webnovel

1. mimpi buruk

Mata itu. Menyorot tajam, seakan mengupas habis retina milikku.

Jayden Killer Hilton, Mendekap erat tubuhku dibawah tubuhnya yang keras, sedikit gerak membuatku menyatu ke dasbor ranjang.

Rahangnya tegas mengetat erat, sehingga gigi-gigi bergemeletuk menyapa di telinga.

Dalam pencahayaan remang, dan dinginnya malam membalut tubuh, dia menyeringai bak iblis dari kegelapan. Matanya menyala merah, menusuk tajam hingga lapisan terdalam bola mataku.

"Tidak ada satu pun yang setimpal selain kematian untukmu!"

Penuh ancaman, kala petir ikut menyambar mewarnai malam mengerikan, berona mematikan. Aku menyaksikan wajahnya yang tampan hanya berjarak satu centi didepan wajahku, tersenyum miring.

Hingga detik dimana aku harus menahan napas untuk waktu yang tak bisa ku prediksi.

Sesuatu yang tajam menekan bagian kanan perutku. Menembus lapis demi lapis kulit perut hingga mengenai beberapa organ dalam. Aku tidak begitu yakin, namun kalau boleh ku tebak hatiku ikut tercabik. Darah mengalir dari sana, kental dan pekat.

Sudut bibirnya masih mengencang keatas menyaksikan detik-detik kematian menjemput jiwaku.

"Jayden..."

Suaraku menjadi lirih tidak cukup membuatnya bergeming. Telapak tanganku berjalan sendiri menyentuh kulit wajah yang selalu ku kagumi.

Mata Jayden masih menatapku, menunggu apapun yang akan ku katakan.

Ku pejamkan mata ketika sebelah tangan ku gunakan menarik tengkuk Jayden, menimpakan bibirnya di atas bibirku. Aku benar-benar sudah kehilangan kewarasan saat memutuskan melumat bibirnya dalam dan kuat. Angin berhembus kala itu, mencubit bagian kulitku yang tak terlindung apapun. Setengah meringis aku merasakan seluruh permukaan bibirnya melembut, mempersilahkan.

Bagian dalam diriku tanpa bisa dicegah bersorak gembira. Merasa bersyukur mampu memanfaatkan detik-detik terakhir bernapas dengan ciuman manis memabukan. Saat dimana harus ku rekam dengan benar untuk sekedar menjadi ingatan di kehidupan selanjutnya.

Hingga aku merasakan sesuatu dalam diriku seperti ditarik paksa keluar dengan amat sangat menyakitkan. Lebih seperti gulungan kawat besi bersarang dalam perut dicabut kejam melalui mulut. Rongga tenggorokan mencekik membawaku menemui batas hidup dan mati.

Mataku memberat, bagian belakang kepala bertalu-talu bak dihantam ribuan ton baja. Bibir kami terlepas tanpa kendali, menyisakan benang saliva yang perlahan ikut terputus. Aku tersenyum dengan bibir kelu. Menyentuh irisnya dengan lembut melalui mataku yang semakin lama semakin tak mampu menerima cahaya sekecil apapun.

"Maafkan aku."

Setelahnya aku tak dapat melihat apapun. Mataku tertutup rapat dengan tangan terjatuh bagai tanpa tulang kekasur.

Sangat menyedihkan. Aku tertegun tiba-tiba sudah berdiri dibelakang Jayden yang memeluk erat tubuh bersimbah darah--dengan berat hati harus ku katakan, itu aku.

Seluruh otot tubuhku tidak berfungsi. Aliran darah ikut-ikutan tersumbat, tahu-tahu sekujur tubuh ini mendadak dingin yang kini kuyakini tengah memucat.

Terlalu terkejut, ini bukan suatu kejutan menyenangkan seperti yang kuharapkan.

Bagaimana bisa aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Merasakan sendiri keluar dengan begitu menyengsarakan dari dalam tubuhku secara nyata.

Aku merasakan sendiri diriku dibunuh seseorang yang amat sangat kucinta. Tubuhku berlumur darah, di atas ranjang bersama Jayden--kekasihku.

Aku lemas, seketika luruh kelantai. Bagaikan roh dalam tubuhku ikut tercabut sekali lagi.

Hingga realitas menyadarkan ku. Langit kembali bercahaya terang. Pohon-pohon kembali berjajar diujung pengelihatan.

Ragaku kembali ke tempat seharusnya. Tempat dimana kegilaan ini dimulai. Terduduk di ujung jembatan kayu yang menghadap langsung keair danau.

Aku menatap gambaran diriku disana. Iya itu aku, masih bernapas meski tersendat.

