webnovel

Percikan

Bella berjalan di sepanjang lorong Departemen Kriminologi pagi itu dengan senyum mengembang. Aura dosen muda itu terasa lain bagi beberapa orang yang menyapanya. Tentu Bella sedang berbahagia setelah pembicaraannya dengan Tristan tadi malam. Pria itu sederhana ucapannya, tapi sangat bermakna, setidaknya bagi Bella yang selama ini mengaku hidupnya sangat kering.

"Pagi, Sierra," sapanya begitu memasuki ruangan.

Alih-alih langsung menjawab, Sierra malah mengerutkan dahinya, "Pagi sih, tapi tumben kok senyam senyum begitu?" tanyanya.

"Emang kenapa kalau Saya senyum gini?"

"G-gak masalah sih, cuma ya ... gak biasa aja. Ada apa sih Mbak? Pasti ada berita bahagia kan?" tanyanya semakin penasaran.

Bella tersenyum simpul, "Nanti Saya kasih tau kalau sudah waktunya ya, simpan dulu penasaran Kamu," ujarnya, membuat Sierra mengerucutkan bibir. Bukan tanpa alasan, Bella hanya menuruti perkataan Tristan untuk merahasiakan berita bahagia soal rencana pertunangan mereka itu sebelum acara resmi akan digelar. Katanya, kalau diumbar suka banyak gangguannya.

"Hari ini jadi ya meeting sama semua anak bimbing yang bakalan penelitian dalam satu payung topik dari Larry John University?" tanya Bella, memulai agenda profesionalnya.

"Iya, Mbak. Semua udah Saya kontak untuk hadir di bimbingan teknis siang ini. Mereka sepakat siang ini jam satu, setelah istirahat makan siang."

"Baik."

****

"Apa semua sudah siap? Saya rasa gak perlu briefing lagi ya, sudah jelas kemarin apa yang akan kita lakukan hari ini," ujar Tristan begitu sampai di Markas Kepolisian Polda Metro Jaya pagi itu.

Luki, Jevan, Yudha, dan Isyana mengangguk kompak, mereka sudah siap dengan pekerjaan mereka seharian ini; menyisir dua TKP yang disebut Tristan 'ganjil'. Tak perlu waktu lama, mereka segera pergi dengan dua mobil. Tristan bersama Jevan dan Yudha melaju lebih dulu, sementara Isyana dan Luki dibelakangnya.

"De Coffee Code ..." gumam Tristan pelan begitu Ia menghentikan mobil di depan lampu lalu lintas yang berubah merah.

"Itu kedai kopi ya? Masih aktif sebagai unit bisnis atau enggak?" lanjutnya bertanya pada si informan utama, Jevan.

Jevan menggeleng, "Tidak, Kapt. Satu minggu setelah insiden penemuan korban The Retro ditemukan, kedai kopi dan beberapa toko di area itu tutup. Kayaknya karena jadi sepi pengunjung," jelasnya.

"Wajar sih, orang-orang pasti jadi takut, minimal sangsi karena ada jejak pembunuhan berantai disana. Apalagi ... yang ditemukan di kedai kopi itu korban ke lima," tambah Yudha.

Tristan mengangguk paham, "Iya, stigma mistis pasti mempengaruhi juga."

Tristan lantas menginjak kembali pedal gas setelah lampu lalu lintas itu berubah hijau. Kali ini Ia agak meningkatkan kecepatan, karena Ia sudah paham dimana dan kapan saja titik-titik kemacetan Jakarta di waktu seperti ini.

Tidak ada pembicaraan kemudian, ketiganya sibuk dengan aktivitas dan pikiran masing-masing. Tepatnya ketiga orang itu sedang mengantisipasi dan membayangkan kira-kira apa yang akan mereka lakukan dan temukan di TKP pembunuhan itu.

Hingga akhirnya, setengah jam kemudian mereka sampai di lokasi. Tristan perlahan memelankan laju mobilnya ketika navigator mobil mengarahkannya pada gang sempit yang hanya cukup untuk dilewati satu mobil. Syukurlah karena mobil sedan hitam kepolisian itu yang mereka bawa kali ini, tidak sulit untuk membawanya masuk menyelinap.

Tristan menginjak rem mobil, mengedarkan pandangannya ke sekitaran tempatnya berada. Itu jalan buntu, dengan kanan kirinya adalah bekas pertokoan yang terbengkalai. Tidak ada seorang pun di daerah sempit itu. Sempat ragu itu adalah tujuannya, namun bekas Light Box bertuliskan De Coffee Code yang sudah usang bahkan hampir terjatuh itu meyakinkan Tristan.

Tristan lantas keluar mobil, melihat area kumuh itu lebih jelas. Ya, kumuh karena sampah berserakan dimana-mana; botol kaca warna hijau, kotoran hewan, sobekan kertas, pecahan kaca, dan coretan-coretan asal di dinding. Tempat itu adalah tipikal tempat orang mabuk-mabukan.

Namun satu hal yang disimpulkan Tristan lewat intuisi supercepatnya; tempat ini bahkan terlihat sangat dekat dengan konsep 'retro'. Membaca sejarah sedikit, area pertokoan di daerah Kuningan, Jakarta Selatan itu sudah berdiri sejak 1987. Tak heran jika aksen bangunan disana sangat klasik, termasuk De Coffee Code.

