webnovel

Pro:log:ue

•PeachyUniverse,2020.

.

.

.

.

.

.

1st project: The Nymph Series.

Pernahkah kalian membayangkan bagaimana jika manusia mencapai tingkat inteligensi yang paling tinggi dalam semua bidang?

Atau pernah kalian membayangkan semua teknologi berkembang dengan sangat canggih, dan sebagian besar masyarakat nya sudah mampu mencapai kepuasan maksimum mereka?

Tahun 2230, abad ke 22 adalah zaman untuk The Glory Age, kami menyebutnya seperti itu. Semua negara sudah menjadi negara maju. Tidak ada lagi istilah 'negara berkembang'. Mereka semua saling bersaing untuk mencapai tingkat tertingginya, termasuk Indonesia.

Namun, bukan berarti tidak ada hambatan. Tingkat pengangguran dan masyarakat tidak produktif yang meningkat menjadi masalah baru, karena banyaknya Cyborg yang mulai diperkerjakan tahun 2200. Walaupun temuan Cyborg sebenarnya menjadi langkah awal Indonesia menjadi negara maju, dan menjadi pengekspor Cyborg terbesar di dunia.

Karena tidak mau masalah semakin besar, pemerintah Indonesia mendirikan sebuah organisasi rahasia yang akan terus mencari tahu supaya angka pengangguran bisa mereka kurangi lagi. Mereka-yang tidak punya pekerjaan dipekerjakan untik menjadi 'kelinci percobaan' mereka. Berbagai mutasi genetik mereka coba, dan tetap memenuhi kegagalan. Di saat yang sama, penindasan yang dilakukan kaum intelijen kepada Kaum The Ditch-kami menyebutnya seperti itu semakin besar. Berbagai protes dilayangkan ke masyarakat kepada pemerintah yang semakin tutup telinga setiap harinya.

Hingga suatu saat, metode baru tentang The Ditch ditemukan. Para ilmuwan memakai metode mutasi genetika manusia dengan robot yang berhasil mereka lakukan kepada manusia The Ditch pertama bernama Vey Lutuhayu.

Metode ini akhirnya diterapkan. Tetapi, mereka sama sekali tidak sadar bahwa akan ada bencana sebentar lagi.

.

.

.

Pertama-tama, saya, PeachyUniverse dengan segala hormat mengatakan bahwa SEMUA CERITA DI DALAM SINI, TIDAK BERMAKSUD UNTUK MENYINGGUNG PIHAK MANAPUN. CERITA INI MURNI DARI HASIL IMAJINASI SAYA DAN TIDAK BERKAITAN DENGAN ORGANISASI MANAPUN.

Cerita ini bertemakan tentang Fiksi Ilmiah-Dystopian Ber sub genre Cyberpunk. Untuk yang belum mengerti, distopia sendiri adalah merupakan suatu komunitas atau masyarakat yang tidak didambakan atau terkesan menakutkan.Istilah ini diterjemahkan sebagai "tempat yang tidak baik", cr: wikipedia

Sedangkan untuk Cyberpunk adalah sub-genre fiksi ilmiah yang menampilkan perkotaan urban dengan sains dan kemajuan teknologi yang super canggih. Gerakan ini terpengaruh dari subkultur punk dan budaya hacker. Warna cyan purple adalah ciri khas yang paling menempel di pikiran banyak orang.

Atau dengan kata lain gerakan ini merupakan representasi akan ketimpangan yang terjadi antara low life (kehidupan kelas bawah) dengan kecanggihan teknologi (futuristik).

Cr:kreativv.com

Btw, ini adalah cerita pertama saya dalam genre fiksi ilmiah. Saya memaksa diri sendiri supaya keluar dari zona mager dan rebahan saya supaya otak mau bekerja setelah beberapa tidak begitu aktif.

Beberapa dialog dikatakan dengan bahasa non-baku.

Jika kalau ada kesalahan dalam pengetikan, saya mohon bantuannya dengan meninggalkan komentar yang masih bisa diterima pada kalimat yang salah. Atau kita open war.

Terimakasih, arigatou, matur thank you.

Selamat menikmati.

***

Jakarta,2230.