Bulir-bulir air berletak dirongga mata berdesakan ingin keluar, mengaliri kedua sisi pipi bersama rintik hujan jatuh diatas kepala.

Langit biru secepat itu menjadi kelabu seolah mengerti dengan sangat suasana tidak begitu baik untuk bersinar cerah.

Sakit, kuremas jantungku yang terasa menyempit. Semua terasa begitu nyata, tidak pernah aku membayangkan hidupku akan berakhir tragis.

Aku mati.

Aku mati.

Aku mati.

Kepalaku mendadak pening.

Satu tanganku jatuh kepermukaan kayu yang basah, menekan disana demi mempertahankan tubuh yang terasa layu. Sesuatu dalam kepalaku berputar-putar mencari jalan keluar.

***

Tersentak hebat. Clarissa dipaksa terbangun di tengah malam.

Peluh mengucur, mata melotot lebar. Detak jantung kacau pun pernapasan tidak lebih baik.

Mimpi itu lagi.

Sulit dipercaya, tapi tidak dapat disangkal Clarissa merasakan ketakutan luarbiasa.

Diusapnya wajah berkeringat dengan kedua tangan dingin yang ia lanjutkan menyisir rambut kebelakang gusar.

"Ohh astaga!!"

Clarissa tidak memiliki pikiran apapun sekarang. Keadaan tubuhnya masih bergetar saat satu persatu telapak kaki menyentuh lantai.

Dingin malam langsung mengenai kulit, lolongan anjing diluar sana ikut-ikutan menambah kelam keadaan.

Meneguk ludahnya kelat, Clarissa sadar ia sepenakut itu maka dengan gerakan tergesa menarik handle jendela hingga tertutup rapat.

Barulah setelah itu Clarissa bisa bernapas lega, terduduk dipinggir ranjang sambil terus menekan dada.

Mungkinkah efek dari kelelahan bekerja?

Posisinya sebagai sekretaris memang cukup melelahkan. Baru dua hari yang lalu tiba di Jakarta, setelah hampir seminggu lamanya Clarissa bertolak ke Singapura.

Alih-alih diberi kelonggaran setelah perjalanan panjang, Clarissa terus di jejali dokumen lama hingga sekarangpun laporan perjalanan kemarin belum terselesaikan.

Dan ya... Clarissa terbangun yang artinya dia harus kembali berkutat pada pekerjaan--agar bisa tertidur tenang dimalam berikutnya.

Membuka MacBook di ujung kakinya, matanya benar-benar berat tapi tidurpun tak mungkin ia lakukan.

Mencoba larut dengan dokumen digital didepannya, meski akhirnya fokusnya kembali terpecah.

Lantas Mengelus tengkuknya yang meremang lalu setelah pergolakan panjang, mengambil ponsel di atas nakas mendial nomor Jayden saat itu juga.

"Ya?"

Tersenyum getir, suara Jayden masih terdengar segar di jam tiga pagi.

"Belum tidur?"

"Aku sedang memilih undangan pernikahan kita."

Ah dua Minggu lagi ya? Clarissa bahkan lupa. Besok janji fitting gaun pengantin di butik milik Emily. Mendadak Clarissa meneguk ludah, waktu berjalan sangat cepat. Menikahi Jayden yang baru ia pacari delapan bulan lalu, kenapa ia baru merasa ini masih terlalu cepat untuk melangkah ke jenjang pernikahan?

"Kau sendiri kenapa belum tidur?"

Clarissa menggigit bibir sambil,  sesekali lanjut mengetikan sesuatu di MacBook untuk menghilangkan debuman jantung yang tak kunjung mereda.

"Masih ngerjain yang tadi?"

"Jay?"

Entahlah, Clarissa pun tidak tahu kenapa bibirnya kian terasa kelu.

"Hmm?"

Mengigit pipi bagian dalamnya, lagi-lagi hanya nama Jayden yang mampu ia keluarkan dengan keadaan tubuh gemetar.

"Jay?"

"Iya Clarissa sayang?" Jawab Jayden sedikit terkekeh, merasa lucu dengan suara Clarissa yang kini mencicit seperti anak tikus.

Namun tawa Jayden tidak berlangsung lama karena suara Clarissa benar-benar hilang setelahnya. "Kau tidak sedang mempermainkan aku kan Cla?"

Panggilan diputus sepihak membuat kening Jayden semakin berlipat, "ada apa sih?"

Tangan-tangan Jayden yang tadi sibuk membuka beberapa desain undangan harus ia hentikan. Menyandarkan punggung lelahnya pada sandaran sofa, Jayden melakukan panggilan balik.

"Cla?" Panggil nya lembut saat kembali terhubung dengan sang kekasih.

