1 Chapter 1: If you don't know, now you know.

Dunia telah dipenuhi oleh kekuatan super. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan atau entah dari mana asal kekuatan ini. Semua orang telah menerimanya begitu saja dalam kehidupan mereka. Karena kekuatan super ini telah membantu kehidupan manusia, sedikit atau banyak. Apakah ini adalah anugerah Tuhan atau kutukan iblis, tidak ada yang peduli. Monster yang bermunculan seiring kekuatan menjalar lebih menarik perhatian. Begitu pula dengan kriminal-kriminal dengan kekuatan super. Tentu kamu tidak berpikir semua orang akan menggunakan untuk kebaikan saja, bukan? Dengan kekuatan yang menggelora, tentunya perbuatan buruk seperti pencurian, penjarahan, dan pembunuhan menjadi semudah membalik telapak tangan.

Tidak semua orang memiliki kekuatan super, malah masih lebih banyak orang yang tidak punya kekuatan super. Ketakutan tentunya menjangkit atas Saneis—sebutan untuk orang-orang non-super. Mereka bertanya, apakah Insaneis—sebutan untuk orang-orang super—akan tetap berguna bagi manusia lainnya, dan sampai kapan Insaneis akan tetap terkendali? Bagaimana jika suatu saat mereka lepas kendali seperti monster yang mereka basmi sendiri? Atau seperti penjahat yang mereka tangani?

***

Pertengahan Juli 20XX

Angin berhembus mesra, pepohonan melambai ramah, matahari bersinar indah. Yup! Ini semua adalah pertanda bagus. Hariku tidak mungkin menjadi buruk, kan? Apalagi ini adalah hari pertamaku masuk sekolah! Namaku Sonia Kania, perempuan, umur 12 tahun. Ini akan jadi pertama kalinya aku masuk SMP. Ah, iya, SMP-ku ini bukan SMP biasa. SMP ini adalah sekolah khusus untuk mempelajari dan melatih kekuatan super, ASTRIS, (Academy for Superpower Training and Study).

Secara bangunan, sekolah ini memilik luas sebesar 10 hektar. Dinding setinggi 20 meter mengelilingi sekolah ini. Di depan gerbangnya terpampang lambang sekolah ini. Tameng dengan bunga dandelion di tengahnya serta dua singa dengan posisi berdiri di sampingnya. Bangunan di sekolah ini terbuat dari pualam dengan cat berwarna biru muda menghiasi. Ada banyak sekali bangunan di sekolah ini.

Mulai dari aula, kantor guru, ruang kelas, asrama, dan masih banyak lagi. Tapi, meskipun begitu mereka masih punya lahan kebun dan hutan kecil di sekolah ini. Ada juga lapangan sepak bola, lapangan futsal, basket dan kolam renang. Yah, akademi ini bukan akademi main-main.

Kenapa aku masuk ke sini? Karena kakakku juga merupakan murid disini, dulu. Dia keluar karena suatu alasan. Tetapi, bukan berarti aku juga harus ikut-ikutan. Aku harus bisa bertahan di sekolah ini. Kata kakakku dan beberapa temannya, sekolah ini pelajaran dan pelatihannya susah minta ampun. Mungkin karena itu dia keluar. Artinya, kalau aku berhasil bertahan di sekolah ini, aku lebih hebat dari kakakku! Sekolah ini cukup unik karena masa studinya hanya 2 tahun untuk tingkat menengah pertama dan 2 tahun juga untuk tingkat menengah atas. Kakakku hanya sampai 3 tahun. Sayang sekali, padahal tinggal satu tahun lagi, kan? Murid yang masuk dari tingkat SMA-nya pun juga dipersilakan. Setelah melewati tes yang diberikan tentunya. Banyak murid pindahan yang bagus-bagus kata kakakku.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku berada di sekolah ini. Aku pernah berkunjung dan menetap selama 3 minggu tahun lalu untuk pelatihan. Ini dikarenakan SD-ku adalah cabang dari akademi ini juga. Selain itu, semua murid baru bersama yang lama juga telah mengikuti MOS atau Masa Orientasi Siswa bulan Mei lalu. Jadi, kami sudah tidak asing lagi dengan satu sama lain. Makanya aku bisa langsung berjalan ke asrama tanpa ragu. Tetapi, kok? Di asrama, aku melihat seorang perempuan yang tidak kukenal. Dia sedang duduk di bawah pohon asrama. Murid baru juga, kah? Dia mendatangiku dan menyapaku.