"Percobaan N.Y.M.P.H, subjek ke 301"

"Bagaimana?" Presiden masuk ke ruangan Professor. Kerutan ujung matanya terlihat jelas ketika dia mengamati objek percobaan yang diletakkan dalam tabung itu.

"Masih belum, Pak."

"Sudah subjek ke 301," Pria itu menghela nafasnya."Dan kita sama sekali belum berhasil. Kalau begini terus keuangan negara akan turun. Jika sampai percobaan ini gagal, maka batalkan saja. Aku sudah memiliki projek lain untuk mengatasi ini."

"Kalau boleh tahu, apa itu?"

"Menjual mereka."

"Tapi Pak itu ilegal!" Sang professor meninggikan nada bicara, terkejut dan tidak menyangka bahwa atasannya akan melakukan hal serendah ini. "Komunitas melarang besar negara yang-"

"Aku tahu," Presiden meletakkan kacamatanya. "Tapi kita tidak ada pilihan lagi selain—"

"Subjek 301. Mutasi berhasil. Selamat, Professor."

***

"Baj*ngan! Berani ngelawan sekarang?"

Angkasa terpental begitu saja setelah mendapat bogeman keras dari Genta.

Rasa sakit seketika menjalar kembali dari tubuhnya. Sudah berkali-kali dia dirundung seperti ini. Angkasa hanya bisa menitikkan air matanya ketika Genta kembali mencengkeram kerah bajunya.

"Kamu itu The Ditch. Tau apa artinya? Kaum bawah! Dan kaum bawah yang ga guna kayak kamu itu harusnya selesai," Genta menggeram.  "Masih baik ya Ayah dan aku masih biarin kamu hidup dan sekolah di sekolah anak-anak unggul."

Dua manik mata Angkasa yang berbeda warna menatap Genta dengan pandangan marah.

"Loh Gen, dia udah berani natap sekarang!

Teman-teman sekelasnya semakin memanas-manasi Genta untuk melakukan kekerasan. Angkasa yang melihat gengggaman tangan Genta untuk kembali memukul wajahnya hanya bisa pasrah.

"Genta! Apa-apaan!"

Seorang anak perempuan membuat Genta menghentikan aksinya kepada Angkasa.

"Nada?kenapa ke sini?"

Nama perempuan itu, Nada Birdella. Kekasih Genta semenjak kelas 10. Nada menatap Angkasa yang masih terkulai lemas di sudut kelas dengan kasihan.

"Kamu berantem lagi?" suara Nada  meninggi. "Sudah dibilang jangan berantem!"

"Tapi Nad, dia lihat kamu kayak—"

"Biarin." Nada menghela nafas. "Terus kenapa kalau dia ngelihatin aku? Dia kan punya mata, emang gak boleh lihatin aku?"

"Bukan begitu—"

"Sudahlah. Genta, kalau kamu begini lagi kita beneran selesai,"

Genta yang menerima ucapan seperti itu dari Nada menggertakkan giginya. Beberapa saat setelah Nada pergi, Genta menatap Angkasa yang sekarang mengeluarkan darah dari hidungnya. ia menendang kaki Genta sekali lagi sebelum benar-benar pergi.

"Kamu bakal mati. Lihat aja,"

Angkasa bangkit setelah anak itu pergi meninggalkannya.

'Dasar gatau malu,  bisa-bisanya dia naksir Nada.'

'The Ditch selain kemampuannya rendah, otak sama rasa malunya juga rendah ya,'

'Pantes sih dia dapat bogeman kayak begitu dari Genta.'

Ia hanya bisa pasrah, ketika berjalan keluar dan diperhatikan seluruh sekolah.

"Fuah." Angkasa duduk di kloset toilet. Dia memperhatikan luka-lukanya. Hari ini cukup melelahkan.

Darah yang ada pada pelipis, hidung, dan luka sayat akibat tersangkut di loker tadi perlahan menutup, dan hanya meninggalkan bekas sedikit lebam pada badannya.

