webnovel

Tawaran Gila

Hawa dingin serta lorong gelap, telah menjadi sahabat akrab bagi orang-orang berseragam hitam, tetapi tidak bagi gadis berkaus putih itu. Tangannya meremas erat cup berbahan kertas yang tadinya berisi air mineral. Bibirnya pucat serta gemetar. Rambut indahnya terurai berantakan.

Hailexa tidak mengerti, mengapa harinya berakhir seperti sekarang. Ia hanya ingin jalan-jalan, menikmati Turin saat malam. Tetapi naas, kafe daerah tempat ia akan akan singgah berhasil diledakkan. Well, sebenarnya Hailexa tidak sepenuhnya tertimpa sial. Buktinya saja dia masih hidup hingga saat ini, hanya ada luka di dahi serta lengan kirinya.

"Ha-halo." suara Hailexa bergetar. "Ada apa, Grandma?"

Belum terdapat dua jam semenjak insiden ledakan serta neneknya telah mendengar info ini? Cepat sekali berita itu beredar, padahal sang nenek tinggal di daerah pedesaan.

"Oh ya? Aku belum dengar bertanya," dalih Hailexa. "Ya, Grandma, saya tidak akan keluar malam ini. Lagi pula besok sore aku wajib pergi ke bandara. Jadi malam ini ingin istirahat saja."

Hailexa menelan ludah ketika mendengar bunyi langkah kaki asal ujung lorong. "Grandma, aku tutup ya. Kita bicara nanti."

Pandangan Hailexa jatuh pada wanita di sebelahnya. Hanya tersisa 2 orang pada lorong ini. Jika bukan dirinya yang dibawa pergi, sudah sangat baik wanita itu.

"Nyonya, saya akan antarkan Anda keluar," ujar laki-laki berseragam hitam pada perempuan di sebelah Hailexa.

"Anda." Perempuan yang mengenakan seragam yang sama berucap pada Hailexa, "Ikut denganku."

Jantung Hailexa berdegup kencang. Mereka berjalan menyusuri lorong gelap. hingga datang di depan pintu kaca, Hailexa diminta buat menyerahkan ponsel lalu berjalan melewati mesin detektor.

Dalam benak Hailexa, sebenarnya ini kawasan macam apa? Kenapa punya pengamanan yang cukup ketat? Bahkan pada awal tersebut Hailexa telah harus menyerahkan tas serta kameranya. banyak jua ada alat sensor yang terpasang di setiap sisi pintu ruangan. Ini bukan penjara 'kan?

Dibatasi meja, Hailexa duduk berhadapan bersama perempuan yang tersebut yang membawanya. Lagi-lagi dia diberikan minum berupa air mineral menggunakan model gelas yang sama, hanya ukurannya saja kini lebih besar. Ini jelas membuatnya berpikir, jangan-jangan...

"Tidak terdapat apa pun di dalam minuman itu," ujar si wanita yang mempunyai kemampuan membaca pikiran, tanpa di minta perempuan di hadapan Hailexa sudah paham akan kecemasannya. "Jika tidak percaya abaikan, saya yang akan meminumnya terlebih dahulu."

Hailexa menggeleng cepat. Merasa tidak enak hati, ia langsung meneguk satu setengah asal isi gelas. "Maaf serta terima kasih.

"Apa anda penasaran tentang suatu hal?"

"Hah?" Hailexa pikir dirinya dibawa ke ruangan ini untuk dimintai berbagai pertanyaan. "Saya?"

"Ya. Bertanya-tanyalah sesukamu sebelum saya yang akan memberimu pertanyaan."

Tentunya sangat banyak pertanyaan yang telah mengantre di kepala Hailexa. Namun sayang sekali, bibir dan lidah gadis itu terlalu kelu untuk mengatakannya. pada akhirnya semua rasa penasaran yang sempat muncul itu hanya ia simpan serta telan bulat-bulat.

"Tidak ada? Baiklah, giliranku. Apa yg sedang anda lakukan di tempat itu?"