Kali ini bukan keterdiaman lagi yang Jayden dapatkan. Pelan-pelan telinganya menangkap hal yang tidak pernah ia pikirkan.

"Kamu nangis?" Jayden mulai panik lantas berdiri, "kenapa sayang?"

"Cla... Hei ada apa?"

Tidak kunjung mendapat jawaban membuat Jayden resah, memasang sendal rumah tergesa. "Jangan kemana-mana, aku kesana sekarang!"

***

Tiba di pelataran rumah Clarissa, Jayden langsung memarkir mobilnya asal.

Setengah berlari Jayden membuka pintu karena ia juga memegang kunci cadangan rumah Clarissa begitupun sebaliknya.

"Cla?"

"Sayang?"

Jayden menaiki anak tangga langsung  menuju kamar Clarissa dilantai dua.

Pintu kamar Clarissa terbuka menampilkan muka datar sang kekasih diambang pintu membuat Jayden tidak mampu memikirkan apapun lagi berlari kesana langsung memegang kedua lengan Clarissa.

Kedua pipinya ia rangkum hingga Clarissa mendongak dan mata mereka beradu.

Wanita ini jelas berkeringat dingin, sorot mata ketakutan Jayden tangkap didetik itu menarik tubuh ringkih sang kekasih kedalam pelukannya untuk menenangkan.

"Jay..?"

"Iya sayang ini aku."

Aura mencekam kian menyelimuti setiap sudut rumah. Bahkan bertambah saat kedatangan Jayden beberapa detik lalu.

Dingin ruangan makin mencekik, entah perasaan Clarissa saja tapi kalau ia tidak salah ingat sebelum tidur Clarissa masih sempat mematikan pendingin ruangan selain kamar.

"Kamu kenapa?"

Ada kekhawatiran dalam suara berat lelaki itu, meski Clarissa tidak melihat wajahnya tapi ia tahu muka Jayden pucat seperti dirinya.

Disaat itu Clarissa sadar telah gegabah dalam bertindak. Memejamkan mata seraya mengatur napas. Mencoba mengusir jauh-jauh segala ketakutan yang mulai terasa konyol.

"Aku... hanya sedang merindukan kamu." Maka izinkan Clarissa berdalih untuk menutupi kebodohannya malam ini.

Pelukan erat mereka merenggang, Clarissa tahu Jayden pasti terkejut sekaligus kesal tapi ia bisa apa selain menyengir canggung.

"Rindu?"

Anggukan polos Clarissa membuat aliran darah berhenti dan menumpuk di kepala.

"Cla... Kamu?" Jayden mendesis agak kesal mendorong Clarissa menjauh "kamu tahu seberapa khawatir aku pas denger kamu nangis kayak gitu?"

Clarissa mengulum senyum menyelipkan kedua tangannya kembali memeluk Jayden yang kesal. "Emang kamu tidak merindukan aku?"

"Lepas!"

Menyentak hingga pelukan Clarissa pada tubuhnya terlepas Jayden masuk ke kamar Clarissa lalu mendudukan diri diranjang.

Kedua tangan berlipat diatas dada, Jayden menatap kesal pada Clarissa. Lelaki itu kemudian membuang muka ketika Clarissa terkekeh mendekat.

Clarissa mencebik, ikut-ikutan bersedekap dada bediri dihadapan Jayden yang kini menatap kearah pintu. Mencengkram kedua sisi pipi Jayden dengan jemarinya hingga bibir lelaki itu mengerucut seksi.

"Jangan bilang kamu merajuk?" Sambil tertawa geli Clarissa menekan cengkeraman nya dimuka Jayden sampai terdorong kebelakang. "Ingat umur udah mau kepala tiga."

Namun hal itu tidak membuat Jayden goyah. ia mendengus menjauhkan diri dari Clarissa. "Kamu suka gak mikir kalau mau ngejain aku."

Ouhh lucu sekali!

Clarissa menahan agar tidak terbahak, Jayden seketika berubah jadi menggemaskan. "Jam tiga pagi Cla." Seru nya sambil menunjukan jam digital ditangannya. "Aku pikir kamu dalam masalah besar."

"Merindukan kamu itu masalah buat aku."

Ck! Clarissa mulai berbicara omong kosong.

Senyum geli masih membingkai wajahnya, Clarissa memeluk lengan besarnya. Menenggelamkan wajahnya, lalu ketika Jayden melirik apa yang ia lakukan, Clarissa malah menampakan wajah sok imut dengan mata berkedip-kedip genit.

"Is!"

Tiba-tiba Jayden merengkuh Clarissa, mengapit kepala wanita itu diantara ketiaknya. "Punya calon istri kok tengil banget."