"The Retro ..." ujar Tristan dalam hati, tidak ingin banyak berasumsi di awal, Ia hanya memendam dahulu kemungkinan pola yang terbentuk di kepalanya itu.

Tak lama kemudian, mobil polisi kedua yang dikendarai Luki tiba. Tim sudah lengkap sekarang. Luki sepertinya akan kembali menjadi yang paling sibuk untuk mencari, mengkoleksi, dan mendokumentasikan temuan. Ah, jika ditemukan tentunya.

Kelima personil polisi itu lantas segera melakukan SOP penggeledahan TKP standar seperti biasa, memastikan bahwa kedatangan mereka itu tidak menimbulkan jejak dalam bentuk apapun yang justru akan tergabung dengan kondisi asli dan dapat membingungkan penyidik forensik.

"Langsung saja," titah Tristan kemudian, memimpin langkah empat orang lainnya karena memang ialah yang memegang kunci akses toko itu. Toko itu memiliki gerbang sebelum memasuki area terasnya. Ya, kedai kopi itu cukup besar, dan dulunya terkenal di kalangan anak muda Jakarta.

KREEETT!

Suara gesekan besi berkarat antara roda gerbang itu memekakkan telinga. Agak susah bagi Tristan bahkan untuk sekedar membuka setengah meter pagar supaya mereka bisa masuk.

"Jenazah korban ditemukan di teras," ujar Tristan begitu Ia dan keempat lainnya sudah masuk.

"Ya, dan lagi-lagi posisi penemuan jenazah dalam posisi duduk di kursi," timpal Isyana.

Tristan menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari kursi mana yang didokumentasikan oleh investigator setahun lalu, "Kondisi teras kafe sudah berubah. Harusnya kursi itu masih ada di depan, posisi paling depan dekat lampu taman ini dan disegel garis polisi," ujarnya, menunjuk bahkan berjongkok untuk memperlihatkan apa yang Ia katakan. Tristan mengingat satu foto di laporan investigasi yang Ia baca semalam.

"Agak wajar jika TKP berubah, bukan? Ini area terbuka," ujar Yudha.

Isyana menggeleng tak setuju, "Tapi kursi itu hilang, Yud. Pagar kafe ini juga tinggi, banyak usaha untuk bisa masuk dan membawa kursi keluar," ujarnya.

Melihat TKP yang berbeda dari kondisi yang Ia bayangkan, Tristan kembali memutar otaknya, bergeser ke kanan sedikit, mengintip dari jendela yang tak tertutup gorden ke dalam.

"Kita akan membagi tugas. Satu orang menyisir TKP di sekitaran kedai ini, khususnya kursi itu, apa memang dipindahkan saja, atau memang hilang. Satu orang menyisir bagian teras disini, dan sisanya di dalam, di lantai satu dan dua kedai." Tristan kembali memberikan instruksi yang langsung disepakati keempat lainnya.

Tristan dan Yudha lantas memutuskan untuk memeriksa lantai satu, tempat bekas meja barista dan reservasi berada. Isyana di lantai dua, Luki di teras, dan Jevan di luar.

Mereka bekerja dalam keheningan, yang banyak terdengar hanyalah desir angin dari luar yang turut menerbangkan debu dan pasir, mengganggu pernafasan dan penglihatan mereka meskipun sudah tertutup masker dan kacamata.

PRANG!

Satu teko kaca besar jatuh ke lantai, Yudha menyenggolnya. Cukup membuat keterkejutan hingga Tristan dan Luki datang mendekat.

"Maaf, gak kelihatan," ujar Yudha yang tengah memunguti pecahan kaca di dekat kaki satu meja pelanggan. Teko kaca itu sepertinya bagian dari dekorasi ruangan.

Tristan mengangguk, "Hati-hati lain kal ..."

Ucapan Tristan terpotong, ganti Ia yang berjongkok melihat sesuatu di lantai yang tertutup banyak pecahan kaca, "Tangan Kamu berdarah, Yud?" tanyanya tiba-tiba.

Yudha menggeleng, "Enggak," jawabnya singkat.

"Ini apa kalau bukan darah Kamu?" Tristan menunjuk sesuatu yang seperti percikan air berwarna gelap di lantai marmer coklat muda.

Luki dan Yudha spontan ikut berjongkok, meneliti apa yang ditunjuk Tristan sebagai darah itu. Sementara Tristan, matanya sudah beralih ke lokasi lain, Ia mencari-cari dari mana sumber percikan berwarna merah gelap itu berasal kalau bukan dari bagian tangan Yudha yang terluka.

"Apa ini mirip dengan yang kemarin?" tanya Yudha, Luki masih belum menjawab, analis temuan barang bukti itu masih berusaha menyentuh benda itu hati-hati.

Tristan berdiri, "Percikan itu terhubung kesini!"

Hai, readers! Bagaimana tentang part ini? Jika berkenan boleh diramainkan ya dengan komentar, agar cerita ini bisa terus berkembang. Thank You!

aleyshiaweincreators' thoughts
Next chapter