"Saya, Saya sedang berlibur. Kota ini bukan daerah asalku. Saya tiba dari—"

"Oke, I'm understand," potong perempuan itu cepat. "Hailexa Rose Spencer. Usiamu memasuki dua puluh dua tahun, dua bulan kemudian. Anda baru lulus dan mendapat gelar sarjana dengan nilai yg sangat memuaskan. Asalmu berasal Amerika tepatnya—"

"Stop," sela Hailexa sedikit membentak. Bagaimana mampu orang asing ini memahami data pribadinya? Selama ini Hailexa pula tidak pernah datang ke Turin. Jadi mereka tidak mungkin saling kenal sebelumnya. "Katakan pada saya apa maumu? Jika ingin uang, anda menangkap orang yang keliru. saya tak punya apa pun di sini selain ponsel, kamera, dan isi tas yang sedang anda sita. Ambil saja serta lepaskan saya."

Wanita itu tertawa kencang—lebih terdengar mirip mengejek. Kini dia bertopang dagu, memandang Hailexa yg sedang bingung sekaligus ketakutan.

"Dengar, saya ingin—"

Kalimatnya terputus. laki-laki berseragam hitam yg tadi Hailexa temui sedang mengetuk-ngetuk dinding kaca. beliau mengisyaratkan sesuatu melalui jari tangannya. Empat. Apa maksudnya asal empat? Empat menit? Empat jam? Empat hari?

"Saya ingin menyampaikan tawaran kepada Anda. Lebih tepatnya sebuah pekerjaan. sehabis lulus anda belum mencoba mencari kerja, bukan?"

Hailexa mengangguk. itu fakta. Beliau ingin menikmati waktu kosongnya buat berlibur dan menikmati pemandangan Turin sebelum nantinya akan disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan.

"Sebelum saya berkata pada anda wacana pekerjaan ini, anda mampu menentukan seberapa banyak bayaran yang anda inginkan."

Hailexa bungkam. Pekerjaan apa yg ditawarkan saja ia tidak memahami. kemudian bagaimana cara memilih jumlah bayaran yang diinginkan?

"Anda tampak galau. Saya akan membuka penawaran mulai—sementara waktu, saya perlu mengonversinya menjadi dollar." wanita itu menatap ponsel selama beberapa saat, sebelum kembali pada Hailexa disertai sudut bibirnya yang terangkat. "Seratus ribu dollar. tidak, seratus lima puluh ribu dollar."

"Itu bayaranku satu tahun?"

"Satu tahun? No. Itu satu bulan. Belum di tambah bonus-bonus lainnya. Anda masih bisa mempertinggi bayaranmu. lima ratus ribu? Satu juta?"

Napas Hailexa tercekat, mulutnya pun terbuka lebar. Dirinya tak salah dengar 'kan? dua puluh dua tahun dia hidup, Hailexa sama sekali tidak pernah membayangkan akan menerima tawaran pekerjaan dengan bayaran fantastis. Seratus lima puluh ribu dollar pada satu bulan. sial , dia bisa mendapat satu buah kendaraan beroda empat Lamborghini pada waktu dua bulan saja. Bagaimana Jika dia benar-benar dibayar satu juta dollar? Mendengar nominalnya saja menghasilkan kepala Hailexa pusing.

"Maaf Bila saya terkejut. Nominalnya terlalu banyak. Boleh saya memahami pekerjaan macam apa yang akan anda tawarkan pada saya?

***

Pandangan Emma tertuju penuh pada laki-laki yang sedang berjalan menghampirinya. Rasa haru serta bangga begitu menyeruak pada hati. tidak ada lagi kata-istilah yg mampu terucap kecuali kata selamat. Terlalu banyak momen emosional di sini.

"Mommy."

Emma melingkarkan kedua lengannya guna memeluk erat tubuh Alexander. Ini merupakan hari di mana Alexander lulus berasal studi masternya. menjadi orang tua, Emma tentunya sangat bangga menggunakan pencapaian ini. Putranya yang dulu cerewet dan banyak tingkah, sekarang sudah tumbuh dewasa serta begitu pandai.

"Selamat, Sayang," bisik Emma disela-sela pelukan mereka.

"Ini juga semua berkat dukungan Mommy serta Daddy. Daddy, di mana?"

"Sedang pergi ke toilet."

"Aunty Emma!"

"Oh, Allard. Selamat untukmu. selesainya ini kau jadi ke Bordeaux?"

Alexander menjulurkan lidahnya pada Allard Brian, teman baiknya semenjak middle school. "Allard masih belum tahu jawabannya, Mom," ujar Alexander.

"Alex menahanku terus agar tidak kembali ke Perancis. Si Parta ini tampaknya tak rela Bila aku pulang jauh."

