1 LARKSHIRE HOTEL YANG MEWAH

PROLOG

Selama dua puluh empat tahun hidup di dunia, aku tak pernah menyangka akan berada di titik ini. Duduk di kursi dengan tangan terikat dan mata yang tertutup, membiarkan sesosok makhluk bertaring tampan menghisap darahku.

Tak pernah terbersit sedikitpun dalam benakku, kalau aku bukanlah manusia setengah vampir yang harus merelakan darahku dihisap oleh vampir dingin ini hanya untuk mengetahui siapa aku sebenarnya? Dan siapa kedua orang tuaku yang sebenarnya.

Aku pikir, aku akan segera menyesali keputusanku saat itu. Namun setiap kali merasakan bibirnya menempel di leherku tanpa ragu. Aku mulai merasakan desiran aneh yang seolah mengalir di sekujur tubuhku. Setiap kali ia berbisik ditelingaku dengan suara beratnya, setiap kali tangannya menyentuh leherku, dan setiap kali tangannya menarikku dengan posesif, aku pikir aku tak akan menyesal sedikitpun dengan keputusanku.

Aku tak pernah merasa keberatan saat dia memintaku duduk di atas sebuah kursi, mengikat kedua tanganku di setiap sisi kursi, menutup kedua mataku dengan kain penutup mata berbahan satin dengan hati-hati, kemudian ia akan menyibak rambutku dengan hati-hati.

Yang ia lakukan adalah mengendus leherku, menciumnya dengan hati-hati, kemudian aku akan kembali merasakan kedua gigi taringnya yang menancap di leherku dengan sekali hentakkan hingga aku mungkin akan meloncat jika saja ia tak menggenggam kedua tanganku dan menahan diriku.

Jason James William. Vampir keturunan darah murni itu benar-benar mengambil alih diriku, pikiranku, dan juga hatiku.

***

Aku sangat berharap musim semi kali ini akan membawaku pada keberuntungan. Dalam hal apapun.

Naskah ku yang diterbitkan, mendapatkan banyak royalti, dan berhenti menjadi parasit di rumah Grace. Well, aku Olivia Jasmine Alisca, wanita berusia 24 tahun yang malang dan harus menumpang di rumah bibiku, satu-satunya keluarga yang aku miliki.

Oh Tuhan, kabulkanlah setidaknya salah satu dari harapanku. Aku sangat putus asa. Aku berhenti kuliah karena aku tidak ingin menyusahkan Grace dan suaminya yang sangat amat baik padaku sejak kecil. Pendidikan putra-putri mereka lebih penting bagiku.

Aku pernah bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Tapi itu berakhir karena pekerjaannya yang benar-benar membuatku hampir gila.

Dan sekarang, aku bekerja di sebuah toko bunga milik seorang wanita setengah baya yang sangat anggun bernama Lily Brown.

Ya, bisa ditebak. Nama toko itu juga memiliki sebagian namanya, Lovely Lily Flower. Dimana semua orang akan merasa sangat berbahagia dengan bunga. Sebuah filosofi sembarang yang ia yakini selama hidupnya.

Dan hal lucu lagi, ia menerimaku bekerja karena sebagian namaku adalah salah satu nama bunga yang disukainya, melati.

Pagi ini, aku menguncir rambutku seperti ekor kuda. Aku memakai blouse berwarna putih dengan kerah sederhana berwarna biru navi, tadinya aku akan menggunakan rok, tapi itu berlebihan.

Aku hanya akan menggunakan celana jeans warna hitamku, dan juga sepatu flatshoes warna krem.

Aku keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan. Paman George, seperti biasa, dia sudah duduk di sekitar meja makan dengan kemeja putih kekecilan - sebenarnya, ku rasa itu adalah kemeja dengan ukuran paling besar dipasaran.

Hanya saja, tubuh paman George memang tak terkendali. Dia memiliki rambut pirang terang. Sementara itu, bibi Grace sedang sibuk menyiapkan makanan di meja. Ia memakai gaun sederhana berwarna biru langit, itu merupakan ciri khasnya sebagai wanita paling cerah di rumah ini.

"Ya Tuhan, Livia. Kau sedikit pucat sayang. Kau baik-baik saja?" Tanya Grace yang buru-buru menghampiriku. Sebenarnya, jika Grace menyadari, selama hidup, aku tak pernah merasa bersemangat atau terlihat cerah.

