1 1 (Prologue)

Author's POV

Seorang gadis kecil sedang asyik mengayuh sepeda mungil miliknya. Ia terlihat menikmatinya, bagaimana tidak, sepeda merah mungil itu baru saja ia dapatkan untuk hadiah ulang tahunnya yang ketujuh tepat pada bulan Hallowen ini.

Ia tak sendiri, seorang bocah laki-laki yang lebih tua darinya sedang berlari mengejar gadis kecil itu dengan susah payah.

Namun anak kecil takkan jera melakukan hal yang mereka sukai, gadis kecil itu mengayuh sepedanya lebih jauh melewati jalan sepi di sepanjang sebuah taman dengan pemandangan musim gugur yang memanjakan. Hampir tak ada orang yang terlihat disana, sedang gadis kecil itu masih mengayuh sepeda sambil berusaha menstabilkan tawanya karena merasa sudah mengalahkan bocah lelaki yang sedari tadi mengejar dirinya.

Hingga tanpa ia sadari sebuah batu menghentikannya.

Sepedanya menyandung sebuah batu, membuat tubuh mungil gadis kecil itu terbanting kesamping. Ia merintih kesakitan, lutut kanannya mengeluarkan darah yang cukup banyak membuat gadis ini tak sanggup menahan air matanya dan menangis sejadi-jadinya.

Tiba-tiba saja seorang lelaki yang mengenakan sweater hitam dengan segera berlari menghampiri gadis kecil yang sibuk menangis takut melihat lutut nya yang berdarah.

Lelaki itu tampak aneh, saat melihat darah berceceran di lutut gadis itu, bukannya langsung menolong tetapi lelaki ini memandang lutut gadis itu seolah ia melihat sesuatu yang baru dan terlihat raut wajahnya yang sedang menahan sesuatu entah apa yang lelaki itu lakukan. Sesaat setelah memperbaiki pikirannya lelaki itu mencoba menenangkan gadis kecil yang ada di hadapannya itu. Lelaki itu merobek kain baju dalamnya dan menutup luka gadis kecil yang mengeluarkan darah itu.

Gadis kecil ini sedikit merasa lebih tenang walaupun masih terisak. "You'll be okay." kata Lelaki itu dengan suara serak miliknya sembari tersenyum memandang gadis kecil itu dengan wajah meyakinkan. Gadis kecil itu membalas senyum dari lelaki asing itu. Dari sorot mata itu terasa ada sesuatu yang aneh, tatapan mata hijau milik lelaki ini tampak sangat aneh memandang gadis kecil ini layaknya sesuatu yang tak terjelaskan. Entah apa yang terjadi.

"Eli!"

"Dad." Suara teriakan yang terdengar khawatir membubarkan pandangan lelaki itu pada gadis kecil yang berada di hadapannya. Lelaki itu mengernyit tak jelas memandang ayah gadis itu sesaat sebelum akhirnya ia berlalu tanpa disadari oleh gadis kecil yang bernama Eli ini.

***

Terik matahari yang menyengat terasa membakar pori-pori kulit. Suasana bandara Soekarno-Hatta seperti biasa tampak ramai dipenuhi lautan manusia yang berjalan kesana kemari sibuk dengan urusan masing-masing. Fokus kepada seorang gadis yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas-nya di salah satu sekolah unggul daerah Jakarta. Sudah lima belas menit ia berkutat-atit dengan dirinya sendiri untuk mempersiapkan mental dan fisik nya karena ia akan melakukan perjalanan jauh seorang diri.

"Mum. Aku berangkat ya."katanya sembari memberikan sebuah pelukan hangat untuk wanita paruh baya yang selalu setia menemani dirinya. Wanita itu tersenyum bangga melihat anak gadis nya sudah dewasa dan siap untuk menuju tempat yang akan membuat hidupnya berubah.

"Ayo sayang. Entar ketinggalan loh pesawatnya"kata wanita paruh baya itu mencoba menahan air mata karena sedari tadi matanya sudah berkaca-kaca.

"Love you Mum."ucapnya kemudian bergegas menuju ke dalam pesawat.

Setelah semua barang-barangnya tersusun, gadis itu menghempaskan tubuhnya pelan ke kursi pesawat bersamaan dengan hembusan nafasnya yang terdengar frustasi.

Apakah aku bisa? Ah. Jalani sajalah, lagipula Oxford adalah pilihan bagi siswa yang berprestasi.

Tepat pukul 12 siang gadis itu tiba di Kota London. Ia berjalan menyusuri jalan di bandara menunggu seseorang untuk menuntunnya. Sejujurnya ini bukan kali pertamanya ia menginjakkan kakinya di negara ini, sejak kecil ia sering bermain bersama ayah dan ibunya saat hari libur tiba untuk mengunjungi kakek dan neneknya. Hanya saja sejak kepergian ayahnya pada umur 7 tahun, harus membuat gadis ini tak lagi bisa berkunjung kesana. Sulit sekali ia menerima kenyataan bahwa ayahnya harus pergi secepat itu. Menginjakan kaki di negara ini sama halnya menguras kembali memori kecil yang ia simpan dalam-dalam karena begitu menyakitkan.

