9 Pangeran Joe

Aku hampir sampai menuju rumah nenek Buroe, namun ada sesuatu yang terdesak di telingaku dari hutan arah utara. Aku pergi melihat apa yang terjadi di hutan itu.

"Oh, Moin-Moin! Apa yang kau lakukan di hutan?" tanyaku panik. Seseorang mengikuti langkah Moin-Moin dari belakang.

"Hah, kau ini siapa?" tanya Moin-Moin. Tentu saja dia tak mengenal tubuh baruku, Schnee-J.

Tapi, sepertinya Moin-Moin sedang tak di kendalikan nenek Buroe, untunglah.

"Dia yang siapa?" tanyaku balik menunjuk seorang pria berambut gondrong sebayanya.

"Hah ... aku jadi bingung, dan kenapa aku harus memberi tahu orang asing, ayo Pangeran kita pergi!" kata Moin-Moin tak ingin mengenalku.

"Pangeran? Dia seorang Pangeran?" Ternyata pria sebaya Moin-Moin seorang pangeran.

"Bukan urusanmu." Mereka pergi tak acuh.

"Tu ... tunggu, Moin-Moin! Baiklah, perkenalkan aku ... Pangeran Schnee-J, saudara tertua temanmu Pangeran Cristal kau memanggilnya Nuwa. Kau masih mengenalnya bukan?" ucapku meyakinkannya.

"Apa, jadi Nuwa adalah seorang pangeran? Dia tidak bilang apapun," heran Moin-Moin.

"Hahaha ... kau yakin adikku tidak bilang apapun? Dia memang orang yang pendiam," balasku terus meyakinkannya.

"Lalu, dimana dia sekarang? Apa dia tak ingin melihatku lagi?"

"Bukan-bukan, hanya saja ... dia sedang melanjutkan belajar, dia sangat pintar dan rajin."

"Dan ibumu?" tanyanya lagi.

"Ibu? Oh ratu Samy, dia harus menemani Raja di istana," jawabku lagi.

"Istana apa?" tanya pangeran berambut gondrong.

"Bukan urusanmu!" jawabku mengertak.

"Jangan percaya dia Moin-Moin, sepertinya dia pembohong," ucap Pangeran itu ragu.

"Istana Konai, istana yang dipimpin oleh Raja Buth." Bisakah dia mempercayaiku.

"Heh, itu cerita kuno. Istana Konai sudah tidak ada sejak 130 tahun yang lalu tahun yang lalu. Tapi, hanya orang istana yang tahu sejarah itu, bagaimana kau tahu?" bingung Pangeran berambut gondrong.

"Sudah kubilangkan aku ini Pangeran!"

"Masih tak percaya, pasti kau memata-matai pangeran," ucapnya asal.

"Sudahlah, kalian jangan berdebat di sampingku, telingaku sakit tahu!" marah Moin-Moin. Kami terdiam dan saling menatap tajam.

Sampai di halaman depan rumah nenek Buroe, tampaknya dia tak ada di rumah. Apa yang harus kulakukan, aku bahkan tak tahu harus mulai dari apa. Dan ingat, jangan sampai aku bertanya karena itu adalah kelemahanku.

"Kau gemetaran? Heh, tak dapat dipercaya, Pangeran penakut!" Pangeran sialan itu terus mengusikku.

"Moin-Moin, dari mana datangnya Pangeran sombong ini?" tanyaku beterus terang pada Moin-Moin.

"Pangeran sombong?" geram Pangeran itu.

"Sudahlah! Tadi saat aku sedang bermain dengan kupu-kupu, aku mendengar suara orang meminta tolong. Ternyata dia Pangeran Joe di serang serigala, aku tak tahu bagaimana cara menolongnya, jadi aku mencoba tidak menyakiti serigala dan memahami apa yang dikatakannya.

Dia bilang dia Ratu serigala, dia bukan ingin menyakiti Pangeran Joe, tapi dia meminta tolong pada Pangeran Joe untuk melepaskan perangkap di kaki anaknya. Dia takut anaknya akan di makan manusia, dia sangat bermohon ada Pangeran Joe, tapi Pangeran Joe tidak memahaminya dan malah ketakutan.