"Hai, kamu murid baru juga, ya?"

"I-iya."

"Oh iya, namaku Lucia," katanya seraya mengulurkan tangan untuk berjabat.

"Aku Sonia," kataku sambil menjabat tangannya.

"Aku belum pernah lihat kamu sebelumnya," lanjutku

"Ah, itu karena aku baru tes dua minggu yang lalu."

"Ohhh… begitu ya."

"Jadi mohon bantuannya ya, Sonia."

*Teng teng teng teng*

"Kepada seluruh murid diharapkan untuk segera berkumpul di aula sekolah. Sekali lagi, bagi seluruh murid diharapkan untuk segera berkumpul di aula sekolah, terima kasih."

"Ayo, Lucia, kita segera ke sana."

"E-eh, ada apa ya?"

"Hmm… palingan hanya sambutan biasa."

Aku dan Lucia segera bergegas melangkahkan kaki kami ke aula sekolah. Jaraknya lumayan jauh dari asrama putri, dibandingkan dengan asrama putra. Ketika kami berjalan, seorang perempuan berbadan tinggi datang menghampiri. Itu adalah Kak Annie. Dia teman kakakku dulu. Dengan cerianya dia menyapa kami,

"Hai, Sonia! Ternyata kamu jadi juga sekolah disini… Eh, ini siapa?"

"Ah, ini Lucia, dia murid baru juga. Lucia, ini Kak Annie dia murid SMA kelas dua."

"Ohhh… salam kenal kalau begitu," kata Kak Annie sambil menjabat tangan Lucia. "Ayo kita ke aula sekolah."

"Kak, ada acara apa kita dipanggil ke aula?" tanyaku.

"Emm… hanya sambutan biasa sih, tapi untuk susunan acaranya… aku juga nggak tahu. Yah, ikuti sajalah. Toh jarang-jarang kita bisa mendengar Pak Kepala Sekolah ngomong."

Aku dan Lucia mengangguk setuju. Mungkin memang ada pesan penting yang ingin disampaikan Kepala Sekolah. Kami tiba di aula sekolah. Ternyata sudah banyak siswa yang sudah tiba di aula. Setelah kami pun juga masih ada beberapa yang tiba. Kami duduk di beberapa kursi yang masih kosong.

Banyak orang berbisik-bisik satu sama lain. Sama seperti kami, pasti mereka juga ingin tahu apa yang akan disampaikan. Raut wajah bingung, penasaran dan terkejut berbaur diantara mereka, disertai dengan tebakan-tebakan liar. Akhirnya, seorang pria berambut cepak dengan kumis dan jenggot yang rapih menghampiri podium. Itulah kepala sekolah akademi ini, Pak Bayu Wiranegara.

Orang bilang beliau adalah yang terkuat di sekolah ini. Tidak mengherankan sih buatku, namanya juga kepala sekolah. Ia adalah orang yang terlihat penuh wibawa dan karisma pula. Siswa yang tadinya gaduh, sekarang sudah hening siap mendengarkan beliau. Guru yang lain pun juga datang ke atas panggung dan duduk di belakang beliau.

"Selamat Pagi, murid-muridku sekalian. Selamat datang kembali di ASTRIS. Setelah kalian liburan selama beberapa minggu terakhir ini, kalian kembali lagi di sekolah ini. Kembali untuk mendapat pelajaran, pelatihan dan ilmu yang bermanfaat. Perjalanan kalian akan panjang, jalan kalian akan sukar. Maka, kuatkan hati kalian, niat kalian, dan tujuan kalian agar kalian dapat meraih sukses di akhir perjalanan kalian ini.

