4 The Richman - Driver

Dua hari pasca pertemuan dengan Richman aku maish hidup dalam bayang-bayangnya sementara malam ini aku akan melakukan "Show" kedua. Tidak akan ada pria yang menawarku sedemikian mahal lagi, aku mungkin akan jatuh di tangan pria tua gemuk botak yang sebenarnya sudah tidak berdaya tapi tetap menginginkan hubungan sex menantang dimana dia justru hanya memainkan dirinya sendiri sementara melihat para gadis bercumbu seperti yang terjadi pada beberapa temanku yang bermain dalam kelompok. Kami sempat mengobrol saat jam makan dan kami saling bertukar cerita, tentu saja mereka yang banyak cerita karena aku tidak punya apapun utnuk kuceritakan.

"Semoga malam ini giliranmu bermain kelompok." Goda salah satu dari mereka dan aku bergidik ngeri membayangkan aku harus menyentuh gadis lainnya, aku sama sekali tidak menginginkan hubungan semacam itu. Meski sebenarnya menjadi pelacur sudah harus siap dengan berbagai resiko peran yang harus kami mainkan dihadpaan orang-orang yang haus hiburan dan membayar kami untuk mendapatkan kepuasan itu.

Aku sedang mandi dan bayangan wajah Richman terus menggantung di benakku, aku berharap dia akan datang malam ini dan berubah pikiran. Ketika kami ditawarkan aku berharap dia akan menawarku meski dengan harga yang sangat rendah, aku tidak peduli, persetan soal 10% fee untukku, aku hanya tidak ingin jatuh ke tangan pria lain, karena rasa berhutang budiku pada Richman.

Aku sungguh ingin memberikan milikku yang paling berharga pada pria itu, mseki sebenarnya dia tidak menginginkan itu, tapi aku tidak memiliki apapun lagi selain keperawananku, sementara uang seratus ribu dollar yang kuberikan pada ibu yayasan kemarin ternyata dapat menyelamatkan baby Viana yang harus menjalani operasi karena kelainan jantung bawaan yang dia derita sejak lahir.

Aku sangat bersyukur untuk apa yang bisa kulakukan kemarin, meski tidak benar-benar kuhasilkan dari keringatku sendiri. Aku juga mengatakan bahwa salah seorang kenalanku berbaik hati untuk memberikan sedikit uangnya untuk yayasan, dan ibu yayasan tidak pernah tahu aku bekerja sebagai pelacur, dia menerima uang itu dengan perasaan bersyukur dan dia bahkan mendoakan agar aku terus bisa bekerja dengan baik di tempat kerjaku yang sekarang ini.

"Aku meliltikan handuk dan keluar dari kamar mandi untuk mengganti pakaianku dan bersiap ke ruang wardrobe, karena kami harus hadir di sana dua jam sebelum show untuk memastikan penampilan kami sempurna malam ini.

"Joel . . ." Aku menyapa seorang gadis di resepsionist, kami berkenalan saat aku pertama kali masuk ke gedung ini. Sebenarnya Joely adalah orang yang tahu siapa saja pria yang mendaftar untuk hadir sebagai tamu malam ini, karena semua akan menelepon melalui Joel, meski mereka menggunakan jasa asisten pribadi mereka untuk booking, tapi Joel sudah punya daftar namanya.

"Hai . . ." Kami berpelukan singkat.

"Bagaimana harimu?" Tanya Joel.

"Lumayan." Jawabku singkat.

"Apakah Richman ada di daftar?" Tanyaku penuh harap, tentu saja dengan bisikan yang hanya mampu di dengar Joel. Dan saat mataku menatap matanya dengan penuh harap, Joel menggeleng.

"Asistennya tidak menghubungiku sampai batas terakhir booking."

"Oh . . ." Hatiku rasanya hancur seketika. Aku benar-benar berharap pria itu datang malam ini dan dia tidak datang. Habis sudah aku, malam ini aku tidak akan bisa selamat lagi, pria lain tidak akan sebijaksana dia, atau setidaknya mereka tidak akan memikirkan apapun selain dirinya sendiri. Mereka akan memikirkan bagaimana mendapat kepuasan maksimal tanpa mempedulikan kami para pekerja.

