webnovel

Chapter 1

Sudah lima hari? Tidak, tepatnya satu minggu.

Sudah satu minggu Axelia sakit kepala tujuh keliling karena hal-hal aneh yang terjadi padanya belakangan ini. Sejak Axelia menginjak usia tujuh belas tahun, mulai muncul kejadian kejadian aneh yang tak bisa dipungkiri secara logika. Mulai dari benda-benda yang bergerak tanpa instruksi hingga benda-benda yang meledak tiba-tiba saat ia kaget, marah, sedih, atau senang berlebihan.

Tak hanya itu, Axelia juga bisa mendengar suara-suara dari pikiran orang-orang di sekitarnya.

Ya, dia bisa mendengar pikiran orang lain.

Ujian kenaikan kelas tinggal menghitung hari. Memiliki otak yang mumpuni bukan berarti kita boleh malas-malasan. Itu yang diajarkan Ibu Axelia, Dysis, padanya sedari kecil. Walau kepala berdenyut sakit seperti habis dihantam palu, Axelia tetap belajar untuk ujian kenaikan yang akan datang.

Setetes darah jatuh dari dalam hidungnya, membekas di buku catatan yang sedang ia baca. Keterkejutannya membuat lampu di kelasnya pecah secara tiba-tiba dan membuat seisi kelas terkejut. Axelia mengambil selembar tisu dari kantong seragamnya lalu cepat-cepat menyeka darah yang sedang keluar dari hidungnya itu.

"Xelia! Kamu mimisan!" ucap Bintang, sahabat Axelia, agak keras karena kaget dan sontak membuat seisi kelas XI MIPA 2 menoleh ke arah mereka.

Dan benar saja, dari hidung si juara kelas sekarang tengah mengalir banyak darah. Pikiran-pikiran seisi kelas mulai beradu dalam otak Axelia, membuat kepalanya terasa makin pening dan seperti akan pecah.

Suara yang ia dengar sekarang tidak separah saat pertama kali suara-suara itu muncul. Saat itu, kepalanya terasa seperti ditusuk jarum dan siap pecah kapan saja karena suara-suara itu datang tiba-tiba dan rasanya seperti sedang ditusuk dengan ribuan jarum.

"Ayo ke UKS." Ajak Bintang karena khawatir dengan kondisi sahabat karibnya itu.

Tak mau berdiam diri di tempat yang bising ini, tanpa mengiyakan Bintang Axelia langsung berdiri dan berjalan ke UKS bersama Bintang sambil menutup hidungnya dengan punggung jari telunjuk.

Hal ini menarik perhatian anak-anak di kelas. Sebab, jarang sekali bisa melihat Axelia sakit, apalagi sampai mimisan seperti ini. Sesampai mereka di UKS, Axelia langsung merebahkan diri. Dan ia merasa sedikit lebih rileks dan tenang. Kepalanya tidak se-pusing tadi, karena sekarang yang ia dengar hanya isi kepala Bintang.

"Hentikan dulu mimisan mu baru kamu boleh tidur." kata Bintang yang datang dari arah lemari obat lalu memberikan segulung tisu pada Axelia.

"Makasih." balas Axelia yang mengambil tisu dari Bintang.

"Kalo gitu aku ke kelas dulu. Jangan kebanyakan belajar, kamu udah pinter." ketus Bintang sambil berlalu pergi menuju kelas. Axelia tahu Bintang ketus seperti itu karena ia peduli.

Axelia juga berterima kasih dari lubuk hati yang paling dalam kepada Bintang dan mimisannya kali ini karena sekarang ia bisa istirahat di tempat yang sunyi dan tenang, tanpa keributan di luar maupun di dalam kepalanya.

Axelia mengambil handphone dan earphone yang selalu ia bawa seminggu belakangan ini untuk mengalihkan kebisingan dalam otaknya. Ia menyetel lagu klasik yang dapat membantunya merasa lebih tenang. Setelah mimisannya berhenti, ia mencoba untuk tidur. Namun, ia merasa sangat kesulitan untuk tidur. Ia merasa tidak tenang, entah apa yang membuatnya merasa seperti ini. Namun, musik klasik yang diputarnya membuat rasa kantuk Axelia jadi semakin besar dan ia pun tertidur.

Belum sepenuhnya masuk ke alam bawah sadar, tiba-tiba pintu UKS didobrak dengan keras hingga membuat Axelia terperanjat. Ia langsung memasukkan handphone dan earphone miliknya ke dalam kantong seragamnya. Ia segera mengecek ada hal apa sampai-sampai pintu UKS didobrak seperti itu.

Tapi sayangnya, tidak ada siapa-siapa di sana. Lalu tiba-tiba terdengar suara sesuatu yang menabrak meja, tak jauh dari pintu UKS. Axelia mulai merinding saat melihat banyak bayangan hitam berjalan mendekatinya.

Apa itu?

Apa yang harus ia lakukan?