Itu adalah pertama yang saya ingin sampaikan. Yang kedua, kita kedatangan guru baru. Beliau datang jauh-jauh dari Manang. Saya akan mempersilakan beliau untuk memperkenalkan dirinya. Kepada Pak Ares, kami persilakan."

Pak Bayu turun dari podium. Digantikan oleh seorang pria berbadan besar. Wajahnya terlihat sangar dan galak. Namun sambutannya berkata berkata lain, malah mengalihkan dugaan kami semua.

"Halo, teman-teman semuanya! Apa kabar? Selamat pagi. Perkenalkan nama Ares Raka Chandra atau biasa dipanggil Ares atau Pak Ares. Saya adalah orang baru disini. Sebelumnya saya dipercaya untuk menjadi manajer di yayasan sekolah ini juga guru mata pelajaran Bahasa Inggris dan Pengendalian Energi untuk tingkat SMP," tutur beliau dengan fasih dan dengan muka yang cerah.

"Saya belum tahu banyak soal sekolah ini, bagaimana orang-orangnya, kebiasaannya, keseharian dan budaya di sini. Jadi, mohon bantuannya dari temen-temen semua supaya kita semua bisa menciptakan suasana sekolah yang nyaman dan menyenangkan untuk belajar.

Itu saja dari saya, sekian. Kita ketemu lagi minggu depan untuk alasan yang berbeda. Terima kasih."

Sontak kami semua bertepuk tangan. Semua tersenyum, begitu pula aku. Dapat dikatakan kami lega karena beliau bukan tipe guru yang killer atau pun kaku. Malah sepertinya asyik. Pak Bayu pun naik ke podium lagi.

"Ya, terima kasih Pak Ares atas sambutannya. Kita harap dengan adanya beliau, sekolah ini dapat menjadi lebih baik lagi ke depannya. Selanjutnya—"

*DUM! DUM! DUM!

"Suara apaan tuh?!" kata seseorang.

*DUARRR!!!

Atap gedung aula hancur. Seseorang, bukan lebih tepatnya sesuatu yang membuat lubang disana. Dan yang aku inginkan saat itu adalah lari. Tapi tak bisa, kakiku terasa beku dan pikiranku entah melayang kemana. Terutama setelah melihat monster raksasa ber-tentakel itu. Dengan mata ganasnya seakan siap memangsa kami.

"GROAAARRR!!!"

"Aaaaaaaaaaaa!!!"

"Serangan monster!"

"Cabut! Cabut! Cabuuuttt!!!"

"Sonia! Sonia! Cepetan, Lari!"

Suara Kak Annie… memangilku… harus… kabur…

"Kabur lagi? Dasar cengeng!"

Entah kerasukan apa, aku malah berjalan menuju monster itu. Berusaha melawannya. Orang gila. Mungkin itu yang akan aku katakan kalau bisa melihat diriku sendiri. Kakiku sekarang bisa bergerak, tetapi pikiranku masih melayang entah kemana. Dalam kesadaranku, hanya ada satu hal. Mengalahkan monster ini.

"Sonia? Ngapain kesana?!"

"HAAAHHH!"

Aku mulai berlari ke arah monster itu. Sementara sebagian besar siswa lain berlari ke arah pintu. Aku mengepalkan tangan kananku, memusatkan energi.

"ICE SHOT!"

Tiga peluru es meluncur dari tanganku mengenai monster tentakel itu. Tak berpengaruh banyak. Tetapi, monster itu langsung menatapku. Ia langsung membalas dengan salah satu tentakelnya berusaha menangkapku dari sebelah kiri. Dengan refleks, aku melompat ke belakang. Tetapi, aku lupa kalau tentakelnya lebih dari satu. Tentakel lainnya menangkap kakiku dari belakang. Aku ditarik ke atas, keluar atap.

"Waaahhh!!!"

Aku bisa melihat seluruh sekolah dari sini. Begitu pula semua siswa yang berhasil keluar dari aula bisa kulihat dari sini. Saat itu kesadaranku baru kembali sepenuhnya. Aku dalam bahaya. Aku bener-bener mati. Apalagi dengan terayun-ayun setinggi 100 kaki dari tanah. Fix. Good bye kehidupan SMP.

