webnovel

8. Perasaan Sesungguhnya

Ia terus mempercepat langkahnya, berlari secepat mungkin. Mendengar Nain kini berada di alam mimpi membuat perasaan Fiyyin bercampur aduk. Risau, takut, marah dan sedih.

Kini ia semakin dekat dengan tujuannya dan mulai terlihat gerbang bercahaya, pembatas antara alam mimpi dan alam jin. Kemudian ia memasuki gerbang itu dengan kemampuan teleportasinya.

Mata Fiyyin seketika terbelalak melihat Nain terluka parah, tergeletak di tepi sungai dan berlumuran darah. Kepalanya terluka parah hingga darah terus mengaliri wajahnya dan batu yang menjadi tumpuan kepalanya. Banyak goresan di kaki dan tangannya. Wajahnya pucat pasi.

Fiyyin menatap sesal pada gadis itu dan marah dengan keteledorannya yang nyaris membuat Nain terbunuh.

"Terlambat lagi, ya?" ucap Nain lirih. Tersenyum lembut sambil mengusap pipi Fiyyin yang dekat dengannya.

Fiyyin diam membeku dan bingung. Ia harus berpikir cepat dengan tindakan yang harus ia lakukan.

Fiyyin menatap sekitar bergantian, hingga pandangannya tertuju pada jin tepat di seberang sungai yang tengah memandanginya tajam. Ia pun membalas tatapan yang sama.

"(Qoy'an!)"

Tangan Nain mulai melemas dan akhirnya jatuh ke tanah, terlepas dari pipi Fiyyin. Fiyyin berbalik melihat Nain tak sadarkan diri, sehingga mengurungkan niatnya untuk melawan jin itu.

Tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, segera Fiyyin menggendong Nain di punggungnya dan menggenggam erat ke dua tangannya, membawanya keluar dari alam mimpi.

***

"Lagi-lagi kau menyusahkanku." gumam Fiyyin setelah selesai memasangkan perban. Menatap Nain yang masih belum sadarkan diri.

Beberapa menit kemudian. Nain membuka matanya perlahan hingga berhasil menatap langit-langit rumah dengan sempurna. Nain hendak bangun dari tempat tidurnya, namun kepalanya terasa berdenyut.

"Akh, kepalaku." Nain reflek memegang kepalanya. Lalu sadar dengan kepalanya yang sudah di baluri perban.

"…lagi-lagi luka karena mimpi. Perban ini? Apa aku yang memasangnya sendiri?"

"(Perban?!)" Fiyyin lupa jika ia memasangnya karena terlalu panik dengan darah Nain yang tak hentinya keluar.

Nain menghela napas dan menatap sebelah kirinya, ia tergelak. Fiyyin terkejut menyadari Nain melihat ke arahnya.

"(Apa dia melihatku?!)"

"(…tapi bagaimana mungkin? bukannya aku sedang...)"

"Ini sudah pukul 18:12. Bagaimana aku harus mengatakan pada Zei jika aku terlambat bekerja?! Ahh.. Apa aku tidur terlalu lama?" kata Nain panik yang memotong gumaman Fiyyin.

Fiyyin berbalik dan menatap jam dinding di belakangnya. Kemudian menghela napas lega.

"Ahh, ternyata dia tidak bisa melihatku? Membuatku takut saja,"

"Tunggu, apa dia bodoh? Dia baru saja terkejut dengan perban di kepalanya, sekarang sudah lupa? Tapi baguslah. Tetaplah menjadi pelupa." doa Fiyyin.

"Ponselku? Pasti Zei sudah menelponku dari tadi, bagaimana ini?" Nain mencoba meraih ponselnya di atas nakas.

Di lihatnya benda tersebut, 10 panggilan tak tertajawab dan 2 pesan masuk dari Zei.

"(Nai, kau di mana? Aku khawatir. Segera hubungi aku jika kau membaca pesan ini)."

"(Cepatlah hubungi aku. Aku sungguh mengkhawatirkanmu?)"

Nain menghela napas dan kembali meletakkan posel itu di sampingnya.

"Aku tidak bisa mengatakan keadaanku, aku tidak ingin membuatmu semakin khawatir."

Fiyyin meluruskan tangannya dan merenggangkan ototnya, "Aah.. Tidak ada gunanya lagi aku di sini, lebih baik aku pergi sebelum ketahuan." "Tunggu, ini sudah malam. Akh! Bagaimana aku bisa kembali? Telepotasi di alam fana tidak akan bekerja saat malam hari. Mustahil jika aku harus ke istana Jalis dengan berjalan kaki."

"Akh, menyebalkan!" decak Fiyyin kesal.

Dari luar, terdengar suara orang berjalan menuju kamar Nain. Detik berikutnya terdengar ketukan pintu.

"Nai?! Kau di dalam?" teriak Zei dari depan pintu kamar kemudian membuka pintu perlahan.

"Zei?" gumam Nain khawatir mengingat kondisinya.

Zei memasuki kamar dan saat itu juga ia terkejut melihat perban di kepala Nain.

"Nain, ada apa dengan kepalamu? Apa yang telah terjadi?" ucap Zei yang begitu khawatir sambil berjalan menghampirinya.

Fiyyin menatap Zei senang dan tersenyum, "Bagus. Sekarang giliranmu menjaganya. Ahhh.. Sungguh melelahkan, aku ingin tidur saja." Fiyyin berjalan ke sofa dan merebahkan tubuhnya hingga tertidur pulas.

Zei mengangkat tangan Nain untuk menggenggamnya, tapi Nain menjerit pelan.

"Akhh,"

"Tanganmu juga terluka? Maafkan aku. Baiklah, aku tidak akan menyentuhmu." Zei kembali meletakkan tangan Nain perlahan.

"Katakan, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa sampai seperti ini, Nai?" tanya Zei khawatir.

"Aku hanya... Terjatuh saat turun dari tangga. Tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja, Zei." jawab Nain berusaha menenangkan Zei.

Nain tidak bisa mengatakan yang sebenarnya tentang mimpinya ini, yang sudah ia sembunyikan sejak awal. Ia tidak ingin terus-terusan membebani Zei dan semakin membuatnya khawatir.

"Bagaimana mungkin baik-baik saja?! Apa perlu aku panggilkan dokter untuk memastikan kondisimu?"

"Aku baik-baik saja, Zei. Jangan terlalu mengkhawatirkanku, aku hanya perlu istirahat saja. Oke?"

"Apa kau mencemaskan biayanya? Aku tahu kau pasti akan begitu, tapi kondisimu lebih utama bagiku."

Nain hanya terdiam. Kini Zei menatap Nain dengan tatapan begitu dalam dan mengusap pelipis Nain lembut.

"Aku akan panggilkan dokter. Tataplah berbaring, jangan membuatku semakin khawatir," Zei diam sebentar. "…Aku menyayangimu."

Nain seketika membeku mendengar ucapan Zei. "(Apakah Zei menyayangiku sebagai adik?)"

Next chapter