Setelah aku memahaminya, aku dan Pangeran Joe segera pergi melepaskan perangkap di kaki anak ratu serigala itu. Anak serigala itu menangis kesakitan, kakinya mengeluarkan darah yang banyak, kasihan jika dia tak bisa berjalan lagi. Setelah itu Ratu serigala sangat berterima kasih dan pergi. Pangeran Joe juga berterima kasih padaku, setelah itu dia terus mengikutiku," cerita Moin-Moin yang panjang.

"Kenapa kau mengikutinya?" tanyaku pada Pangeran Joe.

"Kau sendiri sama," balasnya licik.

"Aku punya misi."

"Aku lari dari Istana," ucap Pangeran Joe, menunduk sedih.

"Lari? Hahaha kau pasti sudah muak dengan istana," aku menertawainya.

"Diamlah, itu bukan cara untuk menghibur," jawab Moin-Moin marah lagi. Dan kenapa aku harus menghibur Pangeran sialan itu? Jengkel.

"Hhh ... kalian tidak tahu bagaimana tersiksanya aku hidup di istana. Ibuku ... heks ... heks ..." tangis Pangeran Joe.

"Sudahlah, jika kau tak ingin menceritakannya maka jangan lakukan," ucap Moin-Moin mengelus pundaknya. Melihat itu malah bikin aku lebih jengkel, apa aku cemburu?

"Ibuku ... dia di beri racun oleh ibu tiriku dalam minumannya, aku melihat kejadian itu saat bersembunyi di bawah meja kamar Ibu. Tapi ... heks ... aku ketahuan olehnya, dia mengancamku untuk tidak memberi tahu kepada siapapun terutama Raja, jika tidak dia akan mengantungku sama seperti temanku yang dituduh mencuri perhiasannya.

Malamnya aku sangat takut dan tak tahu harus apa, aku berharap ibuku tak meminum racun itu. Tapi, semuanya sudah berakhir, aku mendengar ibuku terjatuh lemas tanpa nafas, aku ... bisa apa selain menangis di kamarku. Setiap malam aku terusik seolah-olah aku bersengkongkol untuk membunuh ibuku sendiri, aku selalu ketakutan.

Saat istana sunyi di malam hari, aku kabur dari jendela dan melarikan diri sejauh mungkin. Aku harap, tidak ada yang menemukanku. Dan kalian berdua jangan pernah berpikir untuk memberitahu keberadaanku pada istana," ucapnya kawatir.

"Yah, rencanaku sih begitu tadinya. Tapi, setelah kupikir-pikir, sayangnya aku tak tertarik dengan kisahmu," ucapku menyindirnya.

"Heh, sialan!" jawabnya. Lalu kami saling melirik dan tertawa tak acuk.

"Kalian sangat aneh," bingung Moin-Moin, menggaruh kepalanya.

Sesuatu yang di dapatkan Moin-Moin saat menggaruh keplanya. "Wah, salju pertama!" teriak Moin-Moin.

"Benar, tidak kusangka salju datang lebih awal dari biasanya," ucap Pangeran Joe bahagia.

Mereka sangat senang saat salju turun, tapi aku tidak. Jika salju telah turun itu artinya kelemahanku telah berfungsi. Tidak bisa, aku tidak boleh menghilang sebelum penyihir itu lenyap dan menemukan ibuku.

"Oh di sana nenek Buroe! Nenek ..." sapa Moin-Moin dari kejauhan.

Penyihir itu kembali di saat salju turun, seharusnya aku berpikir dari awal. Rencananya melenyapkanku kali ini, tidak akan kubiarkan kegagalan menimpaku, meski ini untuk yang terakhir kalinya. Aku mohon Tuhan, lindungilah aku!

***

"Wah wah wah, sepertinya kalian sedang menungguku, ya! Coba katakan apa yang bisa kubantu?" tanya Nenek Buroe. Hari ini dia tampak berbeda, dia memakai jubah hitam persis seperti jubah yang dipakai saat mengendara kuda di istana Konai.

"Nenek, pakaian apa itu?" tanya Moin-Moin.

"Hanya pakaian musim dingin, oh ia siapa teman barumu itu?"

"Dia Pangeran Joe. Dan Pangeran, kenalkan dia Nenekku, Buroe." Moin-Moin memperkenalkan Pangeran Joe, tatapan penyihir itu langsung menusuk tajam. Raut wajah pangeran Joe terlihat tegang, seperti mengetahui sesatu yang tak diketahui siapapun.