"Rasain nih, monster jelek!"

*BOOM!

Monster itu mengerang kesakitan. Bagus! Siapa yang nyerang, ya? Eh, tapi kalua dia kesakitan, berarti pegangannya lepas, dong? Berarti, aku jatuh dong?! Angin yang berhembus dari punggungku sepertinya membenarkan itu. Aku pasrah saja, memejamkan mataku.

Kemudian, anginnya terasa berubah arah. Aku juga merasakan hembusan nafas. Aku membuka mataku. Ternyata aku berhasil ditangkap oleh seseorang berambut merah. Dari pakaiannya sih seragam sekolah kami. Tetapi warnanya biru. Murid SMA? Dia menggendongku dengan satu tangannya. Sementara, tangannya yang lain mengeluarkan api untuk terbang.

"Kamu gak kenapa-napa?"

Bibirku kelu, wajahku panas, dan hatiku berdebar. Bukan karena aku suka dia, bukan. Tapi karena aku masih sulit mencerna semua hal yang barusan terjadi. Dari nekat melawan monster, terayun-ayun setinggi seratus kaki, sampai digendong oleh kakak kelas yang aku nggak tau namanya. Semuanya terjadi terlalu cepat. Lagi-lagi pikiranku melayang entah kemana.

"Duh, susah nih terbang pake satu tangan. Turun ya?"

"Tu-turun aja sih! Lagian malu-maluin kan cara Kakak gendong aku."

"Emangnya kamu punya cara yang lebih bagus? Dasar, kujatohin juga nih."

Dia langsung melesat turun ke arah siswa yang sedang berkumpul. Kemudian, ia melepaskan pelukannya ketika sudah mendarat.

"Nih, Annie! Jagain!" katanya, kemudian melesat lagi.

"Sonia! Kamu gapapa, kan?"

Dengan nafas terengah-engah, aku terjatuh menyetuh tanah dengan lututku. Keringat dengan deras mengalir dari tubuhku. Aku masih syok. Pertanyaan Kak Annie tidak sempat kuhiraukan. Aku malah bertanya balik.

"Kak, itu tadi siapa?"

Kak Annie mengangkat alisnya, "Serius kamu nggak tau? Itu kan Sifari. Dia terkenal padahal. Salah satu 'Empat Raja Langit'."

"Empat… Raja…Langit…?"

***

"Dasar tukang pamer."

"Hah?! Emangnya masalahmu apa, dasar Gorila!" kataku.

"Nyelamatin orang sih bagus, tapi kalo sampe gendong cewek, apa namanya bukan pamer dan caper."

'Kalo bukan anak guru gue, gue gosongin juga lu!' gumamku dalam hati.

"Udah, udah. Udah tau ada monster malah berantem sendiri," kata Bang David.

"Itu Kraken, ya? Kayak yang ada di mitos-mitos," kata Sandi sambil membetulkan kacamatanya.

"Iya, tapi kayaknya ada sedikit modifikasi genetis. Makanya dia bisa bernafas di luar air. Bisa juga karena dikasih kekuatan sih," kataku.

"Yah, apapun itu, kita hajar aja nih monster. Berani banget gangguin pak Bayu ngomong." kata Toni.

Senyum kami tetapi berubah, dengan terbukanya portal di langit yang mengeluarkan beberapa monster lagi. Aku kenal beberapa di antaranya, seperti monster berbentuk singa Manticore, siluman kuda campur burung Griffin, dan beberapa kumbang raksasa Khepri. Agak aneh melihat kombinasi monster-monster ini sebenarnya.

Namaku Sifari Danar. Laki-laki. Usia 16 tahun. Saat ini kelas dua SMA di akademi ini. Orang gendut ini adalah David Ishak. Dia dua tahun lebih tua daripadaku. Kami semua memanggilnya 'Bang David'. Si kutu buku berkacamata ini adalah Sandika Putra, setahun lebih muda daripadaku. Sementara si ikal berbadan gorila ini adalah Toni Regalia. Dia adalah anak guru kami. Guru yang mana? Nanti kujelaskan. Monster ini lebih penting. Oh ya, entah kenapa murid-murid lain memberikan kami berempat julukan 'Empat Raja Langit'. Mungkin karena kami yang paling kuat diantara semua murid di akademi ini.

