh, hanya tertutup robekan kaosnya saja.

"Wow-wow, itu sangat mengerikan Tuan Zilai," ejek prajurit tingkat satu itu, dengan raut wajah yang mendadak panik.

"Heahh!" seru Szlai dengan raut wajah serius—tak ada lagi canda... apa lagi tawa—seperti sebelum-sebelumnya. "MATI KAU SAMPAH!" tambahnya, ia sudah berada di hadapan prajurit tingkat satu itu—ia mengarahkan pisaunya tepat ke arah jantung prajurit tersebut.

Krakkk!!

"Aaaaarghhhh!" teriak Szlai kencang, tangan kirinya dipatahkan oleh prajurit tingkat satu itu.

Dughhh!! Brukkk!!

Prajurit itu menendang Szlai... hingga terpental ke samping hasil curiannya di bawah pohon—ia terhempas dan terjatuh—napasnya pun, menjadi terengah-engah.

"Aku sudah bilang kepadamu... hmm ... siapa ... ya ... tuan ... Zilai," katanya dengan wajah dan nada menghina. "Kau tak sadar hari ini adalah akhir dari hidupmu." Dia menambahkan dengan raut wajah yang serius, matanya membelalak ditambah juga sebuah senyuman menyeringai, terukir di bibirnya seketika. "Lihatlah di sekelilingmu Tuan Zilai—tepatnya di atas pohon dan di balik pohon, di sekitar tempat ini—kau bisa melihatnya?"

Szlai tak menanggapi perkataan prajurit tersebut. Namun, ketika ia ditendang oleh prajurit itu. Dia telah melihat ke sekitar hutan tersebut lebih dulu dari ucapan prajurit itu.

"Kau lihat?" tanyanya lagi, melihat Szlai sekarang sedang melihat ke sekelilingnya dengan wajah yang amat menyedihkan.

"Sial," ucap Szlai dalam hati, sehabis melihat ke sekelilingnya—ia pun sekarang hanya bisa pasrah ... sebab ....

"Ya—beberapa prajurit spesial yang membawa panah dan revolver telah lama mengintaimu dari tadi—mereka pun telah membidikan senjatanya ke seluruh bagian letak organ vitalmu—termasuk jantungmu." Prajurit itu tertawa sekencang-kencangnya. Seraya merenggangkan kedua tangannya. Menunjukkan sifat kesombongan yang dimiliki setiap manusia, ketika mereka sedang berada di atas atau sedang menang melawan yang lemah.

                         *      *      *

Di tepi sungai, di bagian desa Lazuarh lainnya. Sekarang sudah jam sepuluh lewat tujuh belas menit.

"Jadi...," ucap orang berjubah merah terkejut.

"Ya, orang di poster buronan itu adalah temanku, namanya Szlai," ujar gadis pencuri itu.

"Sungguh nekat, apa yang dilakukan oleh temanmu itu kemarin, adalah pebuatan yang amat membahayakan...," kata orang berjubah merah, menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan kelakuan Szlai, si perampok brutal di bar Quats. "Misal Szlai tertangkap—hal itu—pasti akan terjadi lagi." Dia menambahkan, raut wajahnya mendadak muram.

"Hal itu? Apa maksudmu?" tanya gadis pencuri itu cepat.

"Hal yang tak pernah inginku lihat lagi," gumamnya pelan.

"Apa maksudmu?" tanya Gadis pencuri itu, terlihat ingin mengetahui sesuatu hal yang diucapkan, oleh orang berjubah merah—yang bertele-tele—tidak mengatakan ke intinya. "CEPAT KATAKAN!" tambahnya mengguncang-guncangkan tubuh orang berjubah merah sangat cepat.

"Tenang-tenang—oi," katanya, ia merasa mual sedang diguncang-gucangkan. "Temanmu itu bila sampai tertangkap—pasti akan mendapatkan huk—"

Groakkk!! Groakkk!! Groakkk!! Groakkk!!

Tiba-tiba suara gagak hitam berbunyi di atas kepala mereka berdua. Banyak sekali gagak hitam berterbangan di sekitar tepi sungai itu sekarang.

"Apa-apaan gagak hitam itu, mengganggu saja!" seru gadis pencuri itu menengadah ke atas. "Hei, jangan pikir karena ada bunyi berisik dari gagak-gagak hitam itu, kau tak jadi memberitahuku, ya," tambahnya, ia melihat raut wajah orang berjubah merah sekarang tampak panik. "Hei—kenapa?"

"Benar-benar gawat," ucap orang berjubah merah itu seraya menelan ludah. "Sesuatu yang benar-benar tidak inginku lihat lagi... sekarang benar-benar akan terjadi." Dia menambahkan, sekarang ia menundukkan kepalanya.

"Maksudmu apa?" tanya gadis pencuri itu cepat, rasa penasarannya sudah pada puncaknya.

"Hukuman itu telah tiba...."

avataravatar