2 The Hoodie One (2)

PEMUDA BERTUDUNG__2nd Part

Pria itu berjalan kembali menembus keramaian pasar ibukota dan akhirnya berhenti di antara dua bangunan penginapan. Sebuah lorong gelap dengan sedikit cahaya matahari yang mampu meneranginya. Di dalam lorong tersebut adalah kumpulan bangunan kecil dengan beberapa pria berpenampilan layaknya preman pasar di antaranya. Tempat itu dulunya wilayah pengasingan bagi mantan tawanan perang dan para pengkhianat kerajaan. Mereka tidak bisa lagi bekerja untuk melayani raja, tetapi sebagai gantinya, mereka bersumpah untuk menjaga wilayah kekuasaan Axton dari penjahat seperti mereka. Itu adalah harga atas nyawa mereka yang berharga.

Salah satu dari mereka berdiri menyambut Erich. "Ada perlu apa?" tanyanya. Kedua tangannya bersiaga dengan sepasang golok di tali pinggang. "Kau tidak memiliki simbol Phoenix, kau pasti bukanlah salah satu dari kami atau mungkin... kau memang pendatang baru di kota ini. Aku peringatkan untuk pertama dan terakhir kalinya, tidak ada yang boleh masuk ke lorong ini selain anggota kelompok kami."

Erich tiba-tiba ingat kalau semua orang yang ada di lorong gelap itu telah dilabeli oleh Pengadilan Tertinggi dengan gambar seekor burung api yang tengah mengembangkan sepasang sayap yang berpijar. Di salah satu bagian tubuh mereka--entah itu lengan, kaki, atau punggung--terdapat bekas stempel logam bergambar simbol tersebut. "Aku memang tidak punya yang seperti itu, tapi aku punya yang seperti ini," Erich berkilah tanpa rasa takut. Dia kemudian mengangkat tinggi-tinggi pedang miliknya untuk memuaskan rasa penasaran pria sangar di hadapannya. Simbol burung api yang sama terukir pada gagang hingga batang silang pedang tersebut. Bilahnya yang terbuat dari logam mulia dan didatangkan langsung dari Kota Grissham, membuat senjata itu terlihat eksotis dan berkilau.

Erich menurunkan pedang itu kemudian tersenyum. Dia mencoba bersikap sok akrab. "Aku menjemput seorang bocah yang baru saja masuk ke wilayah ini. Usianya sekitar enam belas tahun dan dia mengenakan tudung kelabu."

"Ini wilayah kami. Kau harus membayar satu keping emas untuk satu informasi penting dan sepuluh keping emas untuk informasi rahasia, meskipun kau adalah utusan Yang Mulia Raja," pria sangar itu mencoba berkoordinasi dengan rekan-rekan di belakangnya yang telah siap dengan berbagai senjata. Tidak seperti yang diduga, semua mantan kriminal di lorong tersebut seperti mengacuhkan Erich. Padahal sudah jelas sekali mereka mengetahui identitas pria itu hanya dengan melihat ukiran pedang miliknya.

"Kalian tidak mengenaliku? Aku tidak perlu informasi apapun dari kalian karena aku sudah tahu siapa kalian sebenarnya. Aku ke sini hanya ingin menjemput seseorang," Erich mendengus kesal.

"Kami bisa saja membiarkanmu masuk, tapi apa kau pikir mudah menemukan bocah itu tanpa informasi dari kami?" Pria sangar melipat kedua lengannya seolah menantang. "Asal kau tahu saja, bocah itu bukanlah sembarang orang. Dia adalah pemimpin kami. Dia mengoordinir hampir semua kelompok militan di lorong ini dan kami tidak bisa membiarkanmu menemukannya dengan mudah."

"Pemimpin?" Erich mendesis. "Bocah ingusan seperti itu bisa-bisanya menjadi pemimpin gerombolan kriminal ini? Sepertinya aku terlalu meremehkannya." Pria itu mengatupkan rahangnya rapat-rapat dan nyaris menggigit bibirnya sendiri. "Aku tidak mengerti kenapa kalian bersikeras menyembunyikan bocah itu di sini, padahal dia baru saja mencuri barang berharga di ibukota dan aku yakin kalian tidak ada yang mengetahuinya. Kalau aku ingin, bisa saja aku meminta bawahanku untuk mengirimkan surat perintah penahanan kemari. Tapi aku tidak ingin melakukannya karena aku tahu kalian orang seperti apa."

Pria sangar sedikit geram mendengar cerita Erich barusan. Dia memalingkan wajah ke arah semua rekannya untuk memberi isyarat bahwa kurang bagus jika sampai mereka bergelut kembali dengan dunia kriminalitas hanya karena sedikit kesalahpahaman. "Katakan, apa alasanmu dikirim kemari?" tanyanya dengan menurunkan nada bicara.

*bersambung ke part berikutnya

avataravatar
Next chapter