webnovel

Takdir Dunia

_Tahun 1509 Kalender Manusia_

Waktu berlalu sangat cepat bagi manusia, berbagai peristiwa mewarnai kehidupan dan sejarah panjang mereka selama berada di muka bumi.

The Continent atau Benua Besar adalah sebuah dataran benua luas yang membentang dari ujung timur sampai ke ujung barat bumi. Dataran ini terbagi menjadi dua bagian, The Orient (Benua Timur), dan The Occident (Benua Barat).

Sejak abad kegelapan baru dimulai, sebagian tanah di wilayah Occident mulai mengering, tumbuh-tumbuhan mati, dan sumber air pun semakin berkurang.

Kegelapan itu semakin manjalar dari ujung barat, mencoba menaklukan bagian tengah dan timur The Continent yang masih terang.

Kerajaan Arx adalah kerajaan besar yang berada di Benua Occident dan berbatasan langsung dengan Benua Orient, terletak tepat di tengah-tengah The Continent. Di bagian utara-barat laut perbatasan Kerajaan Arx, terdapat sebuah desa kecil yang subur, Desa Nier.

Ya, meskipun sebagian sawahnya mulai kering dan banyak daun dari pepohonannya sudah menguning, tapi tanahnya masih bisa memberikan nutrisi untuk tumbuhan dan kebun para petani. Padahal, kerajaan-kerajaan di Occident yang dilalui garis equator seharusnya sedang mengalami musim hujan. Namun, hujan belum lagi turun selama beberapa pekan. Meskipun begitu, dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya di perbatasan kerajaan-kerajaan Occident, desa ini termasuk desa yang paling subur.

Terdapat sekitar 36 bangunan tersebar di atas tanah yang luas itu. Tiap sudut selatan, utara, timur, dan baratnya dibatasi oleh pagar kayu setinggi satu meteran. Bangunan-bangunan itu cukup sederhana, berfondasikan tiang dan lantai kayu, atapnya berupa genting dari tanah liat, sebagian lagi berdiri kokoh dengan tembok dan pagar batu. Hampir setiap rumah memiliki halaman yang luas dan ditumbuhi beberapa pohon dan tanaman.

Di sebelah utara dan barat bagian luar desa ada sawah-sawah dan kebun penduduk, di bagian selatannya ada hamparan padang rumput luas setinggi mata kaki, ada juga yang sampai ke lutut. Sebagian besar rumputnya masih berwarna hijau, sebagiannya lagi mulai menguning dan kering. Bagian timur desa berhadapan langsung dengan Hutan Nier, semakin dalam masuk ke dalam hutan, semakin lebat pepohonan.

Terdapat kurang lebih 206 jiwa yang tinggal di desa ini, sebagian besar penduduk desa bekerja sebagai petani, setiap hari mereka pergi ke sawah dan ladang mereka. Sebagian lagi berprofesi sebagai penjual atau pedagang, mereka pergi ke kota untuk menjual hasil bumi di pasar-pasar. Para penduduk desa hidup berkecukupan, rukun, dan makmur.

Di desa itu terdapat sebuah bangunan yang ukurannya lebih besar dari pada bangunan lainnya. Setiap sudut bangunan yang memiliki tinggi dua lantai itu terbuat dari kayu, mulai dari pagar, tembok, hingga lantai, dan tiang-tiangnya.

Seorang pria dewasa berumur tiga puluh tahunan duduk bersandar pada sebuah tiang kayu di samping ruang kelas, membacakan buku cerita kepada anak-anak berusia tujuh sampai sembilan tahun yang duduk berhimpun di hadapannya.

Langitnya terang, angin sore bertiup cukup kencang terus membukakan lembaran buku yang ia pegang, sesekali ia tahan lembaran buku itu supaya anginnya tidak memindahkan halaman.

"Sejak dahulu ... bumi kita ini selalu dinodai dengan peperangan. Manuskrip-manuskrip lama dan rangkaian kisah yang tergambar dalam reruntuhan kuno yang telah ditemukan oleh para peneliti menceritakan kepada kita tentang bagaimana dahsyatnya Perang Elemental Spirit empat ribu tahun yang lalu, ehm ...." Pria itu membuka halaman selanjutnya.

Anak-anak di hadapannya duduk dengan rapi dan begitu antusias memperhatikan, angin yang berhembus melalui kelas kosong meniupkan tirai-tirai kelas ke luar ruangan. Suasana yang paling pas untuk tidur siang.