***

"Kenapa kau tampak tidak bersemangat hari ini?" Tanya Mrs. Drew padaku saat merias wajahku.

"Entahlah . . . " Aku tersenyum sekilas.

"Kau jadi bahan pembicaraan dimana-mana, dan Mrs. Morrison berharap semua anak-anaknya bisa memiliki nilai jual semahal dirimu."

"Mudah-mudahan malam ini pria itu datang lagi." Mrs. Drew memberiku semangat dan aku hanya bisa tersenyum palsu, bagaimana mungkin karena aku tahu dia tidak akan datang malam ini.

"Kau tampak seperti malaikat sayang." Kata Mrs. Drew memuji karyanya sendiri.

"Itu karena tangan malaikatmu." Aku meraih tangannya dan meremasnya, berusaha menemukan kekuatan dari tangan hangat dan lembut itu. Aku berharap dalam hidupku, setidaknya sekali seumur hidup aku akan berkesempatan menyentuh tangan ibuku seperti aku menyentuh tangan Mrs. Drew yang hangat dan lembut.

"Thanks Mrs. Drew." Aku tersenyum padanya sebelum aku meninggalkan dia dan mengganti pakaianku dengan pakaian yang disediakan. Dan hari ini kami mengenakan gaun putih bag dewi-dewi Yunani. Lengkap dengan korona dari dedaunan yang menghias kepala kami.

Aku sempat merasa bahwa diriku begitu mempesona seandainya ini bukan terjadi dalam rangka pelacuran diri.

Seperti yang terjadi pada kami dua hari lalu, terjadi padaku lebih tepatnya, karena kemarin malam teman-temanku tetap bertugas sementara aku mendapatkan previlage libur karena aku berpenghasilan cukup besar di malam sebelumnya. Dan menurut informasi yang aku dengar dari Mss. Parrish, pihak agency sedang menghubungi Richman untuk menawarkan kerjasama semacam yang pernah terjadi padanya dan Gabrielle Zein beberapa waktu lalu, tapi Richman menolaknya tanpa alasan.

Entahlah, aku baru bertemu pria itu sekali dan hatiku sudah hancur berkali-kali karena penolakannya, yang meski tidak kudengar langsung dengan telingaku, tapi berhasil menghancurkan seluruh diriku hingga berkeping-keping. Dan sekarang aku harusnya tidak peduli akan jatuh ke tangan siapa, toh sejak awal aku tahu bahwa aku akan jatuh ke tangan banyak pria, berganti, bergilir, dan tidak bisa di tentukan setiap malamnya.

"Kau terlihat sangat cantik." Mss. Parish menghampiriku dan menepuk lenganku, aku tersenyum palsu untuk menyambut basa-basinya. Entah mengapa aku merasa ada getaran rivalitas yang coba dia sembunyikan dariku tapi aku terlalu peka hingga bisa merasakannya.

Andai bukan dia yang mengatakanya, mungkin rasanya akan sedikit berbeda bagiku. Tapi Mss. Parrish mengatakanya hanya untuk mendongkrak semangatku yang sudah hancur berkeping-keping bahkan sebelum show di mulai."

"Ayo anak-anak, waktunya tiba." Teriak Mss. Parrish dan kami berjalan bag model catwalk menuju ruangan tempat dimana banyak pria sudah duduk dengan perasaan tidak sabar. Aku keluar di urutan ke lima dan segera menebar pandangan ke seluruh sudut ruangan dan entah mengapa jantungku rasanya berhenti berdetak ketika aku melihat sepasang mata itu ada di barisan depan paling kanan dan tengah menatapku meski tangannya terlipat di dada seolah ingin menunjukan sikap acuh. Mataku bahkan berkaca dan kerongkonganku mendadak kering dibuatnya. Tatapan itu, meski sebelumnya aku melihatnya dalam keadaan cahaya remang-remang, tapi dalam keadaan lampu seterang ini, rasanya masih sama. Tatapan yang langsung menghujam jantungku hingga rasanya aku tidak ingin hidup lagi, aku ingin mati dalam kedamaian dibawah tatapan itu.