"Tidak apa-apa, bibi Grace. Aku hanya sedikit kurang tidur. Kemarin toko sangat disibukkan untuk acara amal Mrs. Lily." Jawabku pelan lalu terkejut saat Joshua berlari sambil menabrak ku hingga rasanya tubuhku benar-benar hampir kehilangan keseimbangan.

"Hai, Liv!" Sapa Joshua. Si pria kecil yang memiliki rambut pirang seperti kedua orang tuanya dengan bola mata abu-abu cerah. Satu gigi depannya baru saja copot. Namun hal itu tak menghentikannya untuk mengoceh kritis, seperti anak-anak seusianya.

"Apa acara amal itu masih berlangsung, Livia? Kau terlihat sangat cantik." Ledek paman George tertawa. Aku yakin inilah batas maksimal cantik yang kumiliki. Aku tahu, aku tak bisa lagi lebih cantik dari wanita-wanita jaman sekarang.

Entah mengapa aku memiliki pemikiran yang sangat kolot - dalam segala hal.

"Hari ini, aku dan Rachel diminta Mrs. Lily untuk mengantarkan buket bunga mawar ke Larkshire Hotel. Ada acara pernikahan."

"Oh, benar. Itu hotel yang sangat besar di pusat kota London, kan? Naik apa kau ke sana Livia?" Tanya paman George. Dari nadanya terdengar cukup khawatir. Karena dia dan bibi Grace tahu jelas kalau aku tak pernah melakukan perjalanan jauh dari kota Manchester.

"Mama, kau lihat kuncir rambutku?" Jerit Valerie mengagetkan ku. Ya ampun, kenapa rasanya pagi ini aku sangat kacau dengan suara-suara bising ini?

"Aku, emm.. ke sana menggunakan mobil milik Mrs. Lily." Jawabku tersendat-sendat karena menjulurkan tangan kananku susah payah ke dalam lipatan sofa untuk meraih sesuatu yang membuat gadis berusia 19 tahun itu menjerit-jerit.

"Oh, terimakasih Livia sayang." Ucap Valerie saat aku melemparkan sebuah kuncir rambut kecil berwarna hitam padanya dengan sedikit renda-renda mutiara disekitarnya. Suaranya terdengar jelas meniru bibi Grace dengan penekanan 'Livia Sayang'.

Menjijikan.

"Aku harus berangkat sekarang," Ucapku setelah mengambil sepotong roti bakar.

"Hey, Livia sayang. Kau melupakan ini." Ucap Grace membuatku berbalik lagi ke arahnya.

"Jus tomat lagi?" Tanya Joshua yang melihat Grace sedang menuangkan cairan kental berwarna merah pekat ke dalam botol minumanku.

"Tidak, Joshua. Itu jus darah ayam." Celetuk Valerie. Gadis yang baru memasuki universitas itu benar-benar memiliki mulut yang luar biasa menyebalkan.

"Oh diamlah, Val!" Umpat Ku sambil memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya yang malah tersenyum lebar. Kemudian aku bergerak mengambil botol ku dari Grace dan mengucapkan terimakasih.

"Darah ayam?" Tanya Joshua lagi. Anak ini benar-benar tidak putus asa.

Padahal selama ini kami sudah berhasil meyakinkannya kalau ini hanyalah jus tomat. Walaupun sebenarnya bukan.

"Tentu bukan, Josh. Valerie hanya mengerjaimu." Ucap paman George dengan tegas kemudian melemparkan tatapan pada Valerie. Anak gadisnya yang hari ini baru memasuki sekolah barunya dijenjang yang lebih tinggi.

"Ya, aku hanya mengerjai mu, Joshie.." Balas Valerie sambil menunjukkan senyum terpaksanya pada musuh kecilnya itu. Kemudian mengambil semangkuk oats.

Dia gadis remaja yang gila diet.

"Oke, aku berangkat. Sampai nanti.."

"Tidak Liv, tunggu! Kau harus menggunakan lip gloss ku!" Teriak Valerie yang membuatku mempercepat langkahku keluar dari rumah itu.

Selama di dalam bis, aku membuka botol minumku yang berukuran 500ml dan menghabiskan isinya dalam waktu kurang dari 1 menit.

Tubuhku merasa baikan selama beberapa menit, kemudian aku merasa menyesal. Aku menggigit bibirku menyadari kebodohan-lebih tepatnya kerakusan ku.

Seharunya minuman berharga ini ku sisakan untuk nanti sore. Aku mungkin bisa membelinya lagi, tapi akan sedikit sulit.

Seandainya ada café di sekitar Manchester yang menyediakan menu darah ayam dengan beberapa skop es krim, aku mungkin akan menjadi pelanggan tetap di sana.

