6 The Richman - Escape

Dua hari mendebarkan karena aku ditawar oleh seorang pria yang ngotot membayar dua kali lipat dari harga yang sudah di ketok palu dimenangkan oleh supir Richman.

Pria itu tampak gemas dan was-was kalau saja supirnya kalah lelang dengan pria botak tua tambun itu. Karena malam ini permainannya sedikit berbeda. Kami berdiri sebagai objek lelang sementara semua hidung belang berlomba-lomba untuk memenangkan harga dari gadis yang mereka inginkan.

Richman sudah ikut menawar Angela dan dia memenangkan gadis itu dengan harga 50 ribu dollar, cukup murah baginya, tapi cukup mahal bagi pria lain.

Aku naik ke atas podium begitu nomor urutku disebutkan, tentu saja aku berdiri dengan pose terbaikku. Tatapanku jelas tertuju pada pria bertuxedo hitam dengan dasi abu-abu yang dia kenakan. Duduk dengan satu kaki tersilang menutupi kaki lainnya. Dia menatapku dalam dan mempercayakan penawarannya pada sang supir.

"Kita mulai dengan harga 100 Dollar." Mrs. Parrish membuka harga.

"Seratus lima puluh US dollar Kata sang supir, dan aku tersenyum tipis, kuharap penawarannya akan sangat rendah dan tidak ada yang menawarku lebih. Aku bahkan meminta Mrs. Drew mengurangi takaran make up-ku agar aku tidak menarik di mata pria-pria itu.

"Tiga ratus dollar." Kata seorang pria botak, gendut dengan kulit hitam dan gaya hiphop yang sangat aneh. Aku mengalihkan pandanganku dari pria berkulit hitam itu pada Richman dan dia tampak melipat tangannya di dada, rahangnya mengeras.

"Tigaratus limapuluh." Kata supirnya.

"Enam ratus." Pria hitam itu kembali mengungguli.

"Enam ratus lima puluh."

"Seribu dua ratus." Kata pria hitam itu, dan sang supir tampak kehilangan akal. Mungkin Richman tidak mengatakan batas lebih dari seribu dollar untuk membeliku.

"Ok . . . seribu dua ratus . . . satu . . ." Mss. Parish mulai menghitung.

Aku gemetaran setengah mati, kulihat Richman menutup bibirnya dengan kepalan tangan, dia juga terlihat sangat gelisah.

"Seribu lima ratus." Richman mengangkat tangan.

"Maaf Mr. Richman, tidak ada permainan kelompok malam ini. Semua bermain single, dan anda sudah menentukan pilihan di awal, anda tidak bisa memilih gadis kedua." Kata Mss. Parrish dan Richman tampak kesal. Darah jelas surut dari wajahku, tangan dan kakiku mulai terasa dingin.

"Seribu dua ratus . . . dua . . ." katanya lagi dan aku semakin lemas. Richman menjadi sangat gusar.

"Dua ribu." Sang supir mengangkat tangannya dan Mss. Parrish tersenyum lebar.

"Ok . . . bagaimana Mr. Black'O dan yang lainnya? Masih ingin menawar?" Tanyanya dan pria berkulit hitam itu tampak melipat tangannya di dada.

"Aku melepasnya." Katanya kesal dan aku melihar Richman seolah baru saja bisa bernafas lega.

"Ok, selamat anda memiliki kesempatan kedua Mr. Jack."

Malam ini entah mengapa hargaku dibuka dengan sangat murah, kurasa Mss. Parrish dan Mrs. Morrison sengaja melakukannya supaya banyak yang menawarku. Kurasa mereka mulai jengkel dengan tingkah Mr. Richman. Bahkan untuk Angela, harganya dibuka dengan empar puluh ribu dollar, sedangkan diriku seratus dollar.

Kami tidak kembali ke ruang tunggu, melainkan setiap selesai lelang sang pria akan datang menghampiri wanita pilihannya dan menggandengnya keluar dari ruang show.

Aku melirik ke arah Richman yang enggan menatap kami saat supirnya mengulurkan lengannya padaku dan aku melilitkan tanganku ke lengan pria itu.

Kami kembali ke dalam kamar dan sandiwara kembali terjadi. Kami duduk di dalam kamar tanpa berbuat apapun, bahkan kali ini tanpa bicara apapun.

"Apa kau tahu apa yang akan dilakukan Richman besok?"

"Entahlah." Pria itu menggeleng.

"Hari ini mungkin kita berhasil, tapi besok, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Mss. Parrish padaku." Aku memeluk diriku sendiri.

"Dia sedang berusaha bernegosiasi untuk menebusmu."

"Sudah berapa banyak yang dia keluarkan?" Tanyaku dengan perasaan terluka. Harusnya dia tidak membiarkan dirinya dihisap oleh Mrs. Morrison dengan cara seperti itu.

"Terakhir Mrs. Morrison minta sepuluh juta dollar."

Aku menelan ludah. "Katakan pada majikanmu untuk melepaskanku."

