webnovel

14. Peniru dan Palsu

Nain dan Zei berjalan mendekati kerumunan itu karena penasaran. Tapi tidak berhasil, kerumunan itu terlalu banyak untuk memberi penglihatan mereka sedikit celah.

Sangat tampan!

Bagaimana kau bisa memiliki wajah itu!

Kencanlah denganku!

Aku ingin menyentuhnya!

Dan teriakan histeris lainnya terus saja terdengar tanpa henti. Fiyyin mulai lelah dan menegapkan tubuhnya.

"Hentikan!" teriakan Fiyyin membuat semua diam. Fiyyin menatap sekitarnya tajam, "Apa kalian tidak bermoral atau memiliki rasa malu?!"

"Kalian sangat murahan!" sambung Fiyyin lagi sembari berjalan tegas meninggalkan kerumunan yang mulai jalan seiring Fiyyin.

Tepat setelah para siswi membuka jalan yang mengarah tepat lurus dengan pandangan Zei dan Nain. Zei benar-benar terkejut. Badannya terasa panas dingin melihat Fiyyin berjalan menggunakan seragam sekolah. Bahkan seperti sebelumnya, ia tidak bisa merasakan Aura yang di keluarkan Fiyyin dan itu membuatnya bingung.

"Lemah atau Kuat?" pikir Zei heran. "Jin jenis apa dia hingga bisa menampakkan diri dengan sempurna?"

Nain mengalihkan pandangannya saat Fiyyin melihat ke arahnya. "Pria menyebalkan itu lagi. Ya ampun! Ingin sekali aku menghancurkan wajah penirunya itu!" umpat Nain dan berjalan meninggalkan Zei yang masih dalam pandangan sinisnya.

Setelah jarak Zei dan Fiyyin cukup dekat, mereka saling bertatapan sesaat. Kemudian Fiyyin mendekat dan berbisik,

"Apa kau sekarang sudah bisa melihatku?" Fiyyin tersenyum sinis dan berjalan meninggalkan Zei yang diam terpaku yang memikirkan kekosongan.

***

Di kelas. Nain meletakkan kepalanya di meja dengan pasrah. Memejamkan mata sambil memikirkan kembali perlakuan pria menyebalkan saat pertama kali bertemu dengannya. Tentu saja Nain kesal, karena sikap menyebalkannya dan wajahnya yang mirip dengan pria misterius dalam mimpinya yang selama ini di hormatinya sebagai pelindungnya.

"Semakin aku memikirkannya aku semakin membencinya. Menyebalkan! Dasar pria peniru!" bertepatan dengan ucapan Nain, Fiyyin yang berjalan melewatinya mengerutkan dahinya. Ia terkejut dengan umpatan Nain hingga berhenti di sebelahnya dan menatap tak percaya.

"(p-pe-peniru katamu?!)" Fiyyin menghembuskan napas kasar, "Hh! Aku tak percaya ini. Setelah aku menolongnya, beraninya dia mengatakanku peniru!" Fiyyin beralih mentap siswi yang duduk di belakang Nain. Ia menempelkan telunjuknya di bibir tebalnya sambil tersenyum manis sekali dan mengkode agar siswi itu pergi. Siswi itu beranjak dari duduknya sembari memperhatikan Fiyyin yang sedang duduk.

Fiyyin kembali menoleh pada Nain dan tersenyum sinis, "(Aku akan mengawasi pemikiran burukmu itu. Tidak tahu diri!)"

Siswi itu masih berdiri menatap Fiyyin sambil tersenyum malu. Ini pertama kalinya melihat Fiyyin sedekat ini, terlebih Fiyyin menduduki kursinya.

Fiyyin yang menyadarinya tatapan siswi itu berbalik bingung. "Apa yang kau lihat?" kata Fiyyin dengan nada pelan waspada jika Nain mendengar dan menyadari dirinya yang duduk di belakang.

Siswi itu tersadar. Kemudian mengambil tasnya yang terletak di atas meja. Fiyyin memperhatikan gerak siswi itu dan tersenyum, menghentikannya saat siswi itu akan pergi.

"Tunggu." siswi itu menoleh. "Terima kasih telah memberikan tempatmu. Tapi, bisakah kau makan bersamaku saat istirahat?" tanpa pikir panjang siswi itu mengangguk dengan wajah bersemu dan meninggalkannya.

Sementara Nain masih menundukkan kepalanya. Belum menyadari jika pria yang di anggap peniru wajah itu tengah duduk memperhatikannya tepat di belakangnya.

Hingga beberapa menit berlalu dan bell masuk juga sudah terdengar. Nain membangkitkan kepalanya dan menatap sekitar heran. Murid di dalam kelas menatap sinis ke arahnya sambil. Nain berbalik menyadari yang mereka lihat bukan hanya dirinya, melainkan teman yang juga duduk di belakangnya.