Tapi, tak mungkin ada yang menyediakan minuman aneh untuk orang aneh seperti ku. Aku sendiri bingung kenapa aku sangat menyukainya.

Darah ayam, darah angsa, itik, bahkan pernah aku merasa sangat tertarik dengan darah yang menggenang di jalanan bekas terjadinya kecelakaan. Aku tahu ini gila. Entah apa aku ini.

Sejenis vampir atau sejenis makhluk berkelainan mental yang berpotensi menjadi pembunuh berantai. Apapun itu, semuanya tak terdengar bagus.

Aku membencinya. Tapi mungkin seperti seorang pecandu obat-obatan, aku tak pernah bisa berhenti meminum darah. Dan jika itu kulakukan, tubuhku akan sangat lemas, tidak bertenaga, benar-benar gila.

Hanya paman dan bibiku yang mengetahui keanehan ini, dan sekarang si Valerie bermulut tajam itu juga mengetahuinya saat ia membawakan darah itu padaku dan mendesakku.

Walaupun begitu, aku percaya Valerie tidak akan memberi pengumuman soal ini pada siapapun, dia malah sangat antusias padaku, seolah aku adalah bahan penelitiannya.

15 menit sudah terlewati, bis berhenti di halte bis Artfox. Lovely Lily Flowers berada tepat di seberang jalan ini.

Toko bunga yang cukup besar di sepanjang jalan ini. Langkah kaki ku semakin cepat ketika menyeberang jalan.

Begitu sampai di sana, biasanya Joseph, sang asisten kepala toko yang sering kami panggil Joe, akan menyambutku dengan berisik dan memaksaku untuk segera mengganti pakaian dengan seragam berwarna merah muda bercampur putih khas toko ini.

Kenapa merah muda? Aku tidak suka memakai apapun dengan warna cerah. Tapi sekali lagi, aku hanya seorang pegawai.

Dan kali ini, Joe, pria dengan rambut kriting yang sedikit gondrong itu terlihat sangat sibuk. Wajah tirusnya terus bergerak-gerak mengiringi bibir tebalnya mengoceh pada para karyawan lain yang sedang sibuk merangkai bunga.

Joe memang memiliki sifat yang lembut, sangat teliti, dan imajinatif. Dia lebih feminim daripada aku dan Rachel pun berkata demikian.

"Hey, sudah siap?"tanya Rachel.

Wanita yang 3 tahun lebih tua dariku ini memiliki rambut hitam bergelombang itu terlihat cukup kerepotan membawa dua buket bunga. Tubuhnya ramping, dan kedua matanya berwarna hijau zambrud. Sangat cantik.

Dan, ia juga memiliki suara yang sangat khas, seperti anak-anak berusia 5 tahun. Walaupun bagiku sedikit aneh, tapi beberapa pria mengatakan kalau itu sexy. Aku tidak mengerti itu.

"Yap, sangat siap."

Aku membantu Rachel memasukkan dua buket bunga mawar merah berukuran cukup besar itu ke dalam mobil. Kemudian duduk di kursi sebelah Rachel.

Kali ini Rachel yang mengemudi. Karena ya, aku tidak bisa mengemudi. Walaupun pernah bisa, beberapa tahun yang lalu.

"Aku berharap, mempelai prianya tidak akan menarikku ke dalam pelukannya, Liv.." Ucap Rachel tertawa renyah kemudian menyalakan sebuah lagu di dalam mobil.

Dan aku rasa lagu ini mengalun dengan sangat indah.

"Lagu apa ini?"

"Sam Smith dan Normani, judulnya Dancing with a Stranger. Aku tahu mungkin kurang cocok saat ini. Tapi belakangan, aku cukup menyukainya." Jawab Rachel terkekeh.

Dan aku balas terkekeh pelan. Pikiran ku mulai menyatu pada lirik lagu itu dan sepertinya aku akan menambahkan lagu ini ke dalam ponselku.

***

Larkshire Hotel terlihat semakin mengagumkan saat dilihat dari dekat. Gedung ini sangat tinggi diselimuti oleh jendela-jendela kaca raksasa.

Begitu memasuki lobby hotel pun, aku merasa memasuki istana besar atau kastil. Aku tak pernah masuk ke gedung sebesar ini. Dan aku harusnya memakai pakaian yang lebih resmi, atau minimal seperti Rachel.

Oh ayolah Livia, kau hanya akan ada di sini beberapa menit.

