7 The Richman - Almost Die

Sayup-sayup kudengar bunyi "beep" yang keluar dari mesin pendeteksi detak jantung. Kurasa itu bersumber dari jantungku yang masih berdetak, karena perlahan aku mulai bisa menggerakan tangan dan kakiku dan baru kusadari jika sekujur tubuhku terasa sakit.

Jika hidup akan lebih menyakitkan daripada sebelumnya, mungkin lebih baik aku tidak kembali ke dunia orang hidup dan tetap berada di alam kedamaianku selama beberapa saat, dan entah sudah berapa lama.

Aku membuka mata tidak kudapati siapapun di sekitarku. Tidak seperti yang selalu terjadi pada orang sakit di rumahsakit, mereka akan ditunggu oleh sanak keluarga, bahkan teman-teman mereka juga akan datang menjenguk. Dan aku? Siapa yang kuharapkan menemaniku dan menantikanku bangun dengan cemas? Tentu saja tidak seorangpun.

Aku menghela nafas panjang dan merasakan kenyerian yang semakin menjadi-jadi, terutama di dadaku dan juga kaki kiriku. Mungkin sebaiknya aku kembali memejamkan mata dan berharap Tuhan berbaik hati dengan mengirimkan malaikatnya untuk menjemput jiwaku.

Baru saja hendak terpejam seseorang masuk kedalam ruangan sambil menelepon.

"Ya siapkan saja berkasnya." Kudengar kalimat itu dan entah mengapa mendadak tenggorokanku seperti tersumpal batu besar. Aku mengenal suara itu.

"Maaf, sudah dua hari aku tidak bisa ke kantorku. Akan kuminta asistenku mengambil berkasnya." Terang pria itu lagi dan meski dia masih belum menatapku, tapi aku bisa dengan jelas melihatnya. Dia dengan kemeja putih yang lengannya di gulung sebatas siku, juga celana abu-abu, rambut ikal berantakan yang mungkin terjadi karena dia tidak tidur dua hari dan menungguku di rumahsakit, oh seandainya itu benar. Tapi bagaimana dia tahu aku terluka dan berada di tempat ini?

"Ok, bye." Dia mengakhiri panggilannya dan memutar tubuhnya hingga mata kami saling bertatapan. Dia terlihat sangat terkejut melihatku membuka mata dan menatapnya sementara aku hanya bisa berkaca-kaca menatapnya. Dengan segera dia menghampiriku dan meraih tanganku kemudian menggenggamnya.

"Kau sudah siuman?" Tanyanya antusias, dan yang kurasakan adalah nyeri hebat saat dia meraih tanganku dan menggenggamnya. Kurasa salah satu bagian yang menghubungkan tanganku dan badanku mengalami cedera cukup parah hingga disentuh sedemikian saja sudah terasa sangat nyeri.

"Mr. Richman?" Aku memanggilnya dan Dia tampak tersenyum meski tatapannya kelam.

"Richard Anthony." Dia mengeja namanya dan air mataku jatuh satu persatu tanpa bisa kubendung lagi. Akhirnya aku bisa tahu siapa nama panjang pria itu.

"Bagaimana anda tahu aku di rawat di sini?"

"Aku akan menjelaskannya setelah kau diperiksa." Dia meminta paramedis datang dengan menekan sebuah alat di sisi tempat tidurku dan tak berapa lama seorang dokter dan seorang perawat masuk. Mereka tampak tersenyum menghampiriku dan segera memeriksaku.

"Anda gadis yang kuat." Dokter itu tersenyum.

"Tekanan darah sudah kembali, sedikit rendah tapi sudah cukup stabil. Retakan di kaki juga menunjukan tanda-tanda pemulihan, juga luka pasca operasi di tulang rusuk, membaik meski belum bisa dikatakan ada progress yang cukup signifikan. Kita akan terus memantau perkembangannya seminggu terakhir."

Aku menelan ludan mendengar semua penjelasan dokter. Setelah membuat beberapa catatan, perawat pergi bersama doter itu dan meminta Richard untuk terus memberikan support. Padahal Richard bukanlah orang yang harus terbebani karena keberadaanku ditempat ini.

"Apa yang terjadi padaku?" Tanyaku lirih.

"Kumohon jangan menangis, karena jika kau terisak, itu akan sangat buruk untuk pernafasanmu."

"Ok." Aku berusaha menahan diriku untuk tidak bereaksi berlebihan. Air mataku sudah di seka dan aku tidak ingin menangis, karena itu benar-benar menyiksaku, karena setiap tarikan nafasku akan terasa menyakitkan.