"Berakhirnya perang itu artinya ... dimulai lah masa kejayaan manusia di muka bumi. Tapi sayangnya, manusia yang mengambil alih kepemimpinan di bumi setelah hilangnya roh elemen ternyata tidak lebih baik daripada mereka. Pada tahun 1376, terjadi Perang Dunia yang melibatkan hampir seluruh kerajaan-"

Mulutnya berhenti bercakap, matanya tertuju pada seorang anak yang duduk di bagian belakang sambil mengangkat tangan kanannya seperti ingin melemparkan pertanyaan. Belum sempat ia menegurnya, anak itu memanggilnya, "Paman!"

Pria itu mengerutkan dahi, ia menggerakkan telapak tangannya naik-turun memberikan isyarat kepada anak itu supaya menurunkan tangannya. "Tunggu sebentar, Rein. Biarkan aku menyelesaikan ceritanya."

Anak itu kemudian menurunkan tangannya, ekspresinya tidak berubah, kepalanya mengangguk mengerti maksud ucapan gurunya.

"Selain itu, panggil aku guru!" tambahnya, anak laki-laki tadi mengiyakan.

Pria itu kembali membaca. "Baiklah ... setelah Perang Dunia yang berlangsung di berbagai wilayah timur dan barat The Continent selama empat generasi itu berakhir, tepatnya pada tahun 1450, manusia mulai membangun kembali peradaban yang baru. Seiring berjalannya waktu, di atas perjanjian perdamaian, kerajaan-kerajaan di Orient dan Occident mulai menjalin hubungan baik, bekerjasama, dan bahu-membahu menjaga perjanjian damai. Namun-"

"Paman!"

Suara itu lagi-lagi memecah konsentrasi murid yang lainnya, anak tadi kembali mengangkat tangannya. Wajahnya cerah dan masih bersemangat, beberapa murid lain hanya melihat si rambut coklat kehitaman itu dengan maklum, ada juga yang tampak kesal.

Ekspresi pria itu menjadi berat, mencoba untuk tetap sabar. "Rein ... aku akan memberimu kesempatan untuk berbicara setelah cerita ini selesai aku bacakan. Selain itu ... aku adalah gurumu di sini, gunakanlah panggilan yang benar!"

Anak itu pun mengangguk lagi dan menurunkan tangannya.

Pria itu menarik napas panjang. "Baiklah, sampai mana kita tadi ... ehm, pada tahun 1495, seorang kesatria tidak dikenal muncul dari ujung barat benua Occident, menandai terjadinya Tragedi Benua Besar. Ia memiliki kekuatan yang sangat dahsyat, dengan kekuatan itu, ia membentuk Dark Army, menyerang beberapa wilayah dan kerajaan, lalu mendeklarasikan terbentuknya sebuah kerajaan baru, Kekaisaran Darkan. Dari ujung barat Occident itu, ia mulai melakukan invasi dan menaklukkan kerajaan-kerajaan sekitar. Sekarang ia dikenal sebagai Dark Emperor. Setiap wilayah yang dihancurkan oleh pasukannya berubah menjadi Dark Territory, tanah di wilayah itu akan menjadi kering, tumbuhannya akan mati, dan langitnya menjadi gelap ...."

Dia membuka halaman selanjutnya sambil melihat ke arah bocah berumur sembilan tahun tadi kalau-kalau anak itu mengangkat tangannya lagi. 'Syukurlah, aku rasa dia mulai mengerti,' gumamnya dalam hati.

Pria itu melanjutkan, "Beberapa kerajaan besar memutuskan untuk melawan balik dan mencoba menghentikan Dark Emperor, pada tahun 1498, dibentuklah Aliansi Kedamaian Dunia atau AKD. Sejak saat itu, pasukan aliansi terus berperang melawan Dark Army. Sayangnya, musuh yang mereka lawan terlalu kuat ... walaupun kerajaan-kerajaan besar di Occident sudah bersatu, mereka belum bisa menghentikannya. Empat belas tahun sejak kemunculan Dark Emperor, hampir satu per tiga benua kini telah berada di dalam genggamannya, orang-orang menyebut masa ini dengan Abad Kegelapan Baru ...."

Lagi-lagi pria itu berhenti membaca, tapi bukan bocah tadi yang menghentikannya. Angin yang kencang meniupkan lembaran buku yang ia pegang. Wajahnya terlihat menjadi suram, namun matanya masih tertuju pada buku yang ada di tangan.

Ia diam termenung. 'Betapa menyedihkannya keadaan dunia sekarang ini.'

Begitulah kenyataannya. Setelah Perang Dunia berakhir, perang baru muncul. Tidak ada yang mengira. Pertumpahan darah terus terjadi. Apakah semua ini karena tabiat manusia? Atau memang merupakan takdir dunia?

Pria itu menatap murid-muridnya. 'Bagaimana kesulitan yang akan dihadapi oleh mereka di masa depan?'

