4 The Hoodie One (4)

PEMUDA BERTUDUNG__4th Part

"Maaf atas sambutan kami yang kurang berkenan," pemuda itu menempelkan telunjuknya pada bilah pedang Erich yang tajam kemudian menyayat kulit jarinya sendiri hingga darah segar menetes dari luka yang baru saja dibuatnya tersebut.

Erich merasa terprovokasi. Seolah ditantang, dia menghunus pedangnya secepat kilat, merobek tudung sang pemuda hingga terlihat jelas wajah di baliknya.

"Ternyata itu wajahmu yang sebenarnya?" Erich berseloroh. Di balik tawa yang mencela itu, justru degub jantungnya semakin menjadi. Wajah yang tak asing bagi Erich, yang pernah dia lihat sepuluh tahun lalu di bawah sebilah golok berdarah. Bahkan kedua mata pemuda itu seolah mengatakan bahwa Erich harus tunduk padanya.

Tak menunggu lebih lama, serangan kedua Erich pun dilancarkan menuju arah yang berlawanan, namun sang pemuda dengan gerakan licin, menghindar. Tangan kanannya menangkap pergelangan tangan Erich kemudian memelintirnya ke belakang. Tanpa Erich sadari, pemuda tersebut sudah ada di balik punggungnya. Sang pemuda balik menyerang. Ditendangnya bagian belakang lutut Erich agar pria tersebut bersujud tanpa ampun. Tak hanya itu, selagi tangan kanannya mencengkeram tangan kanan Erich, pemuda itu mendorong punggung Erich hingga wajah pria itu tersungkur menyentuh tanah. Erich pun kalah telak.

"Apa tak terpikir olehmu alasan para bandit itu tunduk padaku?" sang pemuda berbisik di telinga Erich, membuat tengkuk pria tersebut bergidig.

Erich masih tak percaya bahwa baru saja dirinya benar-benar dikalahkan oleh seorang bocah yang tubuhnya bahkan tak lebih tinggi atau berotot darinya. Seluruh tubuh Erich mendadak lemas dan tak berdaya. Senjatanya jatuh berkelontang ketika wajahnya diperbolehkan lagi untuk melihat jelas bagaimana rasanya kalah oleh rasa penasarannya sendiri.

Sang pemuda kemudian melepaskan tangan Erich dan kembali berdiri di hadapan pria tersebut. Dia menunjukkan pada Erich luka sayatan yang baru saja dia buat di telunjuknya. Pria itu terkejut bahwa tak satupun bekas goresan tertinggal di sana. Luka yang sempat meneteskan darah di hadapannya tadi, sudah tidak ada lagi. "Jadi, selain kemampuan memprediksi dan kecepatan tubuh, kau juga tidak dapat dilukai oleh senjata apapun," Erich menyimpulkan dengan kedua mata terpaku pada pria sangar dan pengikutnya yang masih berlutut--diam tanpa suara. "Kekuatan Phoenix yang hanya ada dalam legenda, ternyata benar-benar ada. Karena itulah mereka memujamu?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Erich, pemuda tersebut menyilangkan kedua lengannya kembali di belakang punggung kemudian berkata, "Berdirilah dan ikuti aku. Akan kutunjukkan kenapa aku belum bisa memenuhi panggilan Penasehat Agung sejak beberapa waktu lalu dan alasanku mencuri ini di Esenfania," pemuda itu melemparkan botol Scefflerium pada Erich yang sama merasa bersalah karena telah memaksakan kehendak sejak tadi.

"Mohon ampuni keangkuhan hamba, Yang Mulia," Erich masih tidak mau beranjak dari tempatnya berlutut saat itu. "Hamba tidak akan berdiri sampai menerima ampunan dari Yang Mulia."

Pemuda itu mendengus kesal tapi terpaksa menuruti ucapan Erich yang terlihat sangat merana memandangi tetesan darah yang membekas pada bilah pedangnya sendiri. "Tidak perlu berbicara formal padaku. Lukaku ini adalah kompensasi atas pencurian yang aku lakukan. Pengkhianat sepertiku, seharusnya sudah menjadi serpihan tulang sejak lama tapi aku berterimakasih pada Raja-Tertinggi Axton yang telah memberikan kesempatan kedua padaku," jelasnya. "Kau juga tidak perlu ampunan apapun dariku. Cukup berdiri dan ikuti aku saja jika tidak ingin aku melakukan hal yang melampaui batas. Asal kau tahu saja, Kepala Prajurit--kematian dan luka yang jauh lebih menyakitkan dari ini sudah pernah aku lalui sebelumnya."

Erich menelan ludah. Hatinya bergejolak bersamaan dengan tetesan peluh dingin di sekujur tubuhnya. Baru kali ini, dia menemui orang yang lebih menyeramkan dari Raja-Tertinggi Axton. Hanya dengan tetesan darah yang tidak seberapa, telah membuat pria itu merasa bersalah seumur hidup. "Betapa bodoh dan gegabahnya diriku, seharusnya tak perlu mengetes kemampuannya ketika sudah yakin bahwa dia memang orang yang Penasehat Agung cari. Aku bahkan telah membuatnya terluka. Kalau saja luka itu membekas, aku tak tahu bagaimana akan menjelaskannya pada Penasehat Agung nanti," pikirnya sebelum berdiri dan menyarungkan kembali pedangnya. "Lupakan saja!"

"Bocah ini... dari kejauhan seperti seorang pencuri kecil biasa," Erich berbicara dalam benaknya. "Tapi entah kenapa aku merasa terkesan pada pandangan pertama. Benar kata Penasehat Agung, hanya dengan memandang mata birunya saja, seolah berhadapan langsung dengan mendiang Putri Ireene El Idylla, wanita yang bahkan Raja-Tertinggi sendiri bertekuk lutut padanya."

*** ganti scene

avataravatar
Next chapter