Angkasa tersenyum getir. Dia memang anak yang aneh. Memiliki mata yang sama sekalii tidak menunjukkan ras khas Indonesia—dan malah berwarna ganjil di dua matanya membuatnya dirundung habis-habisan. Warna mata biru di kiri, dan ungu keputihan di kanan. Selain itu, kemampuannya yang dapat meregenerasi luka dengan cepat mambuat dia semakin dianggap sebagai alien yang turun ke bumi.

Tidak punya orangtua, tumbuh besar di pemukiman Ditch, dan lemah dalam semua mata pelajaran juga menjadi alasan kenapa Angkasa dirundung di sekolah ini.

"Ck. Genta sialan." Angkasa mengucek kepalanya. Genta Danura, sialan itu. Dia adalah anak presiden saat ini, Presiden Graha Danura. Kekuasaan yang dimiliki ayahnya saat inilah yang membuat Genta menjadi  semena-mena terhadap Angkasa dan anak Ditch lain. Apalagi semenjak ada rumor bahwa Angkasa menyukai Nada yang semakin membuat Genta kesetanan untuk segera menyingkirkan Angkasa dari sini—atau sekalian menyingkirkannya dari

ini.Dari awal Angkasa memang sama sekali tidak ingin melawan Genta. Karena Angkasa sendiri,

Juga berfikir bahwa dia ingin pergi dari dunia ini.

Dia tetap bertahan selama ini karena adiknya, Dinara  masih membutuhkannya dalam hal apapun. Tapi itu dulu, sekarang anak itu sudah diambil aparat untuk dijadikan eksperimen gila mereka yang menyebabkan seluruh keluarga Angkasa terbunuh.  Sekarang, tidak ada yang perlu dipertahankan. Penunjang hidup terakhirnya saja sudah dibawa.

"Ah, produktif produktif tai kambing,"  Angkasa kembali mengingat pidato yang disampaikan presiden beberapa bulan lalu yang menjanjikan anak-anak masyarakat Ditch juga akan mendapat pendidikan yang sama dengan kaum kelas atas. 

Hal itu terealisasi, tapi tidak diterima masyarakat kelas atas.

Kalau begini, meski membuat undang- undang untuk kesamaan derajat sekalipun, apa gunanya jika rakyatnya saja masih melihat kaum lain dengan rendah?

"Permisi,Tuan. Waktu anda berada di toilet sudah habis. Sekarang, kembali ke kelas."

Suara Cyborg mengejutkan Angkasa. Setelah memeriksa beberapa luka, anak itu keluar.

"Oh, kaum Ditch. Sudah tahu apa peraturannya?"

"Hukuman akan dilaksanakan dua kali lipat dari anak biasa." Angkasa mendengus.

"Itu sudah tahu."

Angkasa keluar kamar mandi dengan menyenggol keras bahu Cyborg yang baru saja dia temui. Bahkan, Robot saja sengaja didesain dengan rasis seperti ini. Angkasa masuk ke kelas bersamaan dengan Bu Lyla yang akan mengajar Bahasa Inggris sebentar lagi.

Tepat sekali. Angkasa terlambat masuk. Satu kelas menatapnya dengan pandangan tidak heran. Termasuk Bu Lyla.

"Hm. Don't be late again. Saya sudah terlalu sabar dengan kamu, Angkasa Baskara."

Basi. Tidak ada yang benar-benar sabar dengan anak kelas bawah seperti Angkasa. Itu tadi hanya bentuk formalitas di sini. Bisa terlihat wajah Bu Lyla yang benar-benar ingin menghabisi Angkasa— jika tidak ada aturan sopan santun di sekolah ini.

Angkasa tahu betul bahwa sebisa mungkin para orang-orang di sini akan selalu menjatuhkan anak-anak Ditch sebisa mungkin.

Supaya saingan anak-anak mereka di dunia kerja juga berkurang.

Dunia ini terlalu sempurna sekarang. Membosankan.

'Hei, kau tahu Meliana?'

'Oh, anak yang dibawa beberapa ilmuwan tahun lalu itu?'

'Iya. Dia bakal kembali sekolah besok.'

'Benarkah? Aku kira dia sudah mati di tangan mereka.'

'Tidak. Percobaan pemerintah kali ini berhasil. Kudengar, mereka melakukan mutasi manusia-Cyborg.'