"Kau pernah ke sini?"tanyaku pada Rachel yang terlihat cukup menguasai tempat ini. Bahkan ia langsung menunjukkan dimana lift berada, saat aku masih dipusingkan dengan kesibukan orang-orang di lobby yang besar ini.

"Kakakku menikah dengan pria dari Skotlandia yang kaya raya. Mereka menggelar pesta besar-besaran di hotel ini. Tapi kau tahu, aula yang akan kita kunjungi adalah aula gedung yang paling murah di hotel ini." Jawab Rachel dengan suara pelan.

Dan aku hanya tertawa mendengarnya begitu paham mengenai harga-harga di hotel ini.

"Aku suka ke sini."ucap Rachel yang aku tak bisa mengerti apa maksudnya.

"Orang-orang yang bekerja disini sangat menarik." Lanjut Rachel tertawa. Dan aku juga tertawa karena alasan itu cukup umum untuk Rachel.

Tawanya berhenti ketika pintu lift terbuka dan aku melihat seorang pria dengan tatapan yang benar-benar melumpuhkan. Pria itu bertubuh cukup tinggi, setidaknya jauh lebih tinggi dariku.

Rambutnya coklat keemasan, kedua matanya berwarna biru, sangat indah. Aku yakin kedua mata indah itu menatap tajam kearahku.

"Liv.. Olivia.."

Aku kembali tersadar saat Rachel menarikku masuk ke dalam lift karena aku menghalangi jalan.

Begitu aku masuk ke dalam lift, pria bermata biru itu berjalan keluar lift diikuti oleh dua pria lainnya yang memakai setelan formal juga.

Entah apa yang membuat tubuhku bereaksi sangat berlebihan hanya karena tatapannya. Dan jika aku tak salah lihat, sebelum pintu lift tertutup sempurna, pria itu berbalik dan aku yakin dia menyeringai. Oh Tuhan, rasanya kakiku lemas.

Entah mengapa rasa tak nyaman mulai menjalar ditubuhku. Aneh.

"Kau terpesona padanya?"tanya Rachel dengan nada meledek.

Dan dengan mulusnya sebuah jawaban langsung saja lolos dari mulutku, "Ya.."

Rachel semakin meledak tertawa. "Oh, Livia. Akhirnya! Aku bisa melihatmu sebagai wanita normal. Tentu saja. Mana ada yang menolak pesona pria itu. Ya Tuhan.."

Aku mendengus dengan sangat kesal hingga menggeretakkan gigiku. Seharusnya aku tak perlu terlalu jujur pada wanita ini.

Dan syukurlah Rachel berhenti mengoceh saat kita sampai di aula yang dimaksud. Dan aku bersumpah aku akan mengutuk Rachel setelah ini.

Aula gedung paling murah katanya? Dengan bangunan semegah dan dekorasi mewah ini? Fasilitas lampu-lampu indah, dengan meja prasmanan berbentuk huruf L yang besar.

Kemudian hidangan-hidangan luar biasa ini. Ya ampun, rasanya aku benar-benar orang paling miskin di negara ini. Dan untuk ke sekian kalinya, aku mengutuk blouse warna putih dan celana jeans ini. Tapi setidaknya, aku tidak menggunakan sepatu kets kesayanganku.

"Oh, itu Mrs. Claudya. Sangat elegan."ucap Rachel menarikku menghampiri seorang wanita anggun dengan gaun merah panjang yang pas di tubuh rampingnya hingga memperlihatkan setiap lekukan tubuhnya.

Tubuhku terhuyung pelan ke kanan dan ke kiri karena dua buket bunga yang ada di tanganku.

"Permisi, Mrs. Claudya. Kami dari Lovely Lily Flower."ucap Rachel dengan sangat-sangat profesionalnya.

Aku tak terlalu jelas mendengar percakapan singkat mereka karena tiba-tiba saja perhatianku beralih pada kerumunan yang sedang menggiring kedua mempelai sebelum para tamu datang, setahuku 5 menit lagi.

Rachel dan aku menaruh dua buket bunga dengan kartu ucapan tersebut di sekitar meja yang ada di panggung pengantin bersama dengan buket bunga lainnya yang telah tersusun rapi.

"Selesai. Langsung kembali?"tanya Rachel.

"Tunggu."

Aku merasa yakin ada yang aneh dari salah satu wanita yang berada di kerumunan itu.

"Ada apa?"tanya Rachel mengikuti langkahku. Dan sebelum langkahku sampai, sang mempelai wanita menjerit sementara orang-orang di sana melongo ditempatnya.

Bau ini, aku yakin bau darah.

avataravatar
Next chapter