7 Rumah Sakit

Jam sepuluh malam, sirine ambulance terdengar begitu riuh di satu pelabuhan di Banten. Lima kapal penyelamat insiden pendaratan darurat itu sudah merapat setengah jam lalu, satu per satu korban luka dan meninggal dipindahkan untuk dibawa ke rumah sakit.

Tristan memangku Bella, meletakan tubuh gadis itu di atas brankar ambulance. Tak tinggal diam, Ia juga mengantarkan Bella sampai ambulance beberapa meter ke depan.

"Rumah sakit mana?" tanya Tristan pada petugas ambulance itu.

"RS Siloam Banten, Pak," jawabnya.

Tristan mengangguk, "Baik. Terimakasih," ujarnya, memperhatikan Bella yang dinaikan ke dalam ambulance. Tristan tentu ingin sekali menemani gadis itu sampai rumah sakit, kalau bisa menjaganya, tapi sayang Ia tidak mungkin meninggalkan evakuasi yang tengah berlangsung disini.

Setelah memastikan ambulance itu pergi, Tristan kembali ke atas dek kapal, membantu SAR melanjutkan evakuasi. Suasananya begitu haru. Keluarga penumpang yang mengetahui anggota keluarganya ada di dalam manifest penumpang pesawat itu cepat mengunjungi pelabuhan yang turut dijadikan posko darurat itu.

Kebanyakan dari penumpang yang selamat langsung dibawa keluarganya setelah melapor. Tim SAR dan medis sudah menyarankan mereka untuk ke rumah sakit terlebih dahulu, tapi kebanyakan mereka menolak. Merasa tidak ada luka fisik, hanya syok luar biasa. Mungkin suasana di rumah lebih menenangkan mereka.

Jam sudah menunjukan pukul dua belas malam. Akhirnya evakuasi itu selesai. Sudah tidak ada korban luka, meninggal, ataupun selamat di atas dek kapal. Semua sudah diover ke sembilan rumah sakit berbeda untuk ditangani. Kelelahan tampak tercetak jelas terutama di wajah para awak kabin, co-pilot, pilot, dan juga Tristan, Jevan, dan Yudha yang bekerja nonstop mulai dari saat turbulensi terjadi.

"Kapten Tristan, terimakasih banyak atas bantuannya. Kami berhutang banyak pada Kapten," ujar sang pilot begitu tim evakuasi dibubarkan untuk istirahat.

Tristan mengangguk, "Sama sama Kapten. Justru Kami yang lebih berhutang nyawa pada Anda dan co-pilot. Silakan istirahat, Anda pasti syok berat," ujarnya.

Akhirnya kesembilan awak kabin itu berpamitan, bersalaman, dan berterimakasih pada Jevan, Tristan, dan Yudha bergantian. Terasa sekali di tangan Tristan kalau kesembilan tangan orang itu masih bergetar.

"Allahuakbar!" seru Yudha, mendudukan diri di kursi dekat posko keselamatan. Lelah sudah dirinya.

"Kerja bagus," puji Tristan singkat untuk dua rekannya itu.

"Sekarang kalian istirahat, jangan pikirkan kegiatan untuk besok, kita masih syok," lanjut Tristan. Ya, Tristan juga syok berat, tapi entah kenapa Ia masih terlihat sangat tenang sampai sekarang.

Tristan lantas beranjak, tanpa pamit melangkah meninggalkan dua rekannya.

"Mau kemana Tan?" tanya Jevan.

"Rumah sakit!"

****

Tristan menghentikan taksi yang Ia tumpangi di depan RS Siloam Banten. Alih-alih meminta supir taksi bayaran pihak maskapai itu menuju hotel, Tristan malah pergi ke rumah sakit. Bukan untuk mengobati dirinya, meskipun beberapa bagian tubuhnya cukup nyeri akibat terbentur beberapa kali ke dinding pesawat. Tristan hanya ingin memastikan kondisi Bella baik-baik di rumah sakit ini. Sekali lagi, tindakannya itu tanpa alasan. Tristan benar-benar khawatir akan keselamatan dosen itu.

"Permisi, korban kecelakaan pesawat atas nama Bella di ruangan mana ya?" tanya Tristan pada resepsionis.

Resepsionis itu memeriksa data pasien sejenak, "Ruang Orchid 34A, di lantai tiga, Pak," ujarnya.

"Baik. Terimakasih."

Tristan bergegas menuju ruangan yang Ia tuju. Tak lupa sebelumnya Ia memaksa meminta kartu akses wali pasien pada resepsionis tadi, agar Ia bisa leluasa dan lama berada di ruangan. Ya, Ia pergi bukan sebagai pengunjung, tapi sebagai wali Bella.

"Orchid … 34A, oh ini …" gumamnya pelan di lorong lantai tiga.

Tristan membuka pintu ruangan itu perlahan, khawatir mengganggu dua orang pasien yang ada di ruangan itu. Tampak Bella ada di tempat tidur dekat jendela. Penampilannya lebih rapi kini, meskipun Ia masih tidak sadarkan diri.

Tristan mendekat, memeriksa selang infus dan perban gadis itu terpasang dengan benar. Ia kemudian duduk di kursi sebelah tempat tidur, menyandarkan punggungnya yang menegang.

"Astagfirullahaladzim," sebut Tristan. Ia mengusap wajahnya kasar, lalu memejamkan mata. Rasa lelah kini menyerbu tubuhnya.

Tristan menghela nafas dalam, berusaha membuang ingatannya soal kejadian mengerikan tadi. Guncangan, benturan, dan darah. Meskipun selalu berani, tak dipungkiri jika Tristan juga kesulitan menangani dirinya untuk lupa soal hal-hal yang Ia takuti.

"Hhhh! Gak … tolong …"

Tristan membuka matanya cepat begitu mendengar rintihan halus. Bella mengigau dalam tidurnya. Gadis itu bahkan menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, wajahnya ketakutan.

Tristan menelan salivanya. Sedikit ragu tangan kanannya memegangi tangan Bella, sementara tangan kirinya mengusap kepala gadis itu. Pergerakan gadis itu turun, Ia sedikit tenang meskipun nafasnya masih tak beraturan.

Tristan menghembuskan nafasnya berat, "Kamu pasti trauma," ujarnya pelan.

Terus di posisinya, Tristan menenangkan Bella. Hingga akhirnya Tristan terkejut ketika tangan Bella balik menggenggam telapak tangannya. Ekspresi ketakutannya kembali, gadis itu kini seperti menangis dalam tidurnya, membuat Tristan semakin iba.

"Tenang, Bella …" ujar Tristan, kembali mengusapi rambut Bella, lebih intens kali ini. Tak ragu seperti tadi.

avataravatar
Next chapter