Ekspresinya menjadi berat, anak-anak yang melihatnya pun tidak memberikan tanggapan dan ikut hanyut dalam keheningan.

"...."

Ia memasang wajah lesu, seolah-olah putus asa. 'Harapan ... ya ... seandainya kita punya harapan.'

Itu yang selalu manusia pikirkan, sebuah harapan. Tapi apa yang mereka butuhkan? Apa yang harus mereka lakukan? Menghentikan Dark Emperor dan pasukannya yang sudah tidak terhitung jumlahnya?

Sejauh mana aliansi telah berhasil? Mereka telah sejak lama menghadapi Dark Emperor, mereka tahu betul bagaimana kegelapan itu menguasai jiwa mereka, menyelimuti mereka dengan ketakutan.

Pria itu mengepalkan tangannya, menyayangkan apa yang telah terjadi, seolah ingin mengeluarkan emosinya. 'Pasukan kegelapan itu tidak bisa dikalahkan oleh pasukan biasa. Yang mungkin bisa melakukannya adalah ....'

Angin kencang berhembus. Udara sore itu masih hangat. Dedaunan yang kering jatuh dan diterbangkan angin, dibawa pergi dari pepohonan. Suara hembusan angin masih mengisi daun telinga semua orang di sudut teras yang sudah beberapa saat tadi terasa sepi dan hampa.

Tiba-tiba ....

"Paman Leo!!!" teriak seorang anak memecah keheningan.

"Y-ya!" Bahu pria itu melompat kaget bersamaan dengan anak-anak lainnya yang juga ikut tersentak.

"Pfft ...."

"Rein! Apa Kau mau membuat seisi kelas kena serangan jantung?" kata anak perempuan di depannya.

"Ahaha ...." Yang lainnya menjadi gaduh.

Panggilan tadi menghancurkan suasana, merusak keheningan, seketika emosi yang menguasai mereka terangkat dan hilang. Semuanya menjadi ribut.

"Huu-ah, aku kira kesadaranku tidak akan kembali sampai Rein berteriak tadi."

"Aku sedang berimajinasi, seluruh badanku melinding, tiba-tiba saja lasanya jantungku hampir copot. Dasar Rein, Kau berteriak kelas sekali!" kata seorang anak dengan cadelnya.

"Hahaha!"

"Ah ...." Pria itu menghela napas sembari menggaruk kepalanya, seolah-olah wibawanya sebagai guru yang tenang dan keren telah hilang karena teriakan salah satu muridnya. "Semuanya harap tenang!"

"Ssst ...."

Dalam waktu sebentar, semua murid kembali diam. Pria itu berhasil menguasai kembali keadaan.

"Baiklah, Rein, apa yang mau Kau katakan?"

Rein tersenyum, anak-anak lain memperhatikannya, kilauan cahaya berkumpul di matanya. "Apa sekarang waktunya Engkau menceritakan tentang Sang Pahlawan yang akan muncul untuk mengalahkan Dark Emperor?"

"...."

"Sang Pahlawan?" Kalimat itu kembali diulang.

"Sang Pahlawan!" anak-anak lain ikut berteriak. "Ibuku pernah menceritakannya ketika aku kecil."

"Sekecil apa Kamu waktu itu?" Ada yang membalas.

"The Radiance!" Yang lainnya ikut berteriak senang.

"Iya! The Ladiance!" ulang si cadel.

"Maksudku saat lebih kecil dari sekarang," bicara pelan anak di belakang.

"Yeaah! Iyaa!"

Mereka saling menatap kegirangan, saling melemparkan senyuman, seperti punya satu pikiran, wajah-wajah muram mereka telah hilang. Sore yang hangat itu seketika menjadi riang. Suasananya kembali hidup setelah sebelumnya suram.

"Guru, ceritakan kembali kepada kami!"

"Bacakan kisah Sang Pahlawan, Guru!"

Anak-anak itu terus meminta guru mereka untuk bercerita. Pria itu tersenyum, ia menatap satu-persatu wajah-wajah mereka. 'Benar sekali, inilah yang mereka butuhkan,' kata hatinya tenang setelah mengerti bahwa si cerdas itu bertanya supaya kelas kembali ceria.

'Terima kasih, Rein.' Leo kemudian menutup buku di tangannya, hendak melanjutkan ceritanya seperti seorang narator yang tidak lagi membutuhkan naskahnya. Murid-muridnya hening, mereka diam dan fokus memperhatikan. Wajah mereka kini dihiasi dengan senyuman, mata-mata itu kini terlihat terang berkilauan. Yang ia ceritakan kemudian ....

"... The Radiance."

***

Next chapter