webnovel

Berasa Seperti Om-om

Penthouse Skyscraper, Kensington, London

Noel akhirnya sampai di penthouse bersama asisten kepercayaan Gael yang menemaninya selama di mall membeli kebutuhan.

Benar-benar membeli kebutuhuhan karena ia bukan hanya dibelikan hal remeh, tapi juga gawai baru dan beberapa pakaian yang sudah dipesan oleh sang Tuan sebelumnya, hingga ia hanya tinggal mengambil di butik tersebut.

Ia juga diberikan sebuah kartu untuk membeli apapun tanpa perlu menunggu Tuannya, dengan batas jumlah nominal yang tidak terhingga dan ia bebas menggunakannya untuk apa saja.

Entah harus bersyukur atau bagaimana, tapi selagi ia tidak membutuhkan ia akan menggunakan uangnya sendiri dan tetap akan bekerja jika diizinkan.

Benar juga, saat ini ia masih bersama Areva—asisten sang Tuan yang membantunya meletakkan barang di kamar baru, kamar sendiri yang akan digunakannya selama menjadi simpanan pria bernama Gael.

Gael siapa dan dari keluarga mana, ia sampai sekarang belum tahu karena pria itu tidak membiarkannya bertanya kecuali ditanya. Ia hanya boleh berbicara ketika Tuannya menghendakinya.

Semoga saja ia tidak lupa akan hal ini.

"Jadi ini kamarmu, di sebelah sana kamar Tuan Gael. Lalu selanjutnya Tuan sendiri yang akan mengatakan kepadamu apa yang tidak dan boleh dilakukan salam Nona di sini, anda paham 'kan Nona Noel?" jelas Areva.

Asisten setia Gael itu menatap wajah wanita milik sang Tuan dengan sekilas, sebelum akhirnya menatap sudut ruangan lainnya ketika sang nona menoleh ke arahnya tiba-tiba.

Noel tentu mengangguk, ia meringis ketika tiba-tiba pria yang sudah menemaninya beberapa jam itu melengoskan wajah. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah wajahnya ada sesuatu atau hal aneh lainnya, tapi sayang ia memutuskan untuk tidak mempermasalahkan.

Ya, lebih baik ia diam saja.

"Tentu, terima kasih Tuan."

"Reva."

"Huh!?"

"Areva, kau bisa memanggilku dengan sebutan Reva. Hanya Tuan Gael yang harus kau panggil Tuan, selebihnya aku dan kamu atau siapapun yang bekerja dengan Tuan sama, kita semua sama," jelas Areva ketika mendapati ekspresi bingung itu.

Noel kembali mengangguk, tersenyum simpul dengan sang asisten yang segera berdehem dan mengalihkan tatapannya lagi. Kalau saja Areva tidak bisa mengendalikan ekspresi, pasti rona merah sudah bermain kurang ajar di pipinya.

"Tuan Gael tidak biasa makan di rumah, kau bisa makan di luar," gumam Areva sambil menampilkan ekspresi seperti semula, wajah tenang.

"Aku mengerti!" sahut Noel cepat.

Sunyi….

Seketika suasana kamar luas itu sunyi karena tidak ada lagi balasan dari Areva atau Noel yang bertanya. Keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing dan ketika sedang sama-sama melamun, sebuah pintu yang terbuka membuat keduanya kaget.

"Itu pasti Tuan Gael," ujar Areva seraya meninggalkan kamar, menyisakan Noel yang awalnya hanya diam melihat kepergian sang asisten tersadar dan memilih ikut menemui sang Tuan.

Dan benar saja, ketika Noel sampai di ruang tamu tampak seorang pria dengan jas di lengannya yang diambil alih segera oleh Areva. Pria itu tampak membuka sampul dasi dengan kepala yang dimiringkan kanan-kiri, seakan menghilangkan pegal yang dirasakan.

"Sudah Reva?" tanya Gael singkat, tapi itu cukup dimengeri oleh sang asisten sebagai orang yang ditanya.

"Semuanya sudah, Tuan."

"Hn, kalau begitu kamu bisa kontak Maryln untuk perjalanan keluar kota hari ini. lalu besok berikan laporan sisanya, mengerti?" perintah Gael sambil menggulung lengan kemejanya, hingga kini menampilkan otot dibalut kulit putih dengan bulu tipis.

Noel yang tidak mengerti hanya bisa berdiri menunggu dalam diam tanpa banyak bersuara. Ia juga memperhatikan dan melengoskan wajah ketika akhirnya pria itu meliriknya diam-diam.

"Mengerti."

"Hn, lekas istirahat," imbuh Gael masih memerintah.

"Baik, aku permisi, Tuan."

"Hn."