Lari?

Sembunyi?

Atau melawan?

Tapi bagaimana caranya?

Ia semakin takut dan bingung saat mulai mendengar percakapan acak lebih dari dua orang yang meributkan dirinya.

"Ini orangnya?"

"Tidak salah kan?"

"Kenapa dia terlihat sangat lemah?"

"Sepertinya kita salah alamat."

"Tapi titik koordinatnya menunjukkan lokasi yang tepat."

"Mungkin alatnya mengalami kerusakan saat melewati portal antar dimensi tadi."

"Ah, yang benar?"

"Dia bisa melihat kita ya?"

Jantung Axelia berdetak dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Ketakutannya kali ini melebihi rasa takutnya saat menaiki wahana ekstrim di Trans Studio saat ia masih kecil dulu. Semakin lama, bayangan-bayangan itu semakin banyak dan melangkah mendekatinya.

Axelia mundur teratur, kakinya terasa kebas dan tak bisa bergerak saat ia melihat sebuah api yang membesar di hadapannya. Lalu dengan cepat, bola api itu ditembakkan ke arah Axelia.

Bukk!!!

...

...

...

"Hei, segitu nyenyaknya ya sampai kamu jatuh dari ranjang?" Bintang menggoyangkan tubuh Axelia yang baru saja jatuh dari ranjang.

Axelia mengerjap beberapa kali hingga ia cukup sadar untuk bangun dari mimpinya. Dengan cepat ia meraba seluruh bagian tubuhnya, memeriksa apakah masih utuh atau sudah hangus.

"Mimpi?" tanyanya setengah berbisik dengan raut wajah yang tak bisa dijelaskan.

"Memangnya apa lagi?" jawab Bintang sambil geleng-geleng kepala. "Kamu mimpi apa sih sampai kaget seperti itu? Itu pasti karena kamu kelelahan belajar. Udah kubilang kan jangan kebanyakan belajar, apa dapat rangking satu setiap tahunnya belum cukup? Hah..." ia menghela napas putus asa memberitahu sahabatnya yang bebal ini untuk jangan terlalu menenggelamkan diri pada hal yang namanya 'belajar'.

Axelia tak memedulikan ucapan Bintang dan mengeluhkan kepalanya yang terasa pusing. Bisa ia dengar pikiran Bintang bahwa temannya ini benar-benar tulus peduli padanya.

"Iyaa iyaa." ucapnya tak acuh. "Tapi kenapa kamu kesini?"

"Aku mau bangunin kamu, bel pulang udah bunyi dari tadi." jawab Bintang sambil menyodorkan tas dan sebuah jaket hoodie kepada Axelia. Axelia mengambil tas dan hoodienya serta tak lupa mengucapkan terima kasih.

"Aku pulang dulu, kamu hati-hati ya." ucap Bintang berpamitan yang dijawab anggukan oleh Axelia.

Axelia mengambil tas dan hoodie abu-abu nya lalu mengenakan earphone favoritnya. Setelah memastikan bahwa tak ada barang yang tertinggal, ia bergegas untuk pulang.

Jarak dari rumah Axelia ke sekolah tak begitu jauh. Oleh karena itu, ia berjalan kaki karena menurutnya lebih hemat dan sehat. Juga demi menyisihkan uang jatah transportasi untuk membeli barang-barang yang diinginkannya. Seperti stationery yang unik misalnya. Sejak kecil, Axelia memang hobi mengoleksi stationery unik dan lucu. Menambah semangat belajar katanya. Dan Bintang pasti akan menjadi orang yang selalu mengeluh bila Axelia menyuruhnya ikut untuk menemani gadis itu.

Lagu demi lagu beralun di telinganya. Tak sesekali ia ikut mengalunkan nada-nada indah yang keluar dari earphone putihnya itu. Mengingat bahwa tadi sempat mimisan, Axelia mengusap pelan bagian di atas bibirnya. Memastikan tak ada noda darah yang tertinggal. Karena kalau sampai ketahuan mimisan, ia pasti akan dimarah dan disuruh istirahat selama beberapa hari dan tidak akan diberi izin untuk belajar walaupun ujian kenaikan kelas sudah dekat.

Samar-samar di balik earphone yang dikenakannya, Axelia mendengar ada suara seseorang. Ia berhenti melangkah lalu menengok ke kanan dan ke kiri, tapi nihil. Tak ada siapapun. Berpikir positif, mungkin itu hanya kucing lewat.

Semakin lama ia berjalan, ia merasa semakin diikuti. Axelia menoleh ke belakang namun sekali lagi hasilnya nihil. Tidak ada siapa-siapa. Ia mulai gelisah.

Dengan takut takut Axelia mempercepat langkahnya dan menurunkan volume musik yang didengarnya untuk jaga-jaga dan waspada kalau-kkalau ada hal yang tak diinginkan terjadi padanya.