"Duh, monsternya tambah banyak lagi," keluh Bang David.

"Yah, jadinya bisa bagi tugas, sih," kata Sandi.

"Heh, jangan jadi bebanku, ya," kata Toni.

"Harusnya aku yang bilang begitu," jawabku sambil mengepalkan tinju.

Kraken yang tadi ada di atap gedung aula, sekarang berlari kearah kami yang sedang berada di atap kantin. Heh? Berlari? Iya berlari! Dan sekarang sudah ada tepat di depan muka kami.

"Yang di sini kami serahkan ke kamu, Sifari," kata Bang David sambil melompat pergi bersama yang lainnya.

'WHHHAAAATTTT?!?!' teriakku dalam hati.

Monster gurita itu meluncurkan salah satu tentakel ke arahku. Aku mendorong diriku ke atas gurita ini untuk menghindar dengan menggunakan kekuatan apiku. Sepertinya bernafas di luar air bukan satu-satunya kekuatan yang dia punya. Dia bisa lari juga! Kraken saja di mitos-mitos sudah mengerikan di laut. Sekarang, bukan hanya di darat, tetapi dia juga punya kekuatan seperti di air. Bahaya, nih. Aku jadi gak bisa berhenti senyum.

"FIRE DRIVE!" Aku meluncurkan pukulan ke atas Kraken.

"GROOOAAARRR!" Kraken itu mengerang kesakitan, kemudian jatuh ke tanah. Pingsan.

"Eh, udah nih, segini aja?" kataku melongo.

"GROOOAAARRR!"

Ternyata belum. Kraken itu melilit tubuhku dengan tentakelnya. Lalu, membanting tubuhku ke tanah.

"Hei, sakit tau!" bentakku.

"GROOOAARRR!"

"Oh iya, kamu kan nggak ngerti bahasa manusia," kemudian aku menyelimuti diriku dengan api, "kalau begitu kita akan berbicara dengan Bahasa yang kau mengerti."

Aku mengayunkan tanganku dari bawah ke atas. "HIBASHIRA!"

Seranganku membakar gurita itu. Kali ini dia sepertinya benar-benar kehilangan kesadaran. Aku menghela nafas. Melepas sarung tanganku.

"WOI! Tim penangkap monster mana nih? Malem ini kita makan gurita bakar loh." Aku melihat ke sekitar. "Yang lain juga udah selesai kayaknya."

Aku pun menoleh. Dua orang laki-laki berlari menghampiriku. Yang satu agak gondrong lurus bersisiran rambut rapi, bermata agak sipit, dan membawa katana di punggungnya. Yang satu lagi bersisiran rapi juga, namun rambutnya agak tajam. Ia berbadan tegap dan kekar, memakai kacamata. Mereka berdua adalah adik kelasku. Yang membawa katana bernama Barqi, dan yang berkacamata bernama Alan.

"Kak Sifari, kau tidak apa-apa?" tanya Barqi.

"Ya, aku tidak apa-apa," jawabku. "Kalau cuman begini saja, sih, mudah."

"Heehhh, tadinya aku juga mau ikut membantu," kata Alan, "tapi, Kak Barqi melarangku."

"Yaaa, buat apa juga kita ikut bertarung," tanggap Barqi, "Kak Sifari bisa menanganinya dengan mudah, kok."

Aku menggaruk kepalaku, "Barqi, kau bilang begitu, tapi kau juga membawa katana-mu, kan?" Aku menunjuk punggung Barqi.

Barqi melihat punggungnya, "Ah, iya! Benar juga! Yah, sebenarnya kami memang ingin membantu."

"Ahaha, ya, ya, aku tahu, kok," kataku. "Tapi, untuk kali ini biarkan kami saja yang menanganinya." Aku berjalan melewati mereka. Mereka pun ikut di belakangku. "Tapi, apa kalian tidak merasa aneh?"