"Aku tidak bisa melakukannya, karena aku tidak punya hak untuk itu."

"Apa majikanmu itu terlalu bodoh hingga dia tidak tahu bahwa dirinya sedang dimanfaatkan oleh dua ular beludak itu?!" Aku berujar kesal.

"Jangan bicara sembarangan tentangnya."

"Lalu jika dia bukan pria bodoh, mengapa dia mau menuruti kemauan dua ular itu."

"Demi anda."

"Dia bisa mencari wanita sepertiku seperti nelayan yang menjala ikan dengan mesin, sekali jala dia bisa mendapatkan lebih dari puluhan bahkan ratusan wanita sepertiku."

"Aku tidak bisa mengatakan apapun nona, semua hanya ada di kepalanya, dan hanya dia yang tahu apa yang dia lakukan."

Satu jam kurang duapuluh menit dan kami memutuskan untuk keluar dari kamar. Aku berjalan menuju wardrobe dan orang wardrobe bernama Isabell menatapku.

"Kau tetap rapi setelah satu jam bergulat dengan pria asing." Godanya dan aku hanya menatapnya tanpa menjawab.

"Oh . . ."

"Kalian hanya bercinta dengan gaya konvensional ya?" Telisiknya lirih dan aku menatapnya tegas.

"Kurasa kau sudah mulai melanggar etika, jika kau memang ingin turun dan melakukan Show, aku bisa mengatakan pada Mss. Parish untuk merekrutmu atau memindahkan mu dari wardrobe." Aku menyelesaikan kalimatku dan Isabelle menutup mulutnya untuk selamanya setidaknya sampai aku keluar dari ruang wardrobe.

***

Aku keluar dari ruang wardrobe dengan terburu-buru dan berharap untuk bisa menemukan Amellia, untuk meminjam ponselnya. Tapi aku terkejut karena Amellia sudah tidak ada dikamar. Kamar kami bersih dan hanya menyisakan barang-barangku. Apa yang terjadi pada Amellia?

Aku duduk dengan perasaan kecewa yang teramat sangat. Entah mengapa dalam benakku mulai terjalin benang merah antara berbagai kejadian beberapa hari terakhir, terutama hari ini. Aku tentu tidak akan bisa bertanya pada siapapun tentang keberadaan Amellia. Dan yang aku pikirkan sekarang adalah tentang sabotase Mrs. Mirrison dan juga Mss. Parish, mungkin mereka benar-benar ingin membuat kondisiku terpojok.

"Kau tidak bisa tinggal diam Bell . . ." Aku berbicara pada diriku sendiri. Mungkin sebaiknya aku datang pada Mrs. Morrison dan bertanya apa yang dia inginkan, dengan begitu setidaknya semuanya akan lebih jelas, tidak penuh dengan teka-teki seperti ini. Tapi resiko yang kuhadapi sangat besar. Aku mungkin saja mereka akan marah dan menyakitiku. Aku merasa bahwa diriku tumbuh menjadi gadis yang jauh lebih dewasa dalam hitungan hari. Banyak sekali pergulatan batin yang harus ku alami beberapa waktu terakhir, dan semua mengajarkanku satu hal, bahwa tidak akan ada yang menolong diriku selain diriku sendiri.

Aku putuskan untuk keluar dari kamar dan berjalan ke ujung lorong, naik tangga dan menemukan ruang kerja Mss. Parrish. Biasanya dia masih akan ada di ruangannya hingga lewat tengah malam. Dan benar saja, saat aku masuk kedalam ruangannya dia tengah sibuk dengan ponselnya.

"Permisi." Kataku sopan sambil berdiri di ambang pintu masuk, dia sedikit terkejut melihatku berdiri di depan ruang kerjanya selarut ini.

"Apa yang kau lakukan di sana?" Tanyanya gugup. Mengapa dia harus gugup melihatku?

"Aku ingin bertemu dengan Mrs. Morrison."

"Beliau tidak ada di tempat hingga awal tahun."

"Awal tahun?" Tanyaku bingung, ini bahkan masih bulan November. Bagaiman bisa Mrs. Morrison tidak ada di tempat hingga awal tahun? Jika begitu yang merancang semua kengerian ini adalah Mss. Parrish?

"Oh, jika begitu, kurasa dengan bertemu anda sudah cukup mewakili Mrs. Morrison." Kataku.

"Apa yang kau inginkan?"

"Aku hanya ingin tahu, mengapa hargaku begitu rendah hari ini?" Tanyaku tegas dan dia menjawab dengan santai setelah meletakkan ponselnya dan berjalan menuju kursinya, kami bahkan masih berdiri dengan jarak yang cukup jauh.

"Itu adalah mekanisme pemasaran. Kadang kau dapat harga bagus, kadang tidak. Itu saja." Jawabnya dan aku tidak bisa menerima jawaban itu sebagai jawaban masuk akal.

"Tapi tidak serendah itu."