Darahku berdesir saat aku melewati sebelah tempatnya duduk dan gaunku berkibar tertiup angin, menerpa dirinya dan dia tidak menepisnya. Dia membiarkan gaunku menyentuhnya, dan entah mengapa aku bahkan bisa membayangkan menyentuhnya dengan tangaku, membayar seluruh penysealanku dua malam lalu, diamana aku bahkan tidak bernai menyentuhnya.

***

Kami meninggalkan ruang Show dan menuju ruang tunggu untuk menantikan jatah kami harus bermain kelompok atau individu, di kamar mana dan dengan siapa. Semua masih menjadi teka-teki. Kali ini lebih lama dari malam pertama aku show. Kami bahkan harus menunggu lebih dari tigapuluh menit untuk mendapatkan jatah tugas kami.

Setelah lebih dari tigapuluh menit, Mss. Parrish datang dan segera membagi tugas dengan cepat untuk kesembilan temanku, dan menyisakan diriku seorang diri di ruangan itu tanpa tugas. Hatiku bertanya-tanya tidak sabar, apa yang terjadi padaku, mengapa semua temanku mendapat jatah tugas sementara aku tidak.

"Apa yang terjadi?" Tanyaku.

"Mss. Morrison sedang membicarakan tentangmu dengan seorang tamu."

"Masih soal penawaran?" Tanyaku.

"Ya . . . seorang pria menginginkanmu."

"Richman?" Tanyaku penasaran, meski sebenarnya ini terlalu lancang, terlalu berani, dan terlalu percaya diri.

Alis Mss. Parrish bertaut. "Richman sudah memilih gadis lainnya malam ini." Kata Mss. Parrish. Tatapannya semakin membuatku tidak bisa memahaminya. Dia terlihat begitu manis di hadapanku, tapi tatapannya tak pernah bisa berbohong.

"Siapa?" Aku bertanya tidak sabar.

"Bukankah kau tahu betul etika di sini?" Tanyanya balik dan aku teridam. Ya kami tidak bisa membicarakan itu, siapa tidur dengan siapa, atau siapa melayani siapa, kecuali jika masing-masing pribadi berbicara secara pribadi tanpa diketahui pihak agensi, itu tidak masalah. Tapi jika agensi mendengarnya maka akan dikenakan sanksi, kecuali untuk kasusku kemarin. Itu justru dijadikan contoh agar para gadis bisa berpenampilan terbaik hingga nilai jualnya bisa melebihi ekspektasi, jadi namaku dikenal banyak orang meski sebenarnya aku tidak bekerja sama sekali untuk semua uang itu.

Di tempat ini memang semua akan menjadi semacam gambling, jadi jika kemarin kau memiliki nilai jual tertinggi, belum tentu malam ini. Karena tamu setiap malam tak selalu sama, dan gadis yang di tawarkan juga bergiliran, jadi para tamu akan merasa bahwa mereka selalu mendapatkan barang baru, atau setidaknya barang lama dengan kemasan baru.

Mss. Parrish melihat ke layar smartphone miliknya kemudian memintaku masuk ke kamar 002. Hatiku hancur, tentu saja pria ini adalah pria biasa yang datang untuk menikmati kepuasan meniduri wanita muda dengan mengeluarkan uang tidak terlalu banyak. Ruangannya standard, bahkan sangat standard karena aku hanya mendapatkan kartu silver untuk pelayananku malam ini.

Seluruh hatiku hancur, dan aku berdarah-darah berjalan menuju ruangan nomor 002. Aku juga tahu bahwa pria yang ada di dalam ruangan itu bukanlah Richman. Aku menghentikan langkah didepan pintu.

"Ayolah . . . ini relaita yang harus kau jalani, dan kau sudah tahu sejak awal bukan." Aku menasehati diriku sendiri.

Setelah berusaha meyakinkan diriku, akhirnya aku masuk kedalam ruangan dan melihat seorang pria duduk di sofa. Pria itu cukup tampan, dengan stelan rapih dan tubuh tegap. Dia bahkan sangat sigap begitu aku masuk ruangan.