"Hm, ya, dua serangan monster dalam tiga bulan ke sekolah," jawab Barqi.

"Biasanya jedanya empat sampai tiga bulan, kan?" tanya Alan. "Seakan-akan ada yang mengaturnya."

"Justru itu," kataku, "kalau serangannya teratur, seperti ada yang mengendalikan. Tapi, kalau tidak teratur…"

"Seakan monster-monster ini bertindak atas insting mereka sendiri, kan?" kata Barqi melanjutkan.

Aku mengangguk. Barqi dan Alan berpandangan dengan cemas.

***

"Emmm… jadi 'Empat Raja Langit' itu apa lagi?"

"Duh, Sonia… mereka itu empat orang kelas dua SMA paling kuat di sekolah ini. Ada Bang David, Toni, Sandi, sama Sifari," papar Kak Annie.

Lucia mengajakku dan Kak Annie untuk berbicara tentang sekolah ini, terutama tentang kejadian tadi pagi. Matanya berbinar-binar ketika kami menjelaskan. Yah, lebih banyak Kak Annie yang menjelaskan sih daripada aku. Aku pun juga masih punya hal yang belum kumengerti. Karena aku kan juga baru disini, meskipun kakakku pernah disini.

"Mereka juga yang paling sering ngelawan monster kalo tiba-tiba muncul," lanjutnya.

"Kelas dua? Berarti sekelas sama Kakak dong?" tanya Lucia.

"Iyadong!" jawab Kak Annie penuh percaya diri.

"Kalau gitu Kakak punya julukan juga gak?" tanyaku.

"Enggaklah! Kan dia yang paling lemah!" celetuk seorang laki-laki.

"Ih, Rudi! Ngeselin banget sih! Ngapain juga coba disini!" kata Kak Annie dengan kesal.

"Lho? Fakta, kan? Lagian kantin kan tempat umum. Apa hakmu ngelarang aku disini?" kata siswa yang bernama Rudi.

Dia sekelas dengan Kak Annie, ya? Berarti aku panggil dia Kak juga, dong?

"Lagian kayak kamu punya julukan aja! 'Tiga Menteri' yang kamu bikin bareng Adam sama Riza kayaknya gagal tuh!"

"Eits, bukan gagal. Tapi 'belum berhasil'. Nanti kalau kita sudah diakui, jangan ngemis-ngemis buat jadi menteri keempat ya!" ledek Kak Rudi dengan riang. Kemudian dia menunjuk jam dinding kantin. "Udah jam 8 malem tuh. Cewek jangan keluar malem-malem, balik sana ke asrama!" katanya sambal berjalan menjauh dan melambaikan tangan.

"Siapa lo ngatur-ngatur, dasar bantet!" kata Kak Annie dengan muka memerah.

"Kalian berdua cocok, ya." celetuk Lucia tiba-tiba.

"Ha-hahhh!!! Maksudmu apa, Lucia?!" muka Kak Annie tambah memerah.

"Maksudku kalian cocok berpasangan. Apalagi?"

"Aku gak suka dia tau! Dia udah jelek, bantet lagi! Lagian aku juga gak akur sama dia kan!"

"Tenang aja, Kak. Ron dan Hermione juga sering berantem tadinya, tapi akhirnya mereka berdua nikah," kata Lucia sambil menyeringai.

"Ih, Lucia," gerutu Kak Annie dengan muka masam.

"Hahaha. Bener tuh, Kak. Hati-hati loh nanti jadi beneran," godaku.

"Hmph, terserah kalian ajalah." Kak Annie menyeruput teh kotaknya. "Ngomong-ngomong, Sonia, kamu kenapa pas serangan monster tadi pagi?"

"Iya, kamu kayak kesurupan tadi," sahut Lucia.

Aku terdiam. "A-aku juga nggak tahu. Dalam diriku tiba-tiba saja merasa ada sesuatu yang harus dipenuhi. Harus dilakukan. Wajib. Yang lain gak penting."