'Ih, ngeri sekali. '

'Tapi apa boleh buat, manusia Ditch seperti itu kan memang tidak bisa apa-apa. Ide bagus juga ketika pemerintah berusaha membuat mereka bekerja lagi.'

"Jangan sambil liat-liat aku, bisa nggak?"

Angkasa menggenggam tangannya sebal. Anak-anak perempuan yang berbicara di sampingnya seketika mengalihkan pandangan ke arah lain

Walau berhasil pun, itu tidak akan mengembalikan nyawa adiknya yang bahkan mayatnya saja tidak dikembalikan.

'Eh lihat, dia beneran monster ya? Lukanya udah ilang lagi.'

"Bisa diam tidak, sialan!"

"Angkasa Baskara!" Bu Lyla melempar tab nya ke wajah Angkasa. Pelipisnya yang tadi terluka kembali mengeluarkan darah.

"Keluar!"

Angkasa menatap wajah Bu Lyla dengan pandangan tidak mengenakkan sebelum dia benar-benar keluar dari kelas.

"Itulah kenapa harusnya government tidak memberikan kesempatan anak-anak rendahan sepertinya." Bu Lyla mengusap kepalanya. "Sialan itu bahkan tidak minta maaf." 

Ia mendorong Angkasa dengan keras, dan  membanting daun pintunya.

"Harusnya kau yang minta maaf, bodoh." Angkasa menendang tong sampah di depannya hingga membuat suara yang cukup keras.

Dia berjalan dengan lemas. Bu Lyla benar, seharusnya anak-anak seperti Angkasa tidak perlu bersekolah. Lebih baik mengolah ladang atau berburu—itu jauh menyenangkan bagi Angkasa. Adapun hasil panen dan hasil buruan dinikmati oleh mereka sendiri.

"Hai." Suara perempuan menyapa Angkasa.

"Oh, Hai." Angkasa berjalan menjauh. "Jangan dekat-dekat."

Nada menghela nafasnya. Ia menuruti perintah Angkasa.

"Aku tahu. Aku juga berhati-hati saat ini."

"Mau apa?"

"Ikut aku."

Nada menggandeng tangan Angkasa berjalan menuju rooftop sekolah. Setelah sampai, mereka berdua duduk di kursi merah yang berada cukup jauh dari pintu utama.

"Aku mau tanya, soal matamu itu-"

"Iya, aneh." Ujar Angkasa. "Kamu mikir gitu kan?"

"Loh nggak malah. Aku bertanya, apa warna  mata itu, orangtuamu juga memilikinya?"

"Mereka sudah meninggal." Angkasa mendengus.

"Maafkan aku."

"Hm, tidak apa." Angkasa berdiri, bersiap untuk beranjak dari tempat duduknya. Masih belum aman untuk berbicara dengan Nada saat ini. Iya tahu, dia memang tidak melakukan apapun kepada Angkasa, tapi secara tidak langsung juga,

Anak ini sudah membuat Angkasa hanpir mati setiap harinya.

"Tunggu, dengar–" Nada menahan tangan Angkasa yang akan pergi.

"Apalagi sih sialan?"  Angkasa mendengus.

"Dengarkan aku."

"Dengarkan apa, sih dengar ini dengar itu. Sadar diri, tolong."

Nada melepas tangan Angkasa.

"Maksudmu?"

"Apa kau tahu, setiap aku bersamamu, nyawaku menjadi taruhannya?" Suara Angkasa meninggi. Ia sudah muak dengan semua ini.

"Dan kamu sama sekali tidak ada niatan untuk membantuku? Dan- dan kamu—"

Suaranya bergetar, nafasnya memburu.

"Sama sekali tidak berguna, untuk membelaku."

Dia tidak mampu lagi untuk meneruskan kata-katanya, dan memilih berlari dari atap gedung, sebelum seseorang menemukan Angkasa dan Nada di sini.

Jika suka, harap vote and like!^^

Jangan lupa tinggalkan komentar bila ada sesuatu dala cerita yang harus saya rubah! Dengan bahasa yang bagus juga:>

PeachyUniverse12creators' thoughts