Areva yang sudah diusir dengan sebuah tugas ikut diberikan memberikan jas itu kepada Noel yang hanya bisa menatap bingung, sebelum akhirnya terburu mengambil dan memeluknya erat.

Ia juga hanya bisa menatap dalam diam kepergian pria yang membantu mengurus masalah kepindahan dan memperlakukannya baik. Hingga akhirnya suara deheman dan perintah membuatnya tersadar, melihat ke asal suara dimana sang Tuan tampak menatapya lurus.

"Ehem! Letakan jasku di laundry basket, akan ada orang yang mengambil dan mencucinya."

Noel menganggukinya segera, kemudian lekas pergi menuju ruang yang dimaksud dengan langkah ringan. Ia bersyukur dalam hati karena sebelumnya sudah melakukan keliling ruangan dengan Areva, sehingga ia tidak perlu bingung dan kembali bertanya ketika diperintah.

Sedangkan Gael yang melihat kepergian Noel dari tempatnya duduk memilih untuk menyandarkan punggung, menunggu sambil mengistirahatkan tubuh.

Jujur saja, rasanya letih sekali dan akan sangat menyenangkan jika sedang merasakan sisa pegal seperti ini berendam di air hangat, apalagi di luar cuaca dingin.

Ngomong-ngomong, kenapa wanita itu belum mengganti seragam sekolahnya? Apakah Noel juga memakai pakaian itu ketika ke mall?

Kening Gael mengkerut di bagian tengah, sedikit tidak nyaman saat Noel memakai seragam sekolah. Ia berasa seperti om yang menyimpan seorang daun muda, padahal jelas umurnya bahkan baru 25 tahun.

Tak lama kemudian terdengar suara langkah dari alas kaki yang beradu, membuatnya melirik persimpangan dimana tampak Noel yang kini jalan menghampirinya.

"Kau belum ganti baju bahkan saat di mall?" tanya Gael tanpa basa-basi.

Ia melirik rok selutut Noel yang menampilkan betis ramping berbalut kaos kaki sampai lutut, kemudian naik dan menemukan dasi menggantung di atas gundukan yang tertutup, tapi sialnya membuat tenggorokannya kering seketika.

Oke, ia jadi ingin menarik kata-katanya mengenai tidak nyaman dan tampak seperti seorang om-om, karena saat ini ia justru ingin menggauli Noel dengan seragam itu.

Shit! Apa yang kupikirkan, umpatnya dalam hati.

"Reva memakaikanku coat sampai mata kaki, jadi menutup seragamku Tuan."

Oh.

Gael mengangguk mengerti, kemudian mengendikkan dagu dan memerintah dengan singkat wanita itu untuk duduk di hadapannya. "Duduk!"

Noel tentu segera menuruti. Ia duduk canggung di hadapan Gael yang tampak membasahi bibir dengan lidah menjilatinya pelan, sedangkan tatapannya sendiri menghunus intens si wanita simpanan yang meliriknya singkat, sebelum akhirnya menunduk.

"So…. Kau sudah mengambil sesuatu yang kubelikan untukmu?"

"Maksud Tuan di butik itu?" tanya Noel memastikan.

"Hn." Gael mengangguk segera, ia menarik punggungnya yang menyandar hingga kini maju ke arah Noel yang diam-diam melirik melalui bulu mata lentiknya. "Kau tahu apa isinya?" tanyanya dengan gelengan kepala diterima.

"Aku belum sempat membuka."

"Hn, kalau begitu aku ingin kau membukanya dan kau bisa memakai itu kapan saja tanpa perlu bertanya. Paham?" tukas Gael memerintah.

Meski tidak tahu apa yang sebenarnya ada di dalam kantung belanja sana, Noel yang mendengar perintah itu hanya bisa mengangguk, menurut. "Aku paham."

"Reva sudah menjelaskan apa yang harus dan tidak kau lakukan di sini?" tanya Gael mengalihkan pembicaraan.

"Belum Tuan." Noel menggeleng dan Gael kembali mengangguk-anggukan kepala.

"Tidak ada yang perlu kujelaskan. Selama aku di luar dan kau ada di sini sendiri, kau boleh melakukan segalanya dengan catatan tidak mengubah apapun yang ada di sini."

"Lalu bagaimana dengan dapur?"

"Dapur?" beo Gael dengan kening berkerut.

"Ya, dapur. Reva berkata Tuan tidak makan di sini, lalu bagaimana kalau aku ingin makan sedangkan aku tidak boleh sembarangan keluar masuk penthouse?" jelas Noel sambil memberanikan menatap Gael yang alisnya terangkat.

Tidak ada jawaban, Gael justru menatap Noel dengan kening mengernyit ketika mendengar kata asing itu.

Dapur?

Hum….

Bersambung