"Yah, apapun itu," Lucia menyeruput minumannya, "yang kamu lakukan cukup gila, sih. Harus ada dorongan yang kuat supaya seseorang melakukan hal gila macam itu. Seperti pengalaman masa lalu yang traumatis atau semacamnya."

"Saking gilanya sampe harus diselamatin Sifari," goda Kak Annie, "gimana kamu menikmati digendong dia?"

"Apaan sih, Kak. Aku aja gak kenal dia," jawabku datar sambil menyeruput minumanku, "tapi, dia lumayan baik dan kuat. Meskipun agak aneh."

"Yah, udah biasa sih dia nyelamatin orang, bantuin orang," kata Kak Annie, "Apalagi dulu… Ah, Sonia, Lucia, kita balik ke asrama, yuk! Udah jam 9. Takutnya kita dikunciin."

"Oke!" jawabku dan Lucia.

Di asrama, pikiranku masih terpaut pada kejadian tadi pagi. Bagaimana aku seperti orang 'kesurupan'. Berani menantang monster itu, padahal kemampuanku belum seberapa. Dorongan dari pengalaman masa lalu yang traumatis ya?

'Tapi pengalaman yang mana?' pikirku.

Orang yang menyelamatkanku. Kak Sifari. Harusnya aku terima kasih sama dia karena udah nyelamatin aku. Bukannya marah-marah. Mungkin besok lah. Entah kenapa aku merasa pagi tadi bukan sekalinya aku akan bersimpangan jalan dengannya.

***

Seminggu kemudian…

Ruang rapat yang biasa dipakai oleh guru-guru saat ini sedang diisi oleh kami, murid kelas dua SMA. Angkatan Satu, itulah nama lain kami. Sebelas orang yang sedang mumet membicarakan hal yang sama selama tiga hari berturut-turut. Silat lidah, perdebatan, negosiasi, dan kompromi di atas meja persegi panjang ini. Ah… pikiranku sudah menyerah dengan semua itu.

"Gimana, Rolan? Masih ada yang mau dituker?" tanya Pak Ares

"Eng-enggak, pak." Kata Rolan sambil malu-malu.

'Buat apa dia malu-malu?' pikirku.

"Ton, gimana masih mau tukeran sama Riza?" kini Pak Ares bertanya kepada Toni.

"Enggak usah. Enggak jadi, Pak!" kata Toni cengegesan.

"Kau gimana, Jof? Gak tuker?" tanyaku sambil berbisik.

"Gak perlu. Kayaknya ini udah cukup bagus, Sif," jawab Jofie yang duduk disampingku.

"Well, suit yourself," kataku sambal mengangkat bahu.

Dia sudah cukup yakin dengan pilihannya. Percuma aku mengkhawatirkan pilihan dia. Seharusnya aku mengkhawatirkan pilihanku sendiri. Yang lain juga masih ragu dengan pilihan mereka sepertinya. Dari tadi masih terdengar bisik-bisik mereka.

"Heh, tak kusangka, Sifari," celetuk Toni dari seberang meja. "Ternyata kau mesum juga."

"Hah? Apa maksudmu?" tanyaku.

"Karena kau memilih 'dia'," jawab Toni. "Kau sengaja, kan, dasar mesum!"

Aku menggebrak meja, meskipun dengan tidak keras, "Hah?! Tentu saja bukan! Lalu, bagaimana denganmu, dasar sis-con tingkat akut!"

"Siapa yang sis-con, HAH!?" seru Toni. "Adikku itu tidak bisa lepas dariku! Dia membutuhkanku! Dia bergantung kepadaku!"

"Memangnya kau tuhannya, apa?" tanyaku dengan sinis.

"Sudah kalian berdua, DIAM!" seru Bang David yang berada di tengah-tengah. Ia membesarkan kedua tangannya dan menghantamkan wajahku dan Toni ke meja.

"Wah, kau kena face-plant, ya, Sifari," kata Jofie mengomentari.

"Di-diam," kataku lirih.