"Lewat tengah malam, didepan The RITZ, Pablo tidak bisa menghentikan laju mobil saat tiba-tiba kau berlari dengan sangat cepat ke arah mobil kami. Kami menabrakmu, atau sebaliknya . . . entahlah." Mr. Richman atau Richard menjelaskan dengan tatapan penuh penyesalan.

"Itu salahku." Sesalku.

"Kau kabur dari the Ritz?"

"Ya . . ."

"Kenapa harus kabur? Aku sedang mengurus proses pembelianmu, tidak bisakah kau sedikit bersabar?" Ekspresinya berubah menjadi sedikit kesal.

"Anda akan membeliku?"

"Ya."

"Lalu kenapa anda tidak memberitahuku?"

"Aku memintamu menunggu sampai ulangtahunmu, dan aku berharap itu bisa jadi kejutan terbaik untukmu, tapi kau justru mengejutkanku dengan tiba-tiba muncul dihadapanmobilku dan hampir saja kehilangan nyawamu dalam kecelakaan yang melibatkanku sebagai pelakunya." Kali ini dia menjelaskan dengan berapi-api, kurasa dia melibatkan seluruh emosinya, emosi yang tertahan selama dua hari terakhir.

"Aku tidak mati." Aku berusaha tersenyum meski rasanya masih sangat menyakitkan.

"Bagaimana jika kau mati? Bayangkan akan seburuk apa aku menjalani hari-hariku?" Wajahnya menjadi kelam dan tatapannya penuh kesedihan.

"Aku hanya orang baru yang anda kenal, dan kurasa membunuhku sama dengan berbuat baik padaku, karena tidak ada yang baik dalam hidupku selain kematian." Ujarku lirih.

"Dua tulang rusuk patah, kaki kiri retak, benturan kepala . . ." Dia menggambarkan betapa buruknya keadaanku saat ini.

"Cukup buruk." Senyumku dan entah mengapa dia menunduk dan mendekatkan wajahnya ke kepalaku, oh no, . . . dia mengecup dahiku.

"Cepatlah membaik."

"Aku sedang berusaha." Bisikku dan kali ini air mataku berjatuhan kembali, persetan dengan rasa nyeri, tapi seluruh kebahagiaan menyeruak dalam diriku, akhirnya ada orang yang benar-benar mempedulikanku dengan sedemikian dalam.

"Berikan aku nomor ibu pantimu, aku akan mengabarinya tentang keadaanmu."

"Jangan, kumohon jangan."

"Kenapa?"

"Aku tidak ingin menyusahkan siapapun." Lagi-lagi Richard menghapus air mataku.

"Mss. Parrish tahu aku di sini?"

"Aku sudah memberitahunya, dia juga ada di tempat kejadian saat proses penyelamatanmu."

"Dia tahu jika aku kabur?"

"Aku sudah membayarmu, sebenarnya malam itu kau sudah resmi dilepaskan dari Ritz, hanya saja kau belum tahu soal itu."

"Jadi dia tidak akan datang dan menangkapku?" Tanyaku polos dan kulihat seluas senyum terkembang di wajah Richard, meski tatapannya masih kelabu.

"Lihatlah betapa polos dirimu."

"Maaf . . ."

"Mengapa kau harus meminta maaf untuk apa yang begitu indah dimataku."

"Apa?"

"Kepolosanmu itu."

Aku menghela nafas dalam dan mendadak terbatuk-batuk, dan batuk yang kurasakan sangat menyakitkan, hingga saat aku meludah di sebuah tissue dibantu oleh Richard, ada bercak darah di sana.

"Apakah aku akan baik-baik saja?" Tanyaku panik.

"Kau terlalu banyak bicara, dokter memintamu untuk beristirahat total dan belum banyak bicara." Richard mengambil gelas berisi air dan memberiku minum, sedikit meringankan tapi tidak mengurangi rasanyerinya.

Sebenarnya banyak sekali yang ingin kukatakan dan kutanyakan padanya, tapi apadayaku. Mungkin memang lebih baik aku diam, menahan rasa nyeri untuk diriku sendiri dan membuat seluruh tubuhku menyembuhkan dirinya, tanpa membuatnya lebih parah dengan terus mengoceh.

Satu hal yang kusadari, ternyata Tuhan tidak akan menuruti semua doa kita, termasuk soal diriku yang ingin mati tapi tidak diberikannya kesempatan. Aku diajarkan soal rasa sakit yang harus kuderita tapi begitu kusyukuri karena aku masih bernafas. Aku bisa bertemu dengan pria itu, tahu siapa nama lengkapnya dan yang lebih indahnya adalah dia telah membebaskanku dari The Ritz, tempat hiburan yang menjajakan wanita muda sepertiku.

avataravatar
Next chapter