Tingkah Clarissa yang sewaktu-waktu berubah menggemaskan jelas meruntuhkan pertahanan Jayden. Lelaki itu kini tertawa, tanpa diduga menggigit kepala Clarissa.

"Jay! Agh sakit!"

Jayden tertawa lagi. Biar saja, wanita nakal ini harus dihukum karena sudah membuatnya khawatir.

"Is! Sakit tahu." Gerutu Clarissa menggosok bagian atas kepalanya, sambil melemparkan tatapan kesal.

"Kamu mau sedot otak aku ya?"

Sebelah alis Jayden terangkat tinggi, Clarissa berdecak karena kelambanan sang kekasih "sepertinya kamu memang butuh otak tambahan. Nih aku ikhlas sedot aja." Clarissa menyodorkan kepalanya, "aku gak mau punya suami bego."

"Ck!" Yang Jayden lemparkan satu bantal ke kepala Clarissa. "Sedat sedot... Kamu pikir aku nyamuk?"

"Nyamuk ngisep darah bukan otak."

Jayden tersendak ludahnya sendiri "kamu pikir aku drakula?"

"Drakula juga ngisepnya darah bukan otak."

Sialan!

Jayden mendengus tidak mau menatap Clarissa yang kini mengamati wajahnya dari bawah. "Masa merajuk lagi sih?" Godanya dengan bibir terlipat kebawah, "cowok gak boleh sering-sering merajuk, nanti jadi...."

"Jadi?"

"Jadi..."

"Jadi apa?"

Clarissa mengulum bibirnya, menikmati muka penasaran Jayden yang semakin terlihat bodoh.

"Jadi drakula."

Plak!

Satu bantal lagi kini mengenai muka Clarissa. Alhasil Clarissa yang tadinya tertawa menggeram kesal.

Dua kali?

Ini namanya kekerasan sebelum berumah tangga.

"Kamu tuh ya!"

"Cewek gak boleh marah nanti jadi nyamuk." Jayden menahan Clarissa dikeningnya menggunakan kedua jari lalu mendorong nya kuat hingga Clarissa jatuh berbaring. "Tidur!"

"Kamu..."

Clarissa belum bisa terima Jayden menyumpahi nya jadi nyamuk. "Tidur Clarissa. Besok kita harus ke butik. Dua Minggu lagi kamu bakal dinikahkan sama gorila."

"Drakula!!"

Jayden terbahak lalu tanpa aba-aba menarik selimut sampai kepala Clarissa yang berontak didalam sana. Yang Jayden bisiki diatas kepalanya,

"cie ngakuin."

Semakin memberontak, karena Jayden terus memegangi selimut sehingga Clarissa terbungkus rapat sampai susah bernapas"Gak! Lepas aku mau telpon ayah."

"Buat?"

"Buat bilang kalo pernikahan kita batal agh-"

Jayden kembali mendorong kening Clarissa yang lagi-lagi mencoba bangkit.

"Jay! Lepas aku gak bisa napas!"

Jayden semakin tertawa. Menggoda Clarissa memang semenyenangkan ini.

Rambut Clarissa kusut berantakan, Jayden yang melihat itu tergelak.

Sampai ketika Clarissa berhasil melepaskan diri setelah perjuangan panjang, "Gak lucu! Gak usah ketawa!"

Jayden mencebik sebelum mengapit kedua sisi pipi Clarissa dengan jarinya lalu mengecup pipi Clarissa tiga kali. "Galak banget sih, calon istri."

Clarissa menjerit reflek memukul kepalanya. Bukannya terasa sakit malah ia sodorkan meminta lagi.

Ini gila! Jayden berubah menjadi ABG penuh gelak tawa ketika bersama Clarissa.

Efek seorang Clarissa tidak pernah Jayden sangka akan seberpen ini dalam hidupnya.

Menurut riset yang Jayden baca dalam jurnal terjemahan kemarin malam "Terkadang bermain seperti anak kecil bersama pasangan nyatanya mampu meningkatkan keharmonisan hubungan."

Bercanda dan tertawa bersama adalah hal yang membahagiakan. Jayden menyukainya, sangat menyukainya malah.

Jayden ingin wanita ini. Clarissa Smithsonian, Jayden benar-benar tidak akan melepaskannya lagi.

Namun,

Ditengah kebahagiaannya yang meletup-letup bak permen Mentos disiram Cola, Jayden luput dari satu keanehan wanitanya.

Jayden tidak tahu kalau saat ini Clarissa bahkan tidak mampu untuk sekedar memejamkan mata.

Seolah begitu nyaman, Jayden tertidur sambil memeluk erat Clarissa yang tetap terjaga hingga sinar matahari terlihat masuk dari cela jendela dan Jayden terbangun lagi.

***

Next chapter