Beberapa saat kemudian, akhirnya ia sampai di depan rumahnya. Sedikit waktu ia merasa agak lega.

Prang!!! Prang!!! Prang!!!

Mendengar ada banyak suara barang pecah dari rumahnya, Axelia kaget dan kembali merasa takut. Dengan cepat ia membuka pintu dan masuk ke rumahnya.

Terkejut bukan main, Axelia melihat banyak orang berpakaian hitam dan memakai topeng sedang menyerang kedua orang tuanya. Tapi mereka menyerang dengan sesuatu yang tampak sangat aneh, ada yang menyerang dengan api berbentuk panah, es berbentuk pisau, bahkan ada cahaya yang berbentuk pedang.

"Apaan nih? Katanya kalian adalah penyihir paling legendaris. Tapi sekarang? Kalian bahkan lebih lemah dari seekor lalat!" ucap salah seorang pria berbaju hitam yang menggunakan bahasa aneh. Dan yang lebih aneh lagi, Axelia mengerti apa yang dikatakan oleh pria itu.

"Yang lama tentu harus diganti dengan yang baru, bukan?" jawab Euegene, ayah Axelia.

"Jangan meremehkan kami, siapa tau kau akan mati duluan karena sentilan kami yang tak seberapa keras." sambung Dysis, ibu Axelia.

"Ayolah, jangan buat aku tertawa." jawab pria berbaju hitam tadi sambil terkekeh.

Ia lalu melesat ke arah Euegene dan mencoba menusuk nya dengan pedang cahaya yang kelihatannya sangat tajam. Sementara di sisi lain, ada jarum jarum es tebal yang muncul dan berusaha menusuk Euegene.

Beberapa orang berbaju hitam pun tak hanya tinggal diam dan ikut melancarkan serangan ke arah Euegene dan Dysis. Dysis yang melawan lebih dari delapan orang sekaligus terlihat tampak kewalahan hingga seseorang berbaju hitam lainnya berhasil menusuk pundaknya dengan tombak api. Dengan sangat cepat, tombak itu melebur menjadi api yang membakar pundak Dysis dan membuatnya kesakitan.

Pertahanannya melemah, beberapa orang juga berhasil melancarkan serangannya dan membuat Dysis mendapatkan cukup banyak luka yang serius.

Melihat semua hal tak masuk akal ini, Axelia sontak kaget dan berteriak sebab ibunya tertusuk di beberapa bagian. Teriakannya berhasil menginterupsi perhatian semua orang yang ada disana, membuatnya berhasil menjadi target selanjutnya. Lalu dengan segera, Euegene menutup wajah anaknya dengan kabut yang datang entah dari mana.

"Oh, jadi ini pengganti mu?" tanya orang tadi yang kini tengah mengarahkan ujung pedangnya ke leher Axelia.

Secepat kilat, Dysis yang sudah babak belur melaju ke arah Axelia dan menepis pedang yang ada di leher putrinya itu. Begitupun halnya dengan Euegene yang kini secara tiba-tiba sudah berada di depan Axelia, melindungi gadis itu.

"Jangan berani mengarahkan pandangan kotormu itu pada anakku yang berharga ini." ucap Dysis tajam dan penuh penekanan.

Si pria tadi tertawa terbahak-bahak. "Boleh juga."

Dengan gerakan yang lebih cepat, pria berbaju hitam itu memotong lengan Dysis dan menusukkan pedang tepat di jantungnya.

"IBU!!!" Axelia terkejut bukan main. Mimpi apa lagi sih ini?! Kok bisa segini seramnya?! Ia menyumpah serapah segalanya dalam hati sambil bergerak menuju ibunya yang kini tengah muntah darah.

Dysis meringis dan Axelia mulai menangis. Euegene dengan cepat menghampiri istrinya dan menatap matanya dalam. Lalu keduanya mengangguk mantap.

Selang beberapa detik kemudian, muncul sebuah cahaya bulat besar tepat di belakang Axelia berpijak saat ini. Dysis dan Euegene menoleh ke arah Axelia, memberikan sebuah kotak yang baru saja muncul dari cahaya yang dikeluarkan Euegene dari tangannya.

Euegene dan Dysis lalu dengan cepat menyentuh pundak Axelia. Secara tiba-tiba Axelia merasa merinding di sekujur badannya. Ia merasa seperti habis disiram air panas dan dipukul palu hingga ia muntah darah. Dari kedua tangan orang tuanya, seperti ada aliran listrik dengan tegangan tinggi yang membuat seluruh sarafnya terkejut dan tulangnya bergetar. Tak berapa lama tubuh Axelia bersinar dan ia didorong masuk ke dalam cahaya di belakang tempatnya berpijak tadi.

Dan semua pandangan Axelia pun menjadi gelap.

Semoga suka ya! Tolong tinggalkan kritik dan saran agar cerita ini bisa jadi lebih baik! Terima kasih ❤

BlueHashicreators' thoughts