"Eli?"

Seorang lelaki sedang berlari-lari kecil kearah Eli setelah meneriakkan nama Eli. Membuat Eli memutar otak mengingat lelaki itu. Ah. Dia Carlos. Setelah menerawang beberapa menit akhirnya Eli menyadari bahwa lelaki itu adalah sepupunya sekaligus teman kecilnya saat ia sering berkunjung kesini.

"Nenek sudah menunggumu El"seru Carlos dengan wajah girangnya.

"Baiklah"ucap Eli sedikit menahan nada bicaranya. Dia sedikit kaku karena sudah hampir 11 tahun ia tak bermain dengan lelaki yang berada di depannya ini.

Carlos berjalan di depan Eli sedangkan Eli mengekor di belakang mengikuti kemana Carlos akan membawanya.

Mereka mengendarai sebuah mobil ferrari merah untuk sampai ke rumah kakek-nenek Eli. Sejujurnya Eli merindukan mereka tapi sejak ayahnya meninggal, ibu Eli tak lagi berkunjung ke London, membuat Eli selalu bertanya alasan ibunya tak lagi berkunjung namun jawaban itu tak ia dapatkan hingga saat ini.

Eli dan Carlos tiba di depan sebuah rumah dengan desain kayu ditambah cat dasar crem. Melihat rumah itu dengan suasana masa-masa kecilnya membuatnya bernostalgia. Perlahan ingatannya kembali teruras saat melihat sebuah ayunan kayu di pekarangan rumah itu yang biasa ia gunakan bermain bersama teman-teman masa kecilnya. Sesaat kemudian ia menyadarkan dirinya lalu melangkahkan kakinya memasuki rumah itu.

Tiba dalam ruang tamu, Eli di sambut hangat oleh seorang wanita tua yang sangat akrab di benaknya. Grand Sophi.

"Cucu nenek tambah cantik saja"ucap wanita tua itu sembari memeluk Eli. Eli membalas pelukan itu melepas semua rindu saat ia masih kecil.

"Dan juga tambah tinggi"sebuah suara yang cukup familiar di telinganya membuat Eli melihat pemilik suara itu dan langsung berlari memeluknya.

"Kakek!"

"Kau ini mirip sekali Ayahmu. Begitu melihat kakek pasti dia akan histeris"lelaki tua ini mencoba tertawa melihat melakukan cucunya.

Mendengar kata kakeknya perlahan senyum Eli memudar. Ia teringat oleh alm.ayahnya.

"Eli hanya sebentar disini. Ibu sudah memesankan apartemen untukku."

"Nenek tahu sayang. Nenek rindu sekali denganmu."raut wajah itu masih saja sama, senyuman dari raut wajahnya yang sudah menua tetap menjadi penghias dalam hati Eli.

"Eli juga rindu kok."ucap Eli.

"Suruh Carlos saja untuk mengantarmu kesana"nenek Eli memandang Carlos dengan memberikan isyarat-isyarat untuk Carlos patuhi. Sedangkan ia hanya membalas dengan memutar bola matanya.

"Lagipula Eli sangat merindukan tempat ini. Eli akan tinggal untuk beberapa saat."

***

Eli menikmati segelas cokelat panas buatan Nenek Sophi dengan duduk bersantai di sebuah kursi di taman rumah neneknya. Biasanya moment itu yang selalu ia lakukan saat ia berkunjung ketika masih kecil.

Memori itu pun terbayang lagi dipikirannya

saat memandang ayunan kayu yang sudah rapuh, karena kemungkinan besar sudah lama tak terpakai, paling lama selama 11 tahun. Lama sekali bukan?

Dalam pikirannya ia masih memutar film masa kecilnya yang membuatnya sesekali tersenyum geli mengenang masa-masa itu. Musim gugur yang indah. Thanksgiving yang membuatnya berperan seperti seorang princess. Ataupun Halloween yang membuatnya selalu bertengkar dengan bocah kecil -sahabat sekaligus sepupunya itu-, yah Carlos.Dan tiap kali ia kesana pasti ulang tahunnya akan dirayakan oleh keluarganya karena ia lahir di bulan dewi timbangan ini.

Namun teringat olehnya sebuah kenangan terakhir yang begitu pilu saat di sebuah taman kecil. Kenangan yang membuatnya tidak ingin bersepeda lagi. Sebuah luka ketika ia jatuh dari sepedanya yang masih meninggalkan bekas di lutut kanannya. Lucu sekali mengingat hal yang bodoh yang membuat dirinya tidak ingin bersepeda lagi. Namun kenangan itulah yang merupakan sebuah kenangan terakhir sebelum esok harinya ia harus merelakan ayahnya pergi untuk selamanya.

avataravatar
Next chapter