Pak Ares berdeham, semuanya langsung terdiam dan memerhatikan. "Oke," kata Pak Ares sambal menunjuk proyeksi di papan tulis, "setelah ini saya gak akan terima tawar-tawaran lagi. Pilihan kalian akan saya umumkan nanti malam jam setengah delapan di aula. Saya akan jelaskan juga aturan-aturan yang telah kita sepakati bersama kepada adik kelas kalian. Ya, saya kira cukup sekian untuk hari ini. Kita akan ketemu lagi dua minggu lagi untuk evaluasi. Class is dismissed."

Semuanya berdiri dari kursi dan berjalan keluar kelas. Kecuali, aku dan Jofie yang memilih untuk keluar terakhir. Suara-suara berbisik masih terdengar dari mereka, membicarakan hal yang membuat kepala kami penat selama tiga hari. 'Squad Project', itulah nama yang menyibukkan kami. Saking parahnya, kami membicarakan ini hampir di setiap tempat. Mau di asrama, kantin, kelas, bahkan ngantri kamar mandi sekalipun. Untungnya hal ini belum ketahuan adik kelas kami. Karena Pak Ares juga sudah mewanti-wanti untuk tidak membocorkan hal ini kepada siapapun. Walaupun, aku pun kurang tahu sejauh mana rahasia ini terjaga.

"Sifari," panggil Pak Ares.

"Ya?" jawabku sambal membalikkan badan.

"Nanti tolong kamu umumkan, ya. Semua murid kumpul di gedung aula jam setengah delapan."

"Oke, Pak."

***

Aku tertunduk lesu. Seakan tenagaku dihisap habis. Pelajaran Sejarah tadi agak membuatku jenuh. Harus mendengarkan Pak Bima bercerita panjang lebar. Rasa kantuk pun menyerang. Dan aku berusaha keras agar mataku tetap terbuka. Hasilnya, sekarang aku pun masih merasa ngantuk. Lucia yang berjalan bersamaku terlihat segar. Malah, dia tidak tertidur saat pelajaran tadi. Wow, hal apa yang bisa menjatuhkan gadis ini? Sepertinya cinta pun nggak akan mempan.

"Sonia, kamu oke?" tanya Lucia.

"Yah, sedikit lelah," jawabku malas, "mungkin jajanan di kantin akan membuatku lebih baik."

"Sedikit kesenangan, itulah obat bagi kejenuhan."

*Teng, teng, teng, teng.

Kami terhenti mendengar bel pengumuman. Ada pengumuman apa ya? Plis, jangan kelas tambahan. Aku sudah cukup lelah dengan kelas yang ada.

"Cek, cek, udah nyala belom?" kata suara dari speaker sekolah. "Ehem, oke, eeeeehhh, tadi apa, ya?"

'Udah cepet ngomong aja!' pikirku kesal.

"Ah iya, bagi seluruh siswa ASTRIS, SMP maupun SMA, jam setengah delapan diharapkan untuk berkumpul di gedung aula. Karena ada pengumuman penting. Sekali lagi. Bagi seluruh siswa ASTRIS, SMP maupun SMA, jam setengah delapan diharapkan untuk berkumpul di gedung aula. Karena ada pengumuman penting. Terima kasih."

"Pengumuman, ya?" keluhku sambal berjalan, "semoga gak lama-lama. Tapi tentang apa?"

"Apa mungkin soal gossip yang kemarin?" terka Lucia.

"Gosip apa?"

"Ah, kamu tidur duluan. Jadi, kemarin aku nggak sengaja denger beberapa anak kelas dua SMP ngobrolin sesuatu yang namanya 'Squad Project'."

"'Squad Project?'"

"Iya. Jadi katanya kita mau dikelompokkan gitu buat dilatih deelel."

"Dikelompokkan? Dengan siapa? Diacak atau milih sendiri ya? Semoga dengan siapa pun itu, orangnya gampang diajak kerjasama, gak egois, dan tugasnya gak susah-susah amat."

"Yah, semua orang berharap seperti itu, kan?"

Aku menghela nafas, "Tapi, sering banget harapan kita enggak selalu sama dengan apa yang kita dapatkan."

To be continued…

avataravatar
Next chapter