"Selamat malam." Sapaku dan dia menjawab dengan sopan.

Dia membungkuk sekilas. "Selamat malam nona" Dia benar-benar membalas

"Kau ingin memakai kamar mandi dulu?" Tanyaku dan dia menggeleng.

"Ok, langsung saja kalau begitu." Aku baru saja mau membuka pakaianku dan dia menghentikannya dengan mengangkat tangan dan mengatakan "Stop."

"Apa?" Aku tertegun menatap pria itu.

Dia mengalihkan pandangannya, "Tolong naikkan kembali lengan anda." Katanya dan aku dengan kikuk melakukannya. Oh jika pria ini pria rumahan, mengapa dia harus masuk ke tempat ini dan memesan perempuan untuk berhubungan Sex, dia bahkan tidak bisa melihat wanita telanjang.

"Are you gay?" Tanyaku.

"Tidak, tapi anda hanya harus duduk di tempat ini dan menunggu satu jam."

"Apa?!" Pekikku.

"Ya . . . silahkan duduk dan menunggu, saya akan duduk dan menunggu di sini juga."

"Apa yang terjadi." Aku memutar mataku. Mengapa semua pria yang bertemu denganku kehilangan selera seksualnya. Pertama Richman dan sekarang pria ini, entah siapa namanya.

"Katakan siapa kau atau aku akan membuka pakaianku." Aku mengancamnya dan ini ancaman paling konyol yang pernah kudengar, dan kulakukan tentunya.

"Don't!" Dia menolak.

"Katakan!" Aku mendesak dan dia sekarang memohon.

"Don't please."

"Kalau begitu tolong katakan, siapa kau dan apa yang kau inginkan?" Kataku melunak, kuharap dia akan terbuka setelah aku melunak, dan benar saja.

"Aku supir Mr. Richman."

"What?" Aku tertegun. "Kalian majikan dan supir memiliki gaya hidup yang sama?"

Dia tersenyum kemudian menggeleng. "Mr. Richman meminta agensi untuk membebaskanmu, dia akan menebus sejumlah uang agar agensi memebebaskanmu, tapi mereka tidak mau melepasmu."Ujarnya dan aku terpaku mendengar apa yang dia katakan.

"Apa yang dia inginkan sebenarnya?" Tanyaku bingung.

"Dia ingin membawamu keluar dari tempat ini, tapi agensi merasa penjualanmu bagus, tentu saja kau adalah aset besar untuk agensi dan mereka akan memeprtahankanmu untuk memeras Mr. Richman."

"Memeras?"

"Dengan mempertahankanmu di sini, Mr. Richman harus membayar setiap kali ingin menemuimu."

"Aku tidak mengerti." Aku jadi frustasi.

"Intinya dia tidak ingin ada pria lain yang menyentuhmu, jadi dia membuatku memesanmu, sementara untuk mengkamuflasekan tindakannya dia memesan gadis lain dan memintaku berada di sini."

"Jadi dia membuat kita tidak melakukan apapun sementara dia sedang menikmati kebebasan hasratnya pada gadis lain?!" Protesku.

"Itu haknya." Jawabnya dan aku terdiam. Ya memang benar, itu haknya dan bukan hakku. Untuk apa juga aku protes.

"Katakan pada bosmu, berhenti menghamburkan uangnya untukku." Aku menatap pria itu. "Aku akan mengganti uangnya yang sudah dia keluarkan untukku tempo hari jika aku sudah punya cukup banyak uang. Berhenti datang ke tempat ini, temukan gadis baik-baik untuk dinikahi dan hiduplah dengan tenang. Tolong sampaikan padanya." Aku bergegas keluar dari kamar itu dan menuju ruang wardrobe. Untuk sebuah kegiatan sex sebenarnya lima menit juga sudah cukup, dan anggap saja apa yang kulakukan didalam tadi adalah pengalaman keduaku bersama pria, meski tidak ada satupun diantara mereka yang menyentuhku, tidak bosnya, tidak pula anakbuahnya.

avataravatar
Next chapter