"Berhenti memanggilku Parta," sentak Alexander dengan satu tangannya yang terkepal, siap menghajar Allard.

Alexander memahami Jika Allard hanya menggodanya, tetapi ia tetap kesal. Panggilan itu, ah sudahlah. Alexander tak suka Bila orang lain memanggilnya seperti itu.

Allard sudah pulang bersama keluarganya. Alexander sendiri mengajak Emma buat segera keluar dari ballroom, menunggu Terry di sisi pintu. Belum sempat ia berbalik, bunyi berat yg dihafalnya terdengar kentara pada antara keramaian.

"Apakah sudah terselesaikan?"

Alexander berbalik, telah ingin berteriak karena ayahnya terlalu usang pada toilet. tapi niat itu gagal, ketika dia mendapati gadis indah sedang berdiri di sebelah Terry. Satu matanya berkedip, keletah.

"Astaga. saya sedih sebab kau tidak bisa tiba. Kupikir Seattle membuatmu lupa padaku." Tidak ingin banyak bicara, Alexander buru-buru memeluk gadis itu kelewat erat. "Kau mengganti colour rambutmu lagi ya?"

"Tidak, ini memang colour asli."

Alexander menarik diri. Matanya memicing, membuat gadis itu bergerak mundur.

"Iya iya, hanya sedikit. Cantik 'kan?" tanyanya menggunakan mata penuh binar, namun Alexander tampak tidak peduli.

"Ayo pergi, sebelum Daddy-mu mengomel lagi," ajak Emma yang dibalas gerutuan kecil dari Terry.

"Alex, sakit," pekik Nicholla, yang lehernya sengaja dihimpit pada antara siku Alexander sepanjang bepergian keluar gedung.

Nicholla, saudara termuda wanita Alexander yang hari ini baru datang dari Seattle. tidak mirip dirinya yg mengenyam bangku universitas di kota kelahiran, Turin. Nicholla menentukan buat pergi jauh ke Seattle sesudah lulus asal high school.

Beberapa waktu sebelumnya, Nicholla memberi fakta Bila tidak mampu kembali saat acara kelulusan. Hal itu tentu saja menghasilkan Alexander sedih. tapi mau bagaimana lagi, Alexander mencoba buat tahu keadaan Nicholla. Lagi pula baru kali ini Nicholla tidak mampu hadir. Mereka jua sudah punya beberapa momen kelulusan yang lain. Ini tidak akan jauh berbeda dari sebelumnya.

Bak kejutan, entah kenapa adiknya itu tiba-datang saja hadir. Meski bisa dikatakan terlambat, Alexander cukup menghargai itu. Seattle dan Turin punya jeda yg jauh. Kedatangan Nicholla telah lebih berasal cukup.

Alexander baru saja mencapai anak tangga terakhir sesudah keluar dari kamar buat makan siang. ia pikir seluruh sudah berkumpul di ruang makan. tetapi nyatanya tidak. Nicholla masih berdiri berkacak pinggang pada ruang tengah.

"Kau baru balik pada mantan kekasihmu?"

Satu alis Alexander terangkat. Mantan kekasih? "Siapa yang kau maksud?" tanya Alexander heran sebelum pandangannya tertuju pada buket bunga akbar pada atas meja.

Nicholla membuang napas. kedua bola matanya berputar. "Jangan berlagak mirip punya banyak mantan kekasih saja. Kau hanya punya 2. yang terakhir baru bertunangan bulan kemudian. Jadi dia tidak mungkin mengirimkan hal semacam ini untukmu," ungkap Nicholla, seraya menyerahkan kertas yg sedari tersebut terselip di jemarinya.

Hats off to the grad!

Meski tak ada nama siapa pengirimnya, dengan melihat indikasi tangan yang tertera, Alexander sudah tahu siapa yang Nicholla maksud. "Kau yang menerima benda ini?" Alexander balik bertanya saat adiknya akan berkiprah pulang.

"Bukan, but Daddy."

Alexander menatap kartu ucapan dan bunga di atas meja secara bergantian. Well, mereka berpisah kurang lebih lima atau enam tahun kemudian. akan tetapi, komunikasi pada antara mereka masih terbilang relatif baik. sampai pada akhirnya Alexander punya kekasih baru, disaat itulah intensitas komunikasi yang terjadi mulai berkurang.