Seketika nenek Buroe mengarah matanya padaku, dia tersenyum lebar dan tertawa begitu besar.

"Nenek, kau kenapa?" tanya Moin-Moin panik.

"Tanyakan saja pada pria tampan ini!" jawab Nenek Buroe mengelus daguku.

"Jawab aku, siapa kau? Kenapa Nenek menyuruhku bertanya padamu?" tanya Moin-Moin padaku. Tidak, aku tidak boleh gegabah berbicara, mungkin kosentrasiku hilang dan mulai bertanya sesuatu yang tak masuk akal.

"Aku adalah keturunan kerajaan Konai terakhir, Pangeran Buth Stefan. Benar jika kalian berpikir itu tidak mungkin, tapi begitulah kenyataannya. Aku terlahir sebagai kutukan di hati manusia, dimana manusia yang memilikiku di hatinya, maka dia akan hidup tanpa cinta dan kasih sayang.

Namun, aku merasa beruntung karna aku berada di hatimu Moin-Moin. Aku tahu apa yang sedang kau rasakan, apapun yang kau pikirkan, semua yang kau inginkan, karena kita dekat bahkan sangat dekat.

Aku pernah berharap untuk menjadi manusia, dengan begitu aku bisa memelukmu setiap kali kau menangis, aku ingin membuatmu bahagia, merasakan hidup yang sebenarnya. Sungguh, aku merasa konyol. Dan sejak kau memakan bola ajaib yang di beri Nenek Buroe, aku menghilang darimu. Untunglah daun ajaib memberiku waktu untuk hidup dalam tubuh manusia yang sudah mati, walau hanya untuk melakukan misi, mencari kebanaran.

Manusia yang sudah mati adalah orang yang kau lihat sejak kau tinggal bersama Nenek Buroe. Violet, Cristal, Ibu Samy, Amoi bahkan tubuhku yang sekarang adalah Schnee-J. Mereka semua adalah Putri, Pangeran dan Ratu pewaris tunggal yang di lenyapkan oleh penyihir untuk menguatkan ramuan sihirnya, agar aku dan ibuku lenyap karenanya.

Dia berpikir semua yang dilakukannya begitu gampang dan berakhir seperti yang diharapkan. Namun, kesenangannya akan berakhir di sini. Aku pangeran Buth Stefan akan melakukan balas dendam yang selayaknya terhadap penyihir yang telah berbuat kejahatan di muka bumi, dan hukuman yang didapatkannya adalah hukuman mati." Begituah ungkapanku tegas dan mencoba menjadi Pangeran yang sebenarnya.

"Hahahaha .... hukuman mati? Kau pikir kau berdarah biru, bahkan bola matamu saja terlihat gugup menatapku," balas Nenek Buroe sambil melotot.

"Tunggu, aku tidak mengerti apa yang sedang kalian bicarakan. Adakah yang bisa menjelaskannya padaku?" tanya Moin-Moin bingung.

"Tidak. Tidak ada yang perlu dijelaskan, kau hanya perlu tahu bahwa Nenek yang berhati lembut dari tatapanmu itu sebenarnya adalah penyihir jahat." Sedikit penegasan pada Moin-Moin, dia masih terlihat binggung.

"Moin-Moin gadis kecilku, siapa yang kau percayai, aku atau si Penipu itu?" tanya Nenek Buroe dengan lembut. Dia pasti berharap Moin-Moin mempercayainya.

"Em... mmm... aku tidak tahu! Aku berharap apa yang kalian bicarakan adalah kesalahpahaman masing-masing," jawab Moin-Moin bertambah bingung dan dipenuhi kegugupan.

"Aku lebih percaya Schnee-J," sambung Pangeran Joe. Tidak pernah kuduga, bahkan Pangeran sombong pun berani membelaku.

Nenek Buroe meliriknya sedikit lama dan mulai berjalan perlahan ke arah Pangeran Joe. Aku melihat tatapan pangeran yang santai dan polosnya, namun tangannya yang menggenggam erat terlihat seperti penuh dendam dan benci, aku merasa Pangeran Joe memang membenci Nenek Buroe, entah apa yang dirahasiakannya. Tidak, tetaplah fokus pada misiku sendiri, aku harus melenyapkan Nenek Buroe secepatnya.

***

avataravatar
Next chapter