Nain seketika terperangah saat membalikkan badannya dan terbatuk tak percaya dengan penglihatannya. Ia masih ingat jika pria menyebalkan itu akan satu kelas dengannya, tapi ia tidak mengira jika pria itu akan duduk di belakangnya.

Fiyyin membalas tatapan tak percaya Nain dengan tersenyum sambil melambai. "Hai!"

Yang benar saja. Nain semakin terkejut. Perutnya terasa mual melihat perilaku Fiyyin yang berubah di tambah ganguan pencernaanya yang terasa kambuh. Nain benar-benar ingin muntah. Kemudian segera menepis pandangannya dan mengernyit.

"(Yang benar saja. Senyumnya sangat manis. Apa dia seorang aktor?)" Fiyyin tersenyum mendengar ucapan Nain dalam hati yang ia pikir memuji, "(Aktor? Tentu saja.)" Fiyyin tersenyum bangga.

"(Selain peniru ia juga pandai berakting manis yang sebenarnya palsu,)" sambung Nain.

"(Pa-pa-palsu?)" tatap Fiyyin tak percaya. "(Wah! Kau benar-benar dalam pengawasanku manusia tidak tahu berterima kasih!)"

Detik berikutnya. Zei masuk dan tersenyum membalas penglihatan Nain ke arahnya. Melirik Fiyyin sebentar dengan tatapan tajam sebelum duduk di bangkunya yang tarhalang tiga meter di sebelah Nain.

Selama pelajaran berlangsung, Zei masih mencuri pandang pada Fiyyin dengan satu buku dan pulpen di atas meja yang di tatap sinis itu. Sementara guru di depan yang tengah mengajar menatap bergantian seluruh murid sampai pandangannya tertuju pada rambut Fiyyin yang berwarna putih.

"Rambut putih?!" panggil pak Avan.

Fiyyin yang menyadari arah tatapan guru itu melihat-lihat dirinya, memastikan jika ia yang di maksud.

"Saya?" Fiyyin menunjuk dirinya memastikan.

"Kenapa siswa kelas ini di penuhi 2 anak albino jadi-jadian?" keluh pak Avan bermonolog dengan nada normal.

Fiyyin menatap sekitar, mencari albino jadi-jadian satunya yang di maksud pak Avan. Tapi tak ada seorangpun selain dirinya. Kemudian Nain membuka suara.

"Maaf, pak. Tapi saya sudah mengubah warna rambut saya. Lihat?" sanggah Nain sambil memainkan rambut hitam kecoklatannya.

Fiyyin menelengkan kepalanya, "(Jadi dia albino jadi-jadian satunya?)" Fiyyin menatap heran, "(Tunggu, dia tidak mungkin mengecat rambutnya. Dia tidak seperti mementingkan penampilan,)" Fiyyin menatap remeh pada penampilan Nain yang di kuncir kuda dan tanpa riasan wajah sedikitpun.

"Ubah warna rambutmu setelah ini. Sekolah ini untuk belajar bukan untuk tebar pesona!" sambung pak Avan ketus menatap Fiyyin.

Fiyyin tak terima denga ucapan pak Avan dan menyanggahnya, "Tapi ini warna asli rambut saya."

Pak Avan tertawa kecil, "Jika mau membuat alasan, carilah alasan yang berbeda dari anak di depanmu. Dengan begitu akan ku pertimbangkan karena wajahmu yang tampan."

Avan menghela napas dan menatap tak percaya, "Ini benar warna rambut saya." jawab Fiyyin bersikeras.

"Kalau begitu. Sampai ketemu minggu depan dengan rambut barumu," kata pak Avan dan melangkah meninggalkan kelas.

Fiyyin mengernyik dan menatap Nain kesal. "Menyebalkan!" gumam Fiyyin sambil menendang kursi Nain dengan kaki panjangnya.

Nain berbalik cepat dengan tatapan kesalnya, "Apa masalahmu? Astaga!"

Fiyyin munyunggingkan senyumnya. Merasa tak bersalah dengan yang ia lakukan. Nain kesal dan hendak mengumpat, "Me-"

Tuut!!!

Ucapan Nain terhenti setelah gas yang ia keluarkan. Wajah Nain memerah malu dan segera berbalik. Berharap Fiyyin tidak mendengar kentutnya saat melihat wajah Fiyyin yang tidak perduli.

Nain lekas berdiri dari duduknya dan berlari keluar dengan terburu-buru. "Kenapa kau keluar di saat seperti ini? Memalukan! Aku benci gangguan pencernaan ini." umpat Nain seiring larinya.

Zei yang melihat Nain berlari terburu-buru heran setelah Nain meneriaki Fiyyin dan membuat seisi kelas heboh, lalu menatap Fiyyin dalam.

Sementara Fiyyin tak menghiraukan situasi ini dan bangkit dari duduknya. Berjalan menghampiri siswi yang sebelumnya membuat janji dengannya, "Ayo! Aku sangat lapar."

Next chapter