"Kau tahu, bahkan primadona tempat ini pernah diperoleh hanya dengan 10 dollar. Dan itu gambling, itu cara kami mempertahankan pelanggan kami. Dan kau sudah terikat dengan kami, jadi apapun itu, kau sudah harus siap dengan konsekwensinya."

Aku menghela nafas dalam. "Aku ingin berhenti." Tentu saja aku ingin berhenti sebelum kegadisanku ditukar dengan 10 USD.

"Apa kau bercanda?" Ekspresi Mss. Parish benar-benar jengkel saat mendengarku mengatakan bahwa aku ingin berhenti.

"Kau tahu berapa yang sudah kami investasikan untuk membuatku tampil cantik dan cukup layak untuk dianggap primadona di tempat ini."

"Dan apa anda lupa berapa juta dollar yang sudah ku hasilkan? Bahkan dalam show pertamaku?" Aku benar-benar menemukan keberanian yang luar biasa, meski aku juga tidak tahu dari mana keberanian itu muncul.

"Tutup mulutmu, dan kembali ke kamar. Aku tidak ingin mendengar ocehanmu tengah malam begini."

Aku menghela nafas dalam, sepertinya percuma berada di tempat ini untuk bicara baik-baik dengan ular beludak seperti Mss. Parrish. Dia hanya baik padaku jika aku dianggap memberikan keuntungan baginya, tapi aslinya akan terlihat saat aku mulai berani melawannya.

Aku berjalan menuju kamarku, beberapa barang berharga kumasukan dalam sebuah tas rangsel, sebenarnya tidak ada barang berhargaku selain sebuah kalung dengan lionton berbentuk hati yang katanya kumiliki sejak aku bayi. Aku juga memasukkan dua potong pakaian kedalam rangsel dan uang yang kudapatkan dari show pertamaku. Tidak seluruhnya kuberikan pada ibu panti, aku menyimpan sedikit untukku. Dan waktu yang paling tepat untuk pergi dari tempat ini adalah sekarang, saat para tamu sudah mulai pergi dan show terakhir malam ini selesai. Banyak orang berlalu lalang dan tidka akan ada yang menyadari siapa diriku, mungkin orang-orang akan menyangka aku orang wardrobe atau bagian bersih-bersih.

Aku menjatuhakan tasku dengan tali panjang dan setelah tas itu berada di bawah, aku memotong talinya. Setelah itu aku keluar kamar dengan kaos putih dan celana jeans, itu adalah pakaian yang biasa dikenakan oleh cleaning service di tempat ini. Kaos putih dimasukan dengan papan nama, tapi untuk menyamarkan itu, aku memasang pin kotak yang menyerupai name tag. Aku berjalan dengan cepat dan tidak seorangpun tampak peduli padaku, karena memang di sini tidak ada orang yang peduli pada orang lain. Aku bergegas keluar lewat pintu belakang dan mengambil tasku kemudian membuka pintu belakang tempat para cleaning service membuang sampah. Pintu ini baru akan dikunci sekitar pukul tiga pagi dan untunglah aku masih bisa keluar.

Aku mengendap-endap di kesunyian malam, berharap tidak bertemu bandit yang akan mengoyak seluruh diriku dengan berangasnya mereka. Seperti anjing lapar yang menunggu remahan roti dai balik dinging. Di balik dinding para perempuan diperjual belikan dengan harga fantastis oleh orang-orang super kaya atau bisa dibilang kalangan jetset, sedangkan dibalik gedung, perumahan kumuh dan juga bandit berkeliaran.

Lankahku terhenti saat aku melihat bayangan tiga orang pria di kejauhan. Tamat sudah riwayatku, yang bisa kulakukan adalah berharap mereka tidak sempat melihatku dan berbalik arah kemudiang bersembunyi di kegelapan malam. Atau jika mereka melihatku, maka satu-satunya harapan hidup adalah masuk kembali kerumah bordil super mewah itu dan membusuk di sana sebagai pelacur.

Aku sudah berjalan secepat yang kubisa, merambat melalui celah-celah gelap untuk tetap tidak terlihat dan sepertinya sia-sia, mereka mengejarku dan semakin cepat, tapi aku tidak ingin mati di tempat kotor itu sebagai budak nafsu. Aku harus berlari sekuat tenaga menuju jalan raya dan menemukan sebuah taksi, aku harus bisa.

Kupacu langkahku semakin cepat, semakin deras dan tanpa menghiraukan seberapa dekat mereka, hingga aku tak menyadari bahwa didepanku sebuah mobil melaju ke arahku dengan deras. Yang kulihat hanya sorot lampu silau dan bunyi klakson dan hantaman benda keras yang membuatku tak meraskan dengan jelas apa yang terjadi selain hampa. Aku tidak merasakan apa-apa lagi, aku juga tidak tahu apakah pria-pria itu masih mengejarku atau tidak.

Jika kedamaian ini adalah kematian, maka kupikir ini akan lebih baik dari pada apapun yang pernah kurasakan di dunia orang hidup.

avataravatar
Next chapter