Napas Alexander berembus kasar setelah dia melempar kartu ucapan ke kawasan sampah. benar-benar, ini bukan berarti dia tidak menghargai anugerah seorang. Alexander relatif senang menggunakan ucapan ini, tetapi tidak ada gunanya menyimpan kertas mirip itu. Usai makan nanti, ia akan mengirim pesan serta berkata terima kasih. Soal bunga, mungkin Alexander akan meminta tolong di ibunya buat meletakkan benda ini ke pada vas berisi air.

"Nicholla!"

"Nicholla, itu bagianku!" teriak Alexander. dia menunjuk pada semangkuk es krim yg sekarang digenggam erat sang sang saudara termuda. "Jangan dihabiskan."

"Alex, aku baru tiba hari ini. Berbagilah denganku," ujar Nicholla menggunakan nada duka yang di bbuat. Alexander ingin muntah kini

"Saya baru makan sedikit kema—"

"Alexander."

Bibir Alexander mendadak bungkam ketika teguran halus berasal Emma terdengar.

"Kau sudah makan banyak satu minggu ini. tidak baik Jika terlalu banyak sekali. Lusa akan Mommy buatkan lagi. sekarang biarkan Nicholla menghabiskannya. Nah, Nicholla, simpan es krim itu sekarang. Kau bisa menghabiskannya sehabis makan siang."

Alexander menatap tajam Nicholla yg sengaja menjulurkan dan pengecap padanya. Dasar licik. Baiklah, dia boleh menang hari ini. namun lain kali, Alexander tidak akan abaikan hal yg sama balik terulang.

"Alexander. selesainya ini apa yang ingin kau lakukan?"

"Terry, tidak bisakah bicara nanti saja?"

Terry menatap Emma dingin. Dagunya beranjak, mengarah di Alexander. "Piringnya sudah hampir kosong, Emma."

Alexander menggigit bibir bawahnya. beliau sedikit ragu mengungkapkan rencana kecil yang akan beliau lakukan selesainya lulus berasal universitas. Alexander merasa Bila Terry akan kurang putusan bulat menggunakan hal ini. "Begini, aku berpikir buat bersenang-senang sedikit. Baru selesainya itu aku akan ikut dengan Daddy. Bagaimana?" usul Alexander dengan ke 2 tangannya yang menggenggam erat sendok dan garpu.

"Itu idemengagumkan." Bukan Terry yg menjawab, melainkan Emma. "Gunakan waktumu sampai kau puas, Alex."

"Mengagumkan apanya?" tanya Terry yang ditujukan pada Emma.

"Usianya belum hingga 2 puluh empat serta Alex telah lulus menggunakan gelar master. Bayangkan saja berapa banyak tekanan yang dia bisa selama ini. Sekolah tidak selalu menyenangkan. Jadi kurasa beliau punya hak buat bersenang-suka ."

"Mom, terkadang saya memang lelah menggunakan tugas dan ujian. tetapi soal tertekan, kurasa tidak. saya cukup senang menggunakan apa yg kupilih."

"Mommy mengerti, Alex." Emma tersenyum hangat. "kini saatnya kau kembali menentukan. Lakukan apa pun, tapi pikirkan baik-baik, jangan hingga menyesal. Lagi pula Daddymu memulai semua ini saat usianya menginjak saat dua puluh delapan."

"Saya memulainya di usia 2 puluh delapan karena sebelumnya wajib bekerja dengan—" Terry menghentikan kalimatnya dan buru-buru mengambil air minum. "Lupakan. Jadi, berapa lama ketika yg kau butuhkan? Ke mana kau ingin pulang?"

Bahu Alexander terangkat bersamaan. "Saya belum punya rencana pasti, sepertinya tidak akan lebih berasal satu tahun. Mungkin saya akan menyusul Nicholla ke Seattle." Alexander ingin mengunjungi beberapa kawasan yg letaknya jauh dari Italia, mirip Maldives, Australia, atau New Zealand. tapi ia masih belum memutuskan harus pergi ke mana. Risetnya masih belum relatif.

"Sebaiknya kau menetap di Parta saja sampai bosan," saran Nicholla menggunakan cengiran khasnya.

Alexander menggeram, wajahnya berubah merah. Beliau baru akan mencekal pergelangan tangan Nicholla, tetapi adiknya itu berhasil menghindar dengan cepat. "Nicholla," desisnya. "